Pagi ini, aku beserta orang-orangku mengunjungi rumah persinggahan Marquis Reante di ibukota. Setelah kami berkirim kabar secara sembunyi-sembunyi, aku mengajukan syarat pertemuan dengannya--- tepatnya di tempat yang mudah kujangkau lagi aman dari pengawasan Duke---untuk membahas bisnis kami.
"Nona Muda Chester, bagaimana dengan ini?"
Marquis Reante mengajukan beberapa lembar dokumen termasuk dengan surat kontraknya.
Kutarik surat itu lebih dekat dari penglihatanku. Kuteliti satu demi satu kalimatnya. Inti dari surat pengajuannya adalah aku mendapatkan bagian tambang sebanyak 20%, Marquis 50%, dan sisanya menjadi milik kekaisaran.
"Tidak bisa," tegasku.
Kuoperkan lembaran kertas tadi ke Erthen, Ajudan sekaligus Lumbung Informasi pribadiku. Tak perlu kubeberkan lebih dalam tentangnya. Yang jelas, pria berusia 20 tahun itu adalah orang terpercaya--- yakni Leader grup Informan "Black Panther"---yang kupungut di jalanan.
Di masa depan, ia merupakan ajudan setia Luke yang dapat diandalkan. Tapi sekarang berbeda, karena Erthen sudah berada di pihakku.
Erthen membaca surat yang kuberikan. Selepas itu, ia mendengus sambil memperlihatkan seringainya. Dengan sarkas, ia mengritik, "Kesepakatan ini berat sebelah. Nona memiliki informasi yang sangat berharga, tapi mendapatkan bagian yang terkecil bila dibandingkan dengan Marquis dan perpajakan. Bagaimana ini bisa disebut kesepakatan? Ini monopoli."
Marquis menunjukkan raut muka sepat. Sehabis itu, ia tertawa dengan tujuan merilekskan ketegangan. "Bawahan Anda sangat cerdik, Nona. Begitupun Master-nya. Padahal kalian sama-sama masih muda."
Aku mengerti apa maksudnya. Kelihatannya dia memuji, tapi jika bahasa ala bangsawannya diterjemahkan, kira-kira begini artinya: "Meskipun cerdas, kalian masih seumur jagung bila dibandingkan denganku."
"Hahaha. Tentu saja Marquis. Itu karena jiwa kami masih muda sehingga terus bersemangat belajar."
Terjemahan: "Tidak seperti dirimu yang sudah tua, jiwaku ini lebih bersemangat dan bergairah."
Marquis tergelak. Dengan gembira, ia bertepuk tangan. "Baiklah, cukup. Anda memang tidak bisa dianggap remeh. Jadi, apa yang Anda inginkan?"
Sepintas, aku bertukar pandang dengan Erthen. Ia yang mengerti dengan isyaratku mengangguk. "Biarkan saya yang menjadi juru bicara Nona."
***
"Fyuh, setelah perdebatan yang panjang, akhirnya kita berhasil," legaku, memegang kepalaku yang berkepul asap.
Ketika hari menjelang sore, aku dan Erthen baru keluar dari kandang harimau. Sementara notaris---yang membantuku menuliskan surat kontrak, pihak bank, serta para saksiku sudah menghilang terlebih dulu.
Kontrakku dan Marquis diputuskan dengan bagianku yang menjadi 30%, Marquis 45%, dan sisanya untuk pajak kekaisaran. Setelah mencapai kesepakatan, aku memberitahunya tentang tambang kristal yang berada di satu titik hutan hujan dekat Kota Aefreon.
Tentu saja, aku juga menyertakan peta sebagai bukti pegangan. Pilihan yang tepat belajar geografi dan topografi kekaisaran.
Lalu, aku, menanam modal sebesar 35%-- dalam bentuk dua koper koin emas--- yang digunakan untuk membayar para pekerja tambang. Sisanya, Marquis Reante-lah yang akan mengurus di lapangan. Sementara aku tinggal duduk manis menunggu waktu balik modal tiba.
"Saya turut merasa lega, Nona." Erthen menanggapi.
"Terimakasih untukmu, Erthen. Kehadiranmu sangat membantu. Kau memang pandai dalam menjelaskan secara terperinci. Berbeda denganku yang tidak pandai berbicara."
Erthen merendah, "Sebuah kehormatan untuk saya."
Seperti yang kuharapkan darinya. Pria berambut hazel itu dapat diandalkan. Aku senang menemukannya terlebih dahulu sebelum Luke. Baru tiga hari ia dipekerjakan, tapi kinerjanya terasa memuaskan.
"Arsy!"
Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Saat aku menoleh, lelaki berjubah coklat yang sudah kuhafalkan suaranya itu berlari ke arahku.
"Louis?"
Louis membungkuk sambil menumpukan tangan pada lututnya. Ia mengambil napas sebanyak-banyaknya. Setelah dirasa tenang, ia menegakkan punggungnya. Ditatapnya pria berjubah hitam yang berdiri di sampingku.
"Siapa pria itu?" tanya Louis. Ia terus terfokus pada parasnya yang mulus dan mata kucingnya yang tajam.
"Dia Erthen, Ajudan baruku."
"Begitu."
Louis terus memicingkan matanya ke arah Erthen. Ia memindainya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Sedangkan Erthen yang merasa tidak nyaman membenahi kerahnya. Deheman menandakan bahwa ia mulai terganggu.
Louis pun menggenggam tanganku. Ia kemudian menariknya sampai pundak kiriku berdempetan dengannya. Sembari menyorot Erthen tajam, ia memerintah, "Jangan dekat-dekat dengannya!"
Erthen yang tidak bisa bersabar lagi membalas, "Bagaimana bisa begitu? Saya kan orang setia Nona Chester. Anda sendiri siapa?"
Louis mendengus kesal. Ia juga memajukan bibirnya. Ia menggerutu, "Aku adalah temannya."
Louis pun berbalik dan menarikku paksa. Ia membawaku cepat sampai ke tengah kerumunan di jalanan.
"Hei, berhenti dulu! Kenapa sih?!" Aku menggoyang-goyangkan lenganku.
Louis yang memimpinku terus membelah keramaian. Ia tak mengindahkan kemauanku.
Ngung
Lagi, perasaan de javu itu muncul. Sesosok bayangan menarik paksa tanganku. Dalam angan, aku nampak ketakutan. Kepalaku sakit sekali.
"Arsy?" samar-samar, kudengar panggilan Louis.
Detik ini, Louis sudah melepaskan tanganku. Dapat terbaca dari raut mukanya bahwa ia nampak cemas. "Maafkan aku. Kau baik-baik saja?" khawatirnya.
Aku yang memegangi pelipisku berseru, "Bagaimana bisa aku baik-baik saja? Kau sudah memisahkanku dari ajudanku! Apa kau sudah gila?!"
Louis menunduk menyesal. "Maaf, aku hanya merasa kesal."
"Kesal? Harusnya aku yang merasa kesal. Mengapa malah dirimu yang kesal?!"
Louis diam memadam. Ragu-ragu, ia menyampaikan, "Hm, apa ... menurutmu ... dia tampan? Maksudku ajudanmu."
Aku mengeryitkan dahi. Ada apa dengannya? Pertanyaannya tidak ada sangkut pautnya dengan percakapan.
"Erthen? Dia--"
"Ah, tidak! Lupakan!" sentak Louis. Ia pun mengacak-acak rambutnya kacau.
Keringat mengucur setetes di tapisnya. Louis yang nampak resah kelabakan.
"Em, itu ... hari ini kan aku mengajakmu jalan-jalan. Aku akan mentraktirmu apapun yang kau mau!"
Aku terdiam sesaat. Otakku mencerna maksudnya beberapa detik.
"Oh, begitu. Ya sudah," pasrahku.
Sejujurnya, aku masih kesal dengannya. Namun emosiku menurun drastis semenjak mendengar kata 'traktir' darinya.
Louis menghembuskan napas lega. Ia tersenyum tipis. Kembali, ia mengaitku dengan tangannya. "Ayo!"
Refleks, aku menyingkirkan tanganku. "Tidak usah pegang-pegang!"
Seperti biasa, Louis terkekeh melihat reaksiku.
***
Louis mengajakku ke festival panen musim gugur. Kami menonton pertunjukan, mainan di pinggir jalan, pameran lukisan, dan lain sebagainya.
Kala kami melihat barang dagangan, ia memborong boneka kucing, pedang bagus, dan kostum penduduk sipil. Sehabis itu, ia membelikanku makanan ringan seperti pie labu dan apple toffee. Pria muda itu juga menepati janjinya untuk mentraktirku makan malam.
Aku cukup senang mengunjungi festival bersamanya. Louis orang yang murah hati. Ia terus memanjakanku sampai aku kekenyangan. Tapi, baru tersadar olehku selesai melakukannya.
Bagaimana bisa aku menghabiskan uangnya?
Dasar tidak tahu diri. Karena keasyikan makan, aku jadi lupa diri. Dia kan juga harus menabung untuk masa depannya. Berbeda denganku yang sudah terlahir dengan sendok emas.
"Ugh!"
Aku memukul-mukul jidatku.
"Berhentilah! Tidakkah itu sakit?!" cegah Louis, seraya menahan lenganku.
"Jangan hentikan aku! Ini tanganku, bukan tanganmu!"
"Tidak mau!"
Kami terus beradu mulut hingga akhirnya Louis mengikat pergelanganku. Benar, mengikatnya dengan makna denotatif menggunakan tali busur.
Orang-orang memperhatikan kami dengan tatapan aneh. Di mata mereka, aku ibarat budak kecil yang dikendalikan oleh Louis.
Memang dasar Louis, bocah kurang ajar!
Untung saja dia mentraktirku. Coba kalau tidak. Sudah kuhabisi anak ini dengan satu jurus tendangan mautku.
***
Tak terasa, kami telah sampai di tepi danau. Tempat biasanya kami melakukan berbagai hal. Aku memandangi langit yang menjadi atapnya. Langit sudah petang menggelap. Walau begitu, cahaya bintang senantiasa berkelap-kelip menghiasinya.
"Hah, lelah!" keluhku, seraya membaringkan diri di atas rerumputan.
Sebentar saja, aku ingin melupakan semuanya. Tentang masa depan yang menungguku, tragedi yang akan terjadi, drama keluarga baruku, bisnis yang baru kumulai, perang gerilya Alberian, kekuatanku, dan masalah apapun yang menggangguku.
Terkadang, aku berpikir bahwa aku sudah cukup kuat untuk bertahan sampai ke titik ini.
Tadinya, aku adalah seorang gadis sebatang kara yang kesepian. Ya, benar-benar kesepian.
Kini, orang-orang berdatangan di hidupku. Kehadiran mereka perlahan mengisi kekosonganku. Kehangatan mereka ... pelan-pelan membuatku terbiasa.
Suatu hari nanti ketika aku membulatkan tekad untuk melarikan diri, aku takut. Aku takut tak bisa memandangi duniaku lagi dengan indah. Aku takut terlalu terbiasa dengan warna yang membuatku lalai.
Memang, beberapa orang sudah menjalin ikatan denganku tanpa kusadari. Namun sejatinya, aku ini sendirian. Akulah yang menarik diri, atau mungkin mendorong mereka menjauh supaya tidak terlalu dekat denganku.
Kupendam keluh kesahku tanpa ada yang mengetahui. Seorang diri.
"Arsy, hei!"
Louis menusuk-nusuk pipiku seenaknya.Orang ini menggangguku yang sedang ingin bermelow sendirian.
"Ada apa?" dinginku.
Louis tersenyum sampai menyembul lesung di pipinya. "Ayo, kita buat harapan dengan menerbangkan lentera!"
Aku terpaksa menurutinya, menerbangkan lentera oranye kami masing-masing. Lagaknya malam ini sungguh kekanak-kanakan. Tapi aku senang bisa menyenangkannya.
Entah mengapa aku merasa nyaman berteman dengannya. Bersama Louis, aku bisa menjadi diriku sendiri. Tepatnya sebagai Arsy, bukan Senika.
"Harapanmu sudah (ditulis)?" tanyanya.
"Sudah."
Kami melihati lentera yang semakin lama semakin mengecil di udara. Lentera-lentera itu terbang tinggi, menyusul bintang-bintang yang berada di atas.
Harapanku hanya satu. Semoga aku hidup bahagia, tanpa mengorbankan kebahagiaan orang lain.
Aku sudah terbiasa sendirian. Maka biarlah aku bahagia sendirian.
"Arsy, aku ingin mengatakan sesuatu." Louis memecah keheningan.
Lantas, aku yang berjongkok menoleh ke arahnya-- yang berada di sisi kananku. "Apa?"
"Tutup matamu!" perintahnya.
Aku mengikutinya. Semoga saja ia tidak mengerjaiku atau melakukan hal aneh. Perlahan, aku merasakan sesuatu menyentuh leherku. Kubuka kelopak mataku tak sabar.
Tiba-tiba, aku mendapati Louis yang parasnya tinggal sepuluh sentimeter jaraknya dari pandanganku. Aku yang terkejut seketika mendorongnya sampai terjungkal ke tanah.
"Aduh! Apa yang kau lakukan?" Louis meraba punggungnya yang sepertinya sakit.
"Kau itu yang apa! Wajahmu dekat sekali. Aku hampir mati karena kaget," seruku tak kalah.
"Sudah kubilang, tutup matamu dulu." Ia mengelus-elus leher dan rambut pendeknya.
"Hash."
Di permukaan jemariku, aku meraba-raba sesuatu di leherku. Itu benda yang kasar tapi tipis, seperti tali. Saat tanganku mengidentifikasi, di bawahnya tergantung bandul berbentuk bundar. Ini lebih seperti ....
"Kalung?"
Louis mengalihkan pandangan ke air danau. "Itu hadiah. Selama ini kau sudah ikhlas mengobatiku."
Samar-samar, pipi dan telinganya memerah. Jemarinya mengusap kaos yang menempel di lengannya. Matanya terus bergerak menghindariku.
"Terimakasih," tuturnya, dengan muka yang merah padam.
Ah, sumpah. Anak ini menggemaskan sekali!
Aku mengangkat tangan. "Cukup, kau membuatku terkena serangan jantung!"
"Yang benar saja!"
Louis beralih mengambil satu tas kecil. Ia pun menyodorkannya ke arahku. "Terima ini juga!"
"Sudah! Kau sudah cukup banyak membayariku!"
"Kalau tidak mau buang sa--"
"Jangan! Baiklah aku terima!" potongku. Aku pun memangku tas itu. Tas empuk yang berisi boneka kucing hitam.
Selepasnya, hanya terdengar suara jangkrik yang berisik. Juga hembusan angin yang mengetarkan dedaunan. Aku memandangi pohon besar di belakang Louis, kunang-kunang, dan bola lampu sihir di antara kami.
"Nah, jadi aku ingin melanjutkan yang tadi."
"Silakan."
"Hari ini hari terakhirmu bertemu denganku."
Deg
Jantungku berdentum keras.
"Apa?" tanyaku, meminta pengulangan sekaligus penjelasan.
"Dalam waktu dekat, aku akan dikirimkan ke perbatasan wilayah selatan."
"Artinya ...."
"Ya, aku akan menjadi bagian dari pasukan yang melawan Alberian."
Louis pun tersenyum lembut. Lesung pipinya dalam, membuat parasnya nampak manis di malam yang penuh kunang-kunang. Sikapnya penuh keambiguan, seolah ini menjadi momen terakhir kami berjumpa.
***