Chereads / Aku Tidak Mau Obsesi Pemeran Utama / Chapter 34 - Saat Terakhir

Chapter 34 - Saat Terakhir

Sesosok pria gagah datang ke ruangan gelap. Percikan darah terciprat di pipi mulusnya. Ia menggenggam sebilah pisau. Mata pisau itu mendarat di sebuah meja kayu.

Apa yang sedang ia lakukan?

Aku hanya penasaran mengikuti sosoknya ke ruang bawah tanah. Tadinya aku menunggu kekasihku di taman istana. Kini, aku bersembunyi di balik dinding.

Ia mengelap tetesan darah yang tertoreh di pisaunya. Kemudian, membungkus benda itu rapat-rapat. Dilemparnya pisau tersebut ke dalam peti seukuran koper. Sehabis itu, ia melepaskan jubah yang menutupi figurnya. Dibuangnya kain usang itu ke peti tadi.

Lalu, pria itu menurunkan bajunya. Dari belakang, terekspos punggung lebar yang dipenuhi bekas luka. Samar-samar, ia nampak menyeramkan di tengah kegelapan. Membuatku ingin melarikan diri dari sini. Namun sayang, aku tak bisa, karena aku terlanjur masuk ke ruangan yang telah terkunci.

Aku mengalihkan pandangan. Kuputuskan untuk menunggu sampai dia keluar. Kala bunyi bantingan pintu terdengar, aku celingukan. Kuperiksa lingkungan ini, barangkali situasi belum aman.

Kuraba sebuah meja kayu tepat di depanku. Tumpukan kertas lama berserakan di sana. Di atas kertas-kertas itu, terdapat tulisan. Namun, aku tak dapat membacanya karena gelap. Karena itu, kusibak tirai merah yang berada di kanan. Mengakibatkan secercah cahaya mengisi ruangan ini.

"Oh, ini ...."

Tertulis jelas deretan nama bangsawan di kertas itu. Mereka merupakan para bangsawan yang sudah meninggal. Dan deretan nama mereka sudah dicoret dengan tinta merah. Apakah tinta coretannya terbuat dari darah segar?

"Hih."

Bulu romaku meriding. Aku pun beralih ke sebuah papan yang ditempeli sketsa wajah. Wajah-wajah itu ... aku sangat mengenal mereka. Mereka adalah ... Kaisar Dawnell dan Permaisuri?

Keduanya sudah tiada. Selain mereka ada para petinggi faksi bangsawan yang mendukung pemberontakan. Juga ... tunggu, apa ini?

Dari Richado Willard sampai Serena Chester?

Krieet

Gawat, orang itu kembali. Secepat mungkin aku bersembunyi di balik tirai.

Tapakan kakinya kian mendekat. Semakin dekat jaraknya denganku, semakin cepat laju pompa jantungku.

Aku menahan napas, berharap ia tidak menangkapku. Ia mendekatkan kepalanya ke tirai, juga mengendus-endus baunya. Membuatku terus membatu di tempat.

"Aroma ini ... seperti miliknya. Saking rindunya, aku jadi berdelusi."

Pria gila itu bergumam berat. Gumaman dengan suara yang sangat kukenal.

Tidak salah lagi, dia adalah kekasihku.

Kuberanikan diri menyibak kain tirai---satu jengkal saja. Kudapati dirinya berdiri di depan potret lukisanku. Ia mengeluskan jarinya dengan aneh ke permukaan kaca figuran.

"Senika, aku sudah mencarimu di taman. Dimanakah kau berada, hm?"

Mataku membulat menyaksikan adegan itu. Aku pun membekap mulutku yang ternganga lebar. Pria aneh ini ....

"Senika ...."

"Senika ...."

"SENIKA!"

"HAAAH!"

Akhirnya, kelopak mataku membuka. Aku terbangun dengan posisi terlentang di kasurku sendiri.

"Senika! Akhirnya kau bangun juga!" pekik Serena, sambil menekan kedua pipiku. Kenyerian ini menyadarkanku bahwa aku sudah berpindah ke dunia nyata.

Ternyata, segala kesuraman yang terjadi hanyalah bunga tidurku.

Bukankah itu salah satu adegan dalam alur novelku?

Ah, benar. Ini semua gara-gara Luke dan perasaanku. Makannya, ketakutanku terus membesar. Prasangka negatif tak henti-hentinya mendesak otakku. Hingga akhirnya, kisah itu terbawa mimpi.

"Aku hampir mati ketakutan. Apa kau tahu? Kau tidak bangun-bangun dari kemarin malam!" seru Serena. Ia melipat lengannya kesal. Namun, dari ucapannya terdengar khawatir.

"Serena!"

Segera, aku mendekap Serena dengan erat. Sangat erat, sampai dirinya mengerang tanpa sadar. Sebenarnya Serena sesak nafas, namun ia menahannya tanpa protes. Serena berubah respons dari marah menjadi tenang.

"Ada apa? Apa ada monster di dalam mimpimu?" tanya Serena. Ia membalas pelukku, juga menepuk-nepuk punggungku---layaknya seorang kakak terhadap adiknya.

"Sepertinya iya," jawabku ragu.

"Aku ada di sini, tidak usah takut!" ucap Serena, beralih mengelus geraian rambutku.

"Ya, aku tahu. Aku bersyukur Kakak masih ada."

"Hei, hei, kau mengatakan itu seolah aku akan pergi dari dunia ini. Kalaupun benar, apa aku akan mati secepat itu?" kekeh Serena.

"Tidak! Itu tidak akan terjadi! Tidak boleh!" seruku cepat. Namun tanpa ia ketahui, aku menggigit bibirku miris.

***

Beberapa hari setelah mimpi itu, Senika mulai bertindak. Gadis itu menyusun ulang rencananya dan mempersiapkan segala hal yang diniatkannya sejak lama. Persiapan itu dilakukannya dengan waktu yang relatif singkat.

Pertama, Senika mengadakan pertemuan rahasia dengan orang internalnya. Ia bersama orang-orang kepercayaannya berkumpul di sebuah meja bundar di satu rumah pribadinya. Ia tidak bisa memilih mansion Chester sendiri sebagai opsi karena beresiko terpergok oleh pengikut Chester.

"Semuanya, maafkan aku yang mengundang kalian mendadak ke begini." Senika memulai.

"Tidak apa-apa, Nona Senika. Saya malah senang bisa bertemu dengan Anda."

Airi menendang mata kaki Reyner dengan sepatunya. Ia mengode Reyner agar tetap diam. Sementara Erthen yang duduk di sisi kiri Reyner menanti hiburannya datang---ketika Reyner mandapatkan balasan dingin. Biasanya Senika akan menegur kekurangajaran Reyner. Namun, kali ini berbeda karena Senika tidak ingin menghabiskan energinya sia-sia.

"Oh, ya, Nona Senika. Saya sungguh minta maaf karena ayah kali ini tidak bisa datang. Beliau sakit karena terlalu banyak begadang demi penelitian," sanggah Airi.

"Tidak masalah. Sampaikan salamku padanya, ya! Semoga guru lekas sembuh."

Airi mengangguk, kemudian berterimakasih atas ucapannya.

"Ada yang mau berbicara lagi?"

Seluruh hadirin membisu dan beberapanya menggeleng pelan. Lantas Senika melanjutkan inti pembicaraan.

"Baiklah. Kuanggap tidak ada. Jadi aku punya urusan yang mendesak. Di hadapan kalian, aku juga mengundang para notaris, ahli hukum, pihak bank, serta beberapa orang yang membantuku. Aku mengumpulkan kalian, para petinggi di perusahaanku, dengan tujuan untuk memutuskan sesuatu yang benar-benar penting."

Dua puluh orang yang duduk semeja memperhatikan Senika dengan serius. Mereka menungggu-nunggu apa tujuan Senika memanggil mereka, mengingat Senika tak memberi petunjuk apapun di dalam suratnya.

"Aku akan mengundurkan diri dari Orion dan ARS."

Airi dan pemegang saham lainnya terbelalak kaget. Sedangkan Erthen yang sudah mengetahui semuanya tak menampakkan perubahan ekspresi. Berbeda dengan Reyner yang seketika bangkit dari kursinya.

"Apa? Kenapa mendadak begini?" tanya Reyner.

Memang, dari semua bawahan hanya Reyner lah yang selalu bersikap seenaknya. Ia yang paling berani berekspresi dibandingkan dengan yang lain.

"Ada urusan mendesak yang tidak bisa kutinggalkan."

Hadirin seolah bertanya urusan mendesak apa sampai pimpinan mereka---yang terkenal memprioritaskan pekerjaan di atas segalanya---ini mengundurkan diri. Apa alasan dibaliknya? Namun suara mereka tercekat karena sungkan.

"Tapi tenang. Aku akan memberikan sahamku ke kalian semua. Namun, sebelum itu, aku akan mengambil hak pribadiku selama aku menjalankan bisnis ini. Tuan Fred, akan kuserahkan pembicaraan tentang legalitas padamu."

***

Rapat Rahasia tersebut diakhiri dengan kesepakatan bersama, meskipun butuh waktu yang lama. Kebanyakan dari mereka tidak menyetujui. Katanya, mereka sangat menyayangkan kepergian Senika. Tapi Senika yakin, itu hanyalah gimik belaka.

Orang mana yang akan rela jika ia diserahkan tanggung jawab dengan tiba-tiba?

Biasanya mereka menerima perintah, sekarang mereka harus berdiri sendiri agar perusahaan terus berjalan. Yah, Senika berharap semoga perusahaan itu semakin sukses meski dirinya sudah tidak menjadi bagian dari mereka.

Senika tak terasa mengarahkan langkahnya ke ruangan Duke Chester. Ruangan biasa dengan pajangan foto di dinding. Juga meja kerja dari kayu pinus yang tak mudah lapuk. Dengan bau kertas yang menyeruak.

"Ayah."

"Butuh sesuatu?"

Senika membungkam seribu bahasa. Untuk terakhir kalinya, ia memasuki ruangan ini, lengkap dengan ayahnya di kursi empuknya. Suatu hari nanti, ia pasti akan merindukan ruangan yang membosankan ini.

"Tidak," tukasnya lama.

"Tumben. Biasanya kau ke sini hanya ketika membutuhkan sesuatu."

Senika menggigit bibirnya, mendapati kewelasan Orwen dalam bertutur. Kegalauan menembusnya dengan rangkulan hangat.

Tidak, Senika tidak boleh egois. Dari awal pun semua ini bukanlah miliknya. Kala pengembalian tiba, ia tidak boleh serakah.

"Aku hanya merindukan Ayah."

Gadis bergaun krem polos itu mengeratkan rengkuhannya. Ia tak menyadari betapa berharganya sebuah pelukan, hingga momen perpisahan terjadi.

"Hahaha, ada apa denganmu?" Orwen memegangi kedua lengan Senika. Ia melanjutkan, "apa kau ingat saat pertama kali bangun dari komamu? Saat itu kau merasa enggan dengan pelukan Ayah."

Sepasang mata Senika berkaca-kaca. Ia berusaha menahan kelenjar air matanya supaya tidak mengeluarkan air.

Sekilas, terlintas kepingan memori sewaktu usianya masih 13 tahun; tepatnya ketika ia baru terbangun dari tidur panjangnya. Kala itu, ia merasakan kegelian dalam pelukan Orwen yang kaku. Momen tersebut merupakan pertama kalinya ia berjumpa dengan ayahnya.

Orwen Chester, sosok ayah pertama dalam dua kehidupannya. Semakin Senika kalut dengan pikiran itu, semakin ia tidak ingin pergi.

Senika mengencangkan lengannya pada bahu Orwen. Demi keluarga Chester, ia harus menghilang dari peredaran. Ya, ini demi ayahnya juga.

"Haa ... putri bungsu Ayah sangat manja sore ini."

Orwen memeluk anaknya lama, sampai ia lalai dengan pekerjaannya.

***

Di sebuah kamar bernuansa klasik, seseorang berdiri di depan lemari pakaian. Seseorang itu menggerai rambut gelombangnya dengan indah. Di lantai, berjajaran dress bertabur kristal dan berbagai permata. Model dress itu berbeda-beda desainnya.

"Kakak!"

Suara Senika menggema ke dalam ruangan, membuyarkan lamunan gadis tersebut terhadap gaun-gaunnya. Gadis itu memutar otomatis pada panggilannya.

"Senika!"

Selalu, kembangan senyum tak absen dari wajah seorang Serena. Hanya kepada Senika sumringahnya tercetak.

"Aku sangat kebingungan mau memilih pakaian yang mana. Menurutmu mana yang paling cantik untukku?"

Senika membandingkan ketiga dress di depan matanya. Terdapat dress biru bermanik di pojok kiri, dress lapis ungu dengan bordiran renda hitam di atasnya, dan dress merah marun. Telunjuk Senika tertuju pada sebuah dress ungu di tengah.

"Yang itu cocok untuk Kakak. Nampak elegan kalau ditambahkan dengan ini."

Senika membuka kotak yang dibawanya. Di dalam kotak itu, terkumpul berbagai macam perhiasan. Salah satunya liontin ungu yang ia tunjukkan.

"Em, itu kan liontin punyamu."

Tanpa merespons, Senika meletakkan kotak itu ke meja rias Serena. Ia berkata, "Sekarang ini milikmu."

Serena mengeryitkan dahi. Untuk apa adik bungsunya memberi perhiasan tiba-tiba?

"Jangan bingung begitu. Kakak kan sangat menyukai perhiasan. Aku memberikannya karena merasa terbebani."

Serena memang menyukai perhiasan. Ia mengoleksinya dari yang antik sampai yang paling langka pada masanya. Namun bukannya senang, Serena malah melipat wajahnya. Geraian rambut birunya ia remas. Ia juga mengeliling ke area sekitar Senika.

"Ada apa denganmu?"

Serena menajamkan lensa lekat ke setiap inci perubahan mimik Senika. Gadis berstileto itu menyentuh pundak Senika hingga menyebabkan hawa merinding.

"Aku tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu."

"Tidak! Aku hanya ... Em, itu. Aku ingin meminta tolong!" elak Senika.

Serena mendekatkan netranya ke netra Senika. Ia mendeteksi kebohongan yang terungkap di matanya.

"Minta tolong?"

"Hmm. Itu ...."

***

Di malam yang cukup gelap, rutinitas makan malam tetap berlaku. Seperti biasanya, Senika, Serena dan ayah mereka menduduki meja makan yang sama. Sebuah meja persegi panjang yang terbuat dari kayu jati.

Di meja yang bersih dari debu itu terhidang lauk sampai buah-buahan yang melimpah. Meskipun peperangan sudah berlalu, kekayaan Chester tak berkurang banyak. Karena itu, makanan mewah masih menjadi konsumsi sehari-hari.

"Senika, apa supnya tidak enak?" tanya Serena.

"Enak kok."

"Lalu kenapa hidanganmu hanya kau jadikan mainan?"

Sikapnya memang penuh tanda tanya karena tidak biasanya ia malas makan. Di hari-hari biasa, Senika memiliki hobi menghabiskan makanan. Ia mengaku bahwa masakan dari koki dapur yang paling lezat sedunia. Tapi tidak dengan malam ini. Senika berusaha mengunyah makanannya meskipun hanya berkurang sesendok.

"Apa kau ingin makanan penutup saja seperti puding cokelat?" Orwen angkat bicara, mengetahui perbedaan itu detik ini.

"Tidak perlu, Ayah. Terima kasih."

Senika lantas menghabiskan sup karinya cepat agar tidak dicurigai. Namun usahanya itu sia-sia, karena ia tersedak oleh bubuk cabai. Kepedasan itu membakar kerongkongannya hingga tak terasa, matanya mengeluarkan air.

"Pelan-pelan!"

"Ya, ya," singkat Senika, sembari mengusap air matanya.

Senika tidak bisa menahannya. Kegundahan itu memenuhi hatinya. Yang ia pikirkan adalah makan malam ini merupakan perkumpulan terakhir dengan keluarga Chester. Tak terasa hari itu akan tiba, mengingat dulu pertama kalinya mereka berkumpul adalah saat di meja makan.

Serena dan Orwen beradu pandang. Mereka mengirim sinyal bahwa ada yang salah dengan Senika. Apa ini gara-gara Putra Mahkota? Apakah ia menyakiti putri bungsu kesayangan Chester?

Kalau memang benar, mereka akan membabat habis pria garang itu meskipun dia tak terkalahkan di kekaisaran ini.

***

Pada dini hari, tepatnya pada pukul 01.02 A.M. , Senika sengaja membuang waktu tidurnya. Ia memutuskan untuk menjalankan aksinya saat orang-orang sedang terjaga.

Senika menyangklong tas berisi beberapa lipat baju sederhana, uang, perhiasan, dan lainnya. Tak lupa, ia menggeret laci mejanya untuk mengambil barang penting seperti kalung pemberian Louis.

Jendela yang tadinya terkunci terbuka lebar, sehingga udara dinginnya menyebar ke seluruh ruangan. Senika membentangkan tali tambang yang sudah diikatnya di pilar ruangan. Ia mempersiapkan kondisi.

Setelah segalanya di rasa siap, ia meletakkan surat di atas meja belajarnya. Surat khusus masing-masing satu: untuk Orwen, Serena, dan orang-orang Chester.

Sebelum pergi selamanya, ia menggumamkan sesuatu.

"Sejak awal semuanya bukanlah milikku. Maka akan kukembalikan supaya tidak ada kehancuran."

Lagipula, aku yakin kalian akan melupakanku setelah waktu berjalan cukup lama.

Langkah kaki Senika bertahan di kayu jendela. Untuk terakhir kalinya, ia memandang kamarnya sendiri---yang sudah menjadi rumah selama ini.

"Selamat tinggal!"

***