Chapter 18 - Peri Air

"Apa maksudmu bertanya begitu? Tentu saja kau anak Ayah dan ibu. Serena juga demikian."

"Bukan begitu."

"Lalu apa?!" lantangnya.

Seluruh keberanian kukumpulkan. Dengan sedikit rileks, aku membuka mulut, "Ayah, begini, sebenarnya aku baru menemukan fakta kalau aku bisa menggunakan sihir penyembuh. Sihir itu hanya dimiliki peri air, peri es dan keturunannya. Maksudku, bagaimana ini bisa terjadi kalau darahku hanya darah dari manusia?"

Raut wajah Ayah yang sudah keriput semakin mengerut. Tangannya mengepal di atas lutut. Lengan dan kakinya mengalami tremor. Ayah tercengang dengan pengakuanku yang mendadak. "Tahu darimana?" lirihnya.

Dengan berusaha tenang, aku menjawab, "Seorang teman memberitahuku. Ia juga membantuku membuat 'Elixir of The Blue.'"

Ayah memegangi keningnya erat. Nafas berhembus kasar dari mulutnya.Kakinya pun menyilang. Ia sedang memilah kata yang tepat untuk dilontarkan. "Baik. Ayah akan menjawab semuanya. Semoga kau tidak terlalu terkejut."

Kupegang permukaan tulang sternum di dadaku. "Aku siap, Ayah."

"Ibumu adalah peri air."

Aku melongo. Barusan aku seperti mendengar "peri air."

"Apa?"

"Ya, tepatnya mantan."

"Mantan? Ibu ... sebelumnya peri air?"

"Iya."

"Bisa Ayah ceritakan bagaimana detailnya?"

Ayah mengelus janggut tipisnya. "Jadi dulunya, ibumu seorang peri yang bersembunyi dari ketamakan manusia. Setelah perjalanan yang panjang, ia akhirnya menemukan perlindungan. Ia diadopsi oleh pasangan Baron Erlyene yang sudah renta. Ketika keduanya meninggal, ibu bertemu dengan Ayah. Ibumu berubah menjadi manusia setelah kami menikah."

Fakta yang dramatis. Sekali lagi, aku menyadari bahwa aku berada di dalam dunia fantasi.

Jadi begitu. Singkatnya, di dalam tubuh Senika mengalir darah campuran peri dan manusia.

Kalau memang demikian, bagaimana dengan Serena?

"Senika, berjanjilah pada Ayah untuk tidak memakai kekuatan itu. Jangan beritahukan juga pada siapapun."

"Mengapa?"

"Kau sudah mendengar sendiri cerita tentangnya. Seandainya orang-orang mengetahui itu, mereka akan memburumu untuk dimanfaatkan."

Aku menelan ludah, lalu mengangguk.

***

Sorenya, aku menuju ke danau. Sudah menjadi kebiasaanku mencari udara segar di sini. Bila aku tetap di mansion dan halaman, pelayan dan penjaga ada di mana-mana. Rasanya seperti aku sedang diawasi. Beruntungnya, aku bisa kabur melalui rute halaman belakang.

"Sedang apa?" tanya Louis, mendapatiku membaca buku di bawah pohon.

Kondisinya kian hari kian membaik. Ukiran di tubuhnya meredup. Bekasnya menyempit di lokasi pipi, lengan, dan kaki bagian kanan. Ia juga makin berisi. Lega melihatnya tumbuh semakin sehat.

Aku mengendikkan bahu tanpa menoleh ke arahnya. "Kau lihat," datarku.

Louis merebut buku yang kupegang. Ia mengangin-anginkannya.

"Hei, kembalikan!" Aku meloncat, berusaha meraih buku bersampul hijau itu.

"Hmm. 'Mahluk Mitologi' ya?" Louis mengeja judulnya sambil memiringkan kepala.

Dengan sebal, aku melipat lenganku. "Kau ini tidak ada kerjaan atau bagaimana sih?"

Bocah itu menunjukkan kapal kasar di lima jari kirinya. Ia bilang, "Aku habis latihan berpedang. Kau lihat?"

Saat ia lengah, kurampas kembali bukuku dari tangan kanannya. "Ya, aku sudah lihat, Tuan Ksatria." Aku menekankan julukan itu.

Louis tak pernah menjelaskan secara gamblang identitasnya. Ia hanya menyebutkan kalau cita-citanya ingin menjadi ksatria pedang yang tersohor. Sayang sekali, mimpinya itu harus kandas. Sebab, di masa depan, Luke Carlyle yang akan mengisi posisi itu.

Memikirkan itu membuatku berdecak iba sambil menggelengkan kepala.

"Kau marah? Dasar anak kecil."

"Siapa bilang?"

Tuk

Ia menusuk pipiku dengan jari telunjuk. "Jangan marah. Kau makin menggemaskan kalau marah."

Entah mengapa aku jadi semakin kesal. Aku mengusap bekas jawilannya. "Pegang-pegang sembarangan," gumamku.

"Nah, daripada membaca buku yang membosankan itu, kau bisa bertanya padaku. Aku ini belajar lebih banyak," tuturnya, yang kemudian duduk bersila di sisi kiriku.

Lanjut, kubuka lembaran yang terakhir kubaca. "Terimakasih, tapi aku tidak mau."

"Aih." Louis memonyongkan bibirnya. Membuatku mendengkus karena tidak bisa mengabaikannya.

"Baiklah, aku akan bertanya. Apa kau tahu tentang peri air?"

"Tentu saja. Peri air adalah makhluk menyerupai manusia. Ia juga mempunyai sayap dan telinga lancip, tapi kadang disembunyikan. Rata-rata, peri air bisa hidup sampai 300 tahun. Mereka hidup ditugaskan untuk menjaga keseimbangan elemen air."

"Hoo, begitu. Bagaimana dengan kekuatannya?"

"Yang kutahu, mereka mengendalikan air. Bisa menyembuhkan."

"Apa kau tahu ramuan Elixir biru?"

"Aku pernah mendengarnya di suatu tempat."

"Di buku tertulis kalau ramuan itu terbuat dari energi kehidupan peri. Apa maksudnya?"

"Oh, aku ingat. Katanya bila peri air terus membuat ramuan itu, lama kelamaan usianya akan berkurang. Tapi aku tidak tahu persisnya."

"Kalau keturunannya?"

"Aku tidak tahu."

Belum ada pertanyaan lagi yang kupikirkan. Buku yang sudah kututup pun kuletakkan di pangkuan. Aku bertopang dagu. "Yah, kau pintar juga, Louis. Darimana kau mendapat pengetahuan yang sudah tenggelam itu?"

Louis tersenyum tipis. Bibir merah mudanya merekah. "Pokoknya ada," singkatnya.

Louis pun merebahkan dirinya di atas rumput yang menguning. Ia meregangkan tangan dan kakinya. "Hah, karena aku sudah memberitahumu, bolehkah aku meminta imbalan?"

"Apa? Tapi kan kau yang menawarkan diri," keluhku.

"Ya sudah, kalau begitu oleskan lagi tanaman itu. Besok akan kubayar dengan koin emas."

Aku menggeleng, "Tidak usah, aku tidak perlu imbalan."

Memangnya Louis bisa memberi koin emas? Bangsawan tak bermodal sepertinya lebih baik menghemat uang itu untuk bekalnya kelak.

"Kalau begitu, aku akan mengajakmu pergi ke festival. Bagaimana?"

"Mana bisa! Putri bangsawan kan tidak bisa keluar tanpa pendamping. Ups--"

Aku membekap mulutku. Kuharap, ia tidak sadar dengan pengakuan tak langsungku. Selama ini, aku tidak pernah menyangkal atau mengiakan asumsinya soal identitasku sebagai Young Lady.

Louis terkekeh. Gelaknya nampak manis meskipun luka di pipinya belum hilang. Ia membenahi rambut panjangku dan berkata, "Kita kan menyamar. Kau mengkhawatirkan yang tidak perlu, Nona pemarah."

Sepertinya Louis sudah mendengarnya, tapi ia tidak begitu peduli.

"Oke. Sini kuoleskan!"

Hari ini merupakan hari yang cukup aneh. Aku baru mengetahui fakta bahwa Solelia Chester adalah seorang peri. Berbagai informasi memenuhi otakku. Sebuah nasehat terpatri di hatiku. Semoga saja hal ini berguna untuk masa depanku.

***