Di suatu padang rumput yang luas, beberapa pohon masih mengakar dengan kokoh. Pada pepohonan rindang itu, tumbuh dedaunan segar dan buah-buahan; seperti mangga dan cokelat. Sesekali, seekor burung elang bertengger di sudut cabang pohon itu.
Krieet bruuk
Empat roda kereta berputar kencang dan tanpa disangka-sangka, tubuh kereta itu menabrak pohon cokelat tempat burung elang berada. Mau tidak mau, burung tersebut menciak dan mengepakkan sayap untuk menghindar.
"Hei, tidak bisakah kau bekerja dengan benar?!" teriak seorang nyonya bangsawan yang juga pemilik kereta. Ia menatap sinis kusir di depan, lantaran pria itu sukses menghancurkan riasannya.
"M-maaf, Nyonya," lirih sang kusir. Namun, pandangannya tertuju pada objek lain.
"Apa sih yang kau lihat sampai ceroboh begini?!" heran wanita tua itu. Ia mengelap lipstik yang mencoreng pipi mulusnya.
"Ah, a-ada boneka berjalan barusan. Se-sepertinya saya salah lihat."
"Mana ada makhluk se---, astaga!"
Nyonya itu terperangah begitu ia menyibak tirai jendela. Di tengah padang rumput yang gersang, ia menemukan gadis jelita yang memukau. Surai berhias mawar merah menyegarkan penampilannya. Tertutupi oleh payung renda, gadis itu melangkah sempurna dengan gaya yang berkelas.
"Siapa gadis itu?" cengang sang nyonya, mengucek-ucek matanya tak percaya.
"Nona Serena?"
Sepenggal panggilan membuat gadis bersurai merah itu menghentikan langkahnya. Ia meluruskan pandang pada ketiga pria berseragam zirah di depannya.
"Ada keperluan apa Anda datang kemari?" tanya seorang ksatria di antara ketiganya. "Anda bilang Anda tidak akan menghadiri event perburuan," lanjutnya.
Sembari mengangkat payung, Serena melemparkan senyuman ke arah pria-pria yang menatapnya intens. Membuat wajah tegas mereka berubah tersipu malu.
"Aku berubah pikiran. Kupikir, tidak ada salahnya menonton pertunjukan pria gagah yang menumpas monster di sini," lontar Serena, mengetuk-ngetukkan jarinya ke dagu kecilnya.
Para pria itu saling bertatapan. Tak lama setelahnya, mereka berebut maju mendekati gadis itu. "No-nona! Maukah Anda menjadi Lady saya?"
"Tidak, Nona! Saya saja!"
"Jangan dengarkan mereka! Saya adalah pria yang paling gagah di sini!"
Serena tertawa mengamati ksatria-ksatria itu bertengkar. Selepas menggelengkan kepala, ia bergegas menjauhi ketiganya menuju ke tempat para bangsawan berkumpul.
"Serena! Pada akhirnya kau menghadiri acara ini?" tanya gadis bergaun kuning.
"Haha, iya, Tiana."
"Katanya kau tidak suka terpapar sinar matahari?"
"Tidak apa sesekali."
Lantas, Serena berbasa-basi dengan gadis-gadis seusianya. Mereka adalah para sahabat Serena yang terdiri dari tiga orang; Tiana, Alexa, dan Molly.
Ketiganya sudah dekat dari saat Serena masih belia. Mereka tak peduli pada rumor yang mengatakan bahwa Serena pembunuh, karena mereka sendiri memiliki reputasi yang tak kalah buruknya.
Tiana, seorang pengoleksi pria tampan yang sering berganti kekasih.
Alexa, gadis yang katanya menjadi ratu judi di kasino.
Molly, putri count yang dikabarkan menyukai sesama jenis.
Sekilas, tidak ada yang beres di antara mereka berempat. Orang-orang mengecapnya dengan label yang tidak bagus.
"Oh, ayolah, apa salahnya mengagumi pria-pria tampan? Lagipula yang kulakukan hanyalah menerima mereka. Bagaimana aku bisa menolak?" keluh Tiana saat usianya menginjak 13 tahun.
"Mereka bilang aku adalah gadis kecil tukang berjudi. Padahal ayahku yang memaksaku melakukannya," ucap Alexa menambahi.
"Yang benar saja! Aku menyukai gadis seusiaku? Hell no! Gosip tak berdasar darimana itu? Mereka gila! Hanya karena aku menolong dan menenangkan temanku yang terkena perundungan, mereka membalas dendam padaku dengan rumor itu!" protes Molly kecil di hadapan ketiganya.
Serena kecil tergelak hingga dirinya hampir menangis. Ia pun bercerita mengenai reputasinya juga. Dan lucunya, ketiganya hanya tertawa dan mengatakan bahwa Serena gila.
Sejak saat itu, mereka menjadi berteman dekat. Hingga detik ini, mereka bersahabat dengan menerima kekurangan masing-masing.
Serena merasa menemukan seseorang yang senasib dengannya, sehingga, ia sering berbagi dengan mereka di berbagai kesempatan. Itulah mengapa ia sering menghadiri pesta yang diselenggarakan---sekadar bergurau demi melepas penat bersama para sahabatnya.
"Oh, ya, apa kau tahu di mana putra mahkota?" tanya Serena di sela-sela percakapan.
"Hoho, kau sekarang mengincarnya, ya? Sayang sekali, tapi aku sudah menargetkan dirinya sejak perayaan kedewasaan."
Mendadak, Serena memasang tampang jijiknya. Ia menaikan sebelah bibirnya seolah berkata, 'Apa kau bercanda?'
"Hei, hei, kau tidak boleh begitu! Bukankah putra mahkota sudah menjadi kekasihnya adik Serena?" timpal Alexa menengahi.
"Ehem!" Molly mengode keduanya untuk menghentikan pembicaraan.
"E-em ... oh! Aku lupa kalau aku harus memberikan sapu tangan untuk pasanganku!" kejut Tiana tiba-tiba.
"Haha, sepertinya aku haus sekarang. A-aku ingin minum jus limau sebentar," pamit Alexa, yang kemudian kabur dengan setengah berlari.
Ia tak menyadari bahwa ada batu di jalan yang bisa membuatnya tersandung. Tentu saja, gadis berambut merah itu terjatuh sehingga dirinya menubruk nyonya di hadapannya. Nyonya itu lekas memarahinya dengan omelan kasar, menjadikan orang-orang menyorot keduanya sebagai tontonan.
Molly menepuk dahinya melihati kecerobohan Alexa. Ia menggelengkan kepala dan beralih ke Serena yang masih mematung dengan menahan amarah. "Abaikan mereka," gumamnya malu.
"Jadi?" Serena menunggu Molly menjawab pertanyaannya.
"Hmm, kalau tidak salah, putra mahkota sedang berburu sekarang."
"Kapan kira-kira akan selesai?"
"Entahlah. Sudah dua hari dia menghilang di hutan. Dia bahkan ikut berburu meskipun tidak memilih seseorang untuk menjadi lady-nya."
Serena memicingkan matanya. Ia kemudian menutup dan meletakkan payungnya ke kursi tunggu. "Okay. Aku akan menunggunya sampai dia keluar dari hutan."
Molly menutup mulutnya yang ternganga lebar. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Oh, Tuhan! Apakah matahari sudah terbit dari barat? Aku melihat Serena, si Tukang Umpat Putra Mahkota, menunggunya selesai berburu!"
Serena terbelalak mendengar ungkapan Molly. Ia lantas menatap tajam salah satu sahabatnya yang sarkas itu.
"Apa kau bisa diam?!" gertak Serena yang akhirnya meluapkan emosi. Kalimat itu terkesan kalau dirinya mengejar-ngejar Luke setelah membencinya ribuan tahun.
"Ups! maaf." Molly menutup bibirnya dengan telapak tangan. Ia tergelitik dengan tingkah Serena siang ini.
***
Detik waktu bergulir begitu cepat. Mentari yang tadinya naik di atas kepala kini mulai tenggelam di ufuk barat. Satu persatu gadis sudah menjumpai pasangannya. Nyonya dan Tuan bangsawan pulang begitu langit menggelap. Namun, Serena masih duduk di bangkunya---menunggu seorang lelaki yang dicarinya. Selama enam jam, ia tak bergerak sedetikpun dari tempatnya duduk.
"Serena, tidakkah lebih baik kita pulang sekarang?" tanya Alexa. Ia adalah satu-satunya yang tersisa menemani Serena. Tiana sudah pulang bersama kekasihnya, sementara Molly sudah dijemput oleh ibunya.
"Kau duluan saja. Aku masih menunggu."
"Hari kedua perburuan sudah selesai. Lebih baik kita datang ke sini besok lagi!"
"Aku tidak mau. Aku harus menemuinya sekarang apapun yang terjadi."
"Apa kau tidak waras?"
Keduanya pun beradu mulut dalam waktu yang cukup lama. Namun berapa lama pun mereka berdebat, Serena tetap tidak mau mengungkap alasan mengapa ia ingin bertemu Luke. Alexa yang kelelahan akhirnya memutuskan untuk menyerah.
"Okelah, baiklah. Jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu!" peringat Alexa, sebelum ia memasuki kereta kuda.
Kini, Serena masih berada di tempat duduk sembari menatap arloji. Pukul 07.00 P.M., belum terlalu malam baginya.
Tapi ia memutuskan untuk berdiri---bergerak mencari seseorang. Ia menyusuri lapangan hijau, semak-semak, hingga tenda-tenda yang menjadi naungan para ksatria dan prajurit istana. Tidak ada petunjuk apapun selain kabar mengenai Luke pergi berburu.
Mengamati gadis bangsawan yang mondar-mandir sendirian, Willford akhirnya memberanikan diri mendekati Serena.
"Anda masih di sini, Lady?"
Serena menoleh, kemudian berkata, "Ya, aku mencari putra mahkota. Di mana dia?"
"Oh, dia belum kembali dari berburu monster dua hari ini."
Jawaban yang sama dengan sebelumnya. Serena bertanya-tanya, apa pria itu tidak lelah?
Semua orang sudah kembali ke tendanya sekarang. Tapi pria pengganggu itu tak kunjung kembali dari misinya. Terlebih, ia tidak melakukannya karena ingin mendapatkan hadiah utama event ini. Apakah ... perilakunya ini ada kaitannya dengan Senika?
Katanya, ia sudah seperti itu semenjak hari di mana Serena mengabari Luke tentang kepergian Senika. Apa pria itu serius soal hubungannya dengan Senika?
Serena kira Luke hanya bermain-main dengan mendekati adiknya yang polos itu.
"Lebih baik Anda menunggu di dalam. Saya akan segera memberitahu Anda bila Yang Mulia sudah kembali."
Willford kemudian mengarahkan Serena ke dalam tenda besar untuk menerima tamu. Beruntungnya, tidak ada kaisar dan permaisuri hari ini, sehingga ia tidak perlu sungkan dalam bersikap.
Serena pun meletakkan panggulnya pada kursi yang tersedia. Tak lupa, ia mengucapkan terimakasih kepada Willford yang membantunya. Willford undur diri setelahnya dan Serena kembali sendiri.
Tangan Serena masuk ke saku gaun merah yang dikenakannya. Ia mengeluarkan selipat sapu tangan yang diberikan Luke saat itu. Lamat-lamat, ia mengangkat sepotong kain itu---menerawangnya di bawah pendaran obor yang sesekali tertiup angin.
KRAAKK SRAG SRAG
DUNG
Sapu tangan itu terlempar ketika Serena tersentak dengan bunyi dentuman. Untungnya, sapu tangan itu tidak terjatuh kemana-mana, melainkan roknya.
Mendengar suara mencurigakan, Serena segera meninggalkan tenda untuk mencari tahu. Ketika ia menatap keluar, matanya langsung melotot hingga hampir keluar.
Di luar, seorang lelaki jangkung dengan tubuh bersimbah darah tengah berjalan sembari menyeret dua ekor binatang aneh. Dua binatang itu adalah satu ekor naga dan chimera!
Ukuran mereka lima kali lipat lebih besar dari manusia dewasa. Bagaimana bisa Luke membunuh binatang raksasa itu sendirian?
Serena membekap mulutnya begitu menyadari kemampuan pria itu. Baru kali ini ia menyaksikan lelaki yang begitu menyeramkan.
"Yang Mulia!"
Para prajurit berbondong-bondong malam itu, mengerumuni Luke dan dua ekor binatang tangkapannya. Masing-masing membawa obor, sehingga penampakan sang putra mahkota semakin jelas.
"Maaf bila saya mengganggu, Yang Mulia. Ada seseorang yang mencari Anda," bisik Willford yang ikut berada di pusat perhatian. Ia pun mendekatkan bibirnya ke telinga Luke.
Otomatis, Luke menengok ke kanan saat Willford menyebut nama gadis yang mencarinya. Mata sayunya mengintimidasi Serena dengan sedikit tajam.
***
"Kudengar, kau menungguku sampai malam. Ada apa gerangan? Kau bahkan tidak membawa pelayan ke tempat berbahaya ini," sinis Luke kepada Serena.
Jujur saja, ia sangat membenci wanita itu sejak Serena menipunya dengan menyamar sebagai Senika. Ia bahkan menggantikannya membawakan jaket. Ditambah, ia memberikan kabar buruk yang sudah membuat Luke berada di titik terendah di dalam hidupnya.
Ya, yang ia tangkap, Serena menyamar sebagai Senika dengan tidak memakai riasan. Ia juga sengaja memakai gaun pastel yang biasanya dikenakan Senika. Menjadikannya salah sangka hingga memeluk gadis itu.
Mengingatnya membuat hati Luke begitu sakit karena harapannya pupus. Ia berharap Senika hadir saat itu. Namun ....
"Maafkan saya mengganggu Anda yang seharusnya beristirahat," ucap Serena sambil menunduk. Ia pun mendongak, mengamati Luke yang sama sekali tidak menatapnya.
Kulit wajahnya pucat, lebih pucat dari Orwen yang kemarin ditemuinya. Rahangnya mengeras, pipinya semakin tipis, kantung mata dan hidungnya berkerut merah. Sepasang matanya menyiratkan rasa kesepian, membuatnya nampak benar-benar menyedihkan.
Luke terpaksa menatap gadis di hadapannya. Ia tertawa mengejek tanpa keikhlasan. "Mengapa wajahmu harus mirip dengannya?" tanyanya tanpa perasaan,"seandainya dia yang mencariku, aku tidak akan pernah berpikir kalau dia menggangguku."
"Yang Mulia."
"Kau pasti hanya akan mengolok-olokku yang sudah salah mengiramu sebagai adikmu. Apa kau puas sekarang?"
"Saya paham mengapa Anda seperti ini. Saya juga sedih tentang---"
"Sudah cukup. Kau boleh keluar!"
"Yang Mulia, bisa tolong berikan saya waktu lima menit?"
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Pertama saya minta maaf untuk yang kemarin. Saya tidak bermaksud untuk menipu Anda. Dan... saya hanya menuruti permintaan adik saya untuk yang berpenampilan seperti itu."
"Yang kedua, saya ingin mengembalikan ini," kata Serena, mengeluarkan selipat sapu tangan bordiran mawar biru dari sakunya.
"Oh. Hanya itu?" tanya Luke
Serena meletakkan lengannya di meja. Ia berkata, "Saya ingin membuat sebuah kesepakatan."
"Apa yang kau inginkan?"
"Sederhana saja. Saya hanya meminta satu," ujar Serena, "di samping itu, Anda mencintainya bukan?"
Luke memalingkan muka. Ia berusaha menyembunyikan ekspresinya yang tidak bisa didefinisikan. Sementara Serena mengeluskan jarinya pada bordiran sapu tangan yang ia pegang.
"Sapu tangan ini ... persis seperti milik adik saya. Ini adalah hadiah yang saya berikan untuknya; hasil dari rajutan saya selepas kami mengikuti kelas lima tahun yang lalu," aku Serena.
Serena kemudian menyerahkan sapu tangan itu ke Luke. Ia bertanya, "Bagaimana Anda bisa memilikinya?"
Luke membeku sesaat. Seketika, ia mengeraskan tatap ketika Serena tersenyum tipis ke arahnya.
***
Funfact:
- Di "Bloody Roses", Serena Chester adalah tokoh antagonis yang paling frontal mengejar Luke.