Chereads / Aku Tidak Mau Obsesi Pemeran Utama / Chapter 37 - Setelah Kepergiannya

Chapter 37 - Setelah Kepergiannya

Terik mentari menembus celah-celah ventilasi dan jendela yang terhalang gorden mustard. Cat dinding putih yang sedikit retak mulai mengelupas karena penguapan. Cerobong asap yang telah lama tak digunakan tidak menjadi pengaruh untuk suhu di dalam ruangan mansion Chester.

Ya, mereka tidak perlu menyalakan perapian, karena suasana di mansion megah itu nyaris sama dengan musim panas yang sedang berlangsung.

Beberapa hari ini, kediaman Duke Chester sedang gempar oleh berita kehilangan. Berita itu membuat seisi mansion geger mengenai perubahan suasana yang menurun drastis.

Duke Orwen Chester, sosok yang beberapa hari lalu masih melunakkan suaranya, kembali menjadi sosok yang dingin. Bukan hanya mimiknya saja yang sedingin kristal es. Tetapi juga sikapnya yang berubah menjadi lebih keras kepala.

Sejak putrinya menghilang, pria itu terus menolak makanan yang disajikan untuknya. Daripada makan, ia lebih sering menitipkan "istana"-nya kepada para bawahannya.

Kini, akhirnya ia kembali setelah melakukan perjalanan tanpa arah yang membuatnya putus asa. Sesekali, dibukanya amplop putih yang ditemukannya tempo hari, hingga kertasnya menjadi kusut.

_____________________________________

Teruntuk Duke Orwen Chester.

Hai, Ayah. Bagaimana kabar Ayah hari ini? Sudahkah Ayah sarapan? Kuharap Ayah menghabiskan makanan Ayah meskipun itu bukanlah sepotong kue tiramisu.

Apa Ayah minum kopi lagi sembari membaca koran? Jangan terlalu banyak minum kopi! Kafein tidak baik untuk kesehatan lambung Ayah yang sudah tua, okay?

Pertama, maafkan aku. Aku pergi tanpa pamit dan hanya meninggalkan jejak berupa surat ini. Tapi, bukan berarti Ayah tidak berarti bagiku. Aku hanya ... ingin sendiri.

Mengertilah, Ayah, aku pergi bukan karena tekanan batin ataupun masalah hidup. Tidak ada yang salah dari mansion Chester maupun yang lainnya.

Namun, aku pergi karena ingin bebas.

Aku hanya ... ingin berkelana ke seluruh benua sendirian.

Dan ... satu hal yang ingin kusampaikan kepada Ayah.

Aku sangat menyayangi Ayah, meskipun aku tidak pernah berani mengucapkannya. Aku begitu senang saat Ayah melontaran pertanyaan sederhana seperti; sudah makan atau belum, berapa uangmu sekarang, bagaimana jika membeli baju baru.

Ayah adalah figur orang tua yang hebat. Sekalipun mereka membicarakan Ayah yang katanya terlalu cinta pekerjaan, Ayah sudah berjuang keras.

Ayah, terimakasih atas segalanya. Maafkan aku jika aku banyak melakukan kesalahan.

Satu permohonanku untuk Ayah: semoga Ayah tetap menjaga keluarga kita sama seperti biasanya. Tetaplah berhubungan baik dengan Serena, ya, meskipun aku sudah tidak ada. Okay?

Tertanda,

Putri keduamu,

Senika Chester.

______________________________________

Sudah ratusan kali surat tesebut dibacanya. Tapi, hal itu tak melelahkan sepasang matanya. Hanya saja, dua lembar kertas itu sudah mampu memantik api emosi di dalam raga Orwen.

Mengapa? Mengapa gadis ini pergi saat tidak ada masalah apa-apa?

Ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang ia tulis. Terlebih, alinea terakhir dari surat itu seperti bermakna bahwa Senika akan pergi selamanya.

Apakah Senika kabur dari rumah karena penjagaan mansion Chester yang terlalu ketat?

Hal itu sungguh masuk akal menurut Orwen. Sebab, ia selalu mengekang Senika dengan berbagai larangannya.

Contohnya; Senika tidak boleh terlalu sering keluar rumah, dilarang membantu pekerjaan para pelayan, tidak menuruti keinginannya ketika Senika meminta latihan fisik dan memanah. Akibatnya, Senika menjadi perempuan yang tidak bisa apa-apa, selain membaca buku dan berdiam diri di rumah.

Wajar saja ia berlaku begitu. Baginya, fisik Senika lemah sejak kecil---jauh lebih lemah bila dibandingkan dengan Serena. Ditambah, putri manisnya itu pernah terbaring koma selama empat tahun lamanya.

Bagaimana ia tidak khawatir dengan keadaannya? Tentu saja ini semua ia lakukan demi kebaikan Senika!

Tapi apa yang Senika lakukan? Kabur dari rumah?

Betapa kekanakannya putri bungsunya ini!

Ia pikir, Senika jauh lebih dewasa dari Serena. Tapi ternyata asumsinya meleset karena pandangannya sempit.

Sraak

Akhirnya, kepala keluarga Chester itu menghempaskan dirinya ke kursi. Lembaran surat tadi dilemparnya tepat ke atas meja. Dengan putus asa, Orwen mencoba memejamkan mata.

Rick yang berdiri di belakang sofa memperhatikan tuannya yang semakin hari, semakin kurus. Pria berkacamata bundar itu mengamati kantong mata Orwen yang menebal, kulitnya yang bercucuran keringat, bajunya yang kusut tak beraturan karena baru saja tiba setelah tiga hari tidak pulang.

"Your Grace, bagaimana jika Anda pindah ke kamar terlebih dahulu?" tanya Rick saat Orwen menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Tidak," tolak Orwen yang menekuk wajah pucatnya.

"Huft."

Detik demi detik berlalu. Rick menetap di belakang kursi. Entah dia tidak peka, ataukah memang sengaja memasang badan untuk menjadi pelampiasan. Yang pasti, pria berusia 60 tahun itu sama sekali tidak menggerakkan kakinya barang sesaat.

"Pergi!" Akhirnya Orwen menegaskan niatnya untuk mengusirnya.

"Saya tidak bisa," tukas Rick.

Orwen memutar kepalanya ke arah Rick. "Kau mengganggu pemandangan."

"Saya 'kan berdiri di belakang Anda."

Orwen berdecih. Ia pikir, mengapa kakek tua ini sekarang lebih pintar dalam memelintir perkataannya?

"Terserah, apapun itu, keluar sekarang juga!"

"Anda bahkan belum tidur sama sekali."

Brak

Tiba-tiba saja, Orwen menggebrak mejanya. Ia menoleh dan menatap tajam pada ajudan yang dinilainya sok perhatian tersebut.

"Bagaimana aku bisa tidur saat putriku menghilang dari rumah?!" pekiknya dengan nada tinggi, membuat Rick tersentak sambil memundurkan langkah.

Rick meneguk salivanya sendiri. Kemudian dengan hati-hati, Rick menata kembali kertas-kertas yang berserakan di hadapan Orwen. "Setidaknya, Anda harus memulihkan energi untuk mencari Nona Senika besok lagi. Bila Anda jatuh sakit, bukankah Anda tidak bisa mencarinya lagi?"

Tepat, kalimat itu menohok pada dada Orwen. Walau cukup mengesalkan, apa yang disampaikan Rick ada benarnya juga. Sejenak, ia mempertimbangkan saran dari ajudan setianya itu.

"Oleh karena itu, biarkan para bawahan saja yang melanjutkan pencarian. Sementara Anda bisa beristirahat sebentar."

Perlahan, Orwen meregangkan tangan dan kakinya. Lantas, matanya yang sudah bengkak itu menyipit.

"Baiklah, aku akan tidur sebentar di sini. Sekarang, pergilah!" titahnya mutlak.

Setelah membungkuk dan mengucap pamit, Rick keluar dari ruangan kerja Orwen. Tepat saat ia membuka pintu, seorang kepala pelayan menunggu gilirannya masuk dengan kerutan dahi yang begitu dalam. Kepala pelayan itu sepertinya hendak melaporkan sesuatu kepada Orwen.

Mengerti maksudnya, Rick seketika meremas kedua bahu sang kepala pelayan sembari melotot.

"Hei, ayo pergi!" perintah Rick dengan setengah berbisik.

Walaupun wanita tua seumurannya terus mengelak, Rick mendorongnya tanpa ampun dan membekap mulutnya. Kini, mereka telah berpindah ke depan dapur yang sudah jauh dari ruang kerja.

"Sir, aku tahu kau adalah ajudan pribadi Your Grace. Tapi bukan berarti kau bisa begini padaku!" kesal nyonya berseragam hitam tersebut.

"Pssst! Dengar, Wenny! Your Grace baru saja akan istirahat setelah tiga hari mencari putrinya yang hilang. Dia sedang sangat sensitif!"

Sang kepala pelayan yang dipanggil "Wenny" itu mendesah, lalu menepuk jidatnya. "Hah, keluarga ini benar-benar meresahkan."

"Memang. Tapi ... apa yang hendak kau laporkan kepada Your Grace?"

Wenny menampilkan wajah letihnya. Ia pun melapor, "Semenjak Nona Senika menghilang, Nona Serena kembali melakukan kebiasaan lamanya."

Otomatis, Rick mengangkat kedua alis putihnya.

"Kau tahu, 'kan?"

Rick menyipitkan matanya. Ia pun membenahi bingkai kacamatanya yang sedikit melorot.

***

Ctas Ctas

Bunyi lecutan pecut terus menggema, berbentrokan dengan kulit manusia. Beberapa orang wanita memasang posisi merangkak seraya menundukkan kepala. Kedua telapak tangan mereka terkena cambukan yang terasa panas.

"Nona, tolong ampuni saya!"

"Saya minta maaf, Nona!"

Mereka meronta dengan iringan cambuk yang semakin lama semakin keras. Pecutan itu terus membekas sebagai luka bakar. Rasa perih kian menusuk, menembus ke tulang-tulang jari dan punggung tangan mereka.

"Aku tahu kalian mencoba mencuri perhiasan Senika saat dirinya menghilang. Apa kalian tidak punya akal?!"

Ya, Serena kembali menjadi iblis di tengah labirin, menghukum para pelayannya dengan kejam.

***