Chereads / Aku Tidak Mau Obsesi Pemeran Utama / Chapter 21 - Pesta Perayaan Kedewasaan

Chapter 21 - Pesta Perayaan Kedewasaan

Berita bahagia soal kemenangan Kekaisaran masih menjadi topik hangat. Orang-orang terus membicarakan betapa hebatnya pasukan militer yang dipimpin oleh Putra Mahkota. Dalam kurun waktu lima tahun, mereka berhasil membabat habis suku Alberian sekaligus dengan markas rahasianya.

Luke sampai dijuluki "Serigala Api" karena taktik cerdiknya dalam menggiring musuh ke sarangnya, lalu menyerbu dan membakarnya. Semua ini terjadi karena Alberian tidak mau mengalah saat diberikan kesempatan bernegosiasi baik-baik.

Sebenarnya aku lumayan bingung. Di dalam novel, Luke bukan ditugaskan untuk berperang melawan Alberian, tapi ia bertarung dengan para monster yang menyerang lereng pedesaan Gunung Alphenus. Sukses mengalahkan monster, ia pun menjadi ahli pedang tersohor karena mampu melenyapkan Chimera* terkuat sendirian dalam waktu kurang dari satu menit. Kini alurnya sudah melenceng dari yang seharusnya.

Mungkinkah ini terjadi karena campur tanganku?

Apapun itu, aku bersyukur karena dapat menyelamatkan Dukedom Chester dari keruntuhan.

"Senika, sudah dengar tentang surat Ayah?" tanya Serena.

"Belum."

"Ayah akan pulang setelah menghadiri perjamuan di istana kekaisaran. Kira-kira, pasukan akan sampai di Ibukota tujuh hari lagi."

"Begitu. Kenapa pasukan militer tidak mampir ke sini dulu? Rumah kita kan jaraknya lebih dekat daripada langsung ke Ibukota ... ups!"

Aku kelepasan. Sudah bagus membiarkan mereka saja agar aku tidak perlu bertemu dengan Luke. Kenapa juga aku ... hm.

"Aku juga inginnya begitu, tapi apa boleh buat. Sepertinya Kaisar menanti-nanti kedatangan mereka."

"Yah. Sayangnya, ya? "

"Iya."

Sekarang Serena sibuk menghabiskan dessert cheese cake-nya. Inilah kesempatan yang tepat untuk menjalankan strategi.

Sehabis meneguk teh gula batu, aku memulai, "Oh, ya, Kak. Aku kemarin membelikan perhiasan untuk Kakak."

Serena menghentikan kunyahannya. "Perhiasan?"

"Yeah. Tiga minggu lagi aku ingin Kakak memamerkannya ketika pesta perayaan kedewasaan."

Serena memandang jauh ke dinding berdekorasi bunga lily. Ia pun berkomentar, "Aku suka apapun yang kau berikan untukku. Tapi jika untuk tampil debutante, aku ingin memilahnya dulu."

Aku tersenyum lembut. Memikirkan cara ampuh apa yang harus kugunakan untuk merayunya.

"Perhiasan ini bagus, Kak, terbuat dari kristal bening khusus dan bernilai tinggi. Warnanya senada dengan mata kita."

"Hmm, begitu."

"Kristal ini juga dibalut dengan emas putih murni yang berkilau. Modelnya pun trendi. Barang itu akan kutunjukkan besok saat sudah datang. Akan kupastikan Kakak tidak akan kecewa."

"Baiklah ...."

Kakakku memelintir rambut panjangnya ragu.

"Dan Kak ... Sejujurnya, aku ingin mengenakannya kembaran dengan Kakak. Yah, kalau tidak mau juga tidak apa-apa sih. Tapi aku akan sangat sedih karena aku akan memakainya sendirian," jelasku, sambil memasang mimik terluka.

"Kembar katamu?"

Serena menampakkan respon positifnya.

"Iya, Kak. Bagaimana?"

"AKU MAU KEMBARAN DENGAN SENIKA!" hebohnya.

Gadis berkuncir dua itu mendadak memelukku. "Aaaa, terimakasih!"

Berhasil!

***

Seminggu kemudian, Ayah pulang bersama para rekannya setelah perjamuan di istana. Mereka berkumpul di mansion keluarga Chester sebagai tamu kehormatan.

Selain bersinggah, mereka berpesta semalam sebelum kembali ke rumah mereka masing-masing. Pesta itu digelar dengan bentuk makan-makan. Usai perayaan, rutinitas keluarga kami mulai berlalu seperti biasanya.

"Ayah, bagaimana dengan paha Ayah?" tanyaku suatu pagi, di meja makan.

Kemarin tatkala Ayah turun dari kuda, paha kirinya sudah dalam kondisi terbalut perban yang besar lagi panjang. Perban itu melilitnya ketat berlapis-lapis. Noda merah segar merembes di tengahnya. Luas noda itu kira-kira satu jengkal dengan irisan melintang.

"Tidak apa-apa. Sebelumnya sudah diobati oleh perawat di perjalanan dan dokter di istana."

Ayah mengatakannya santai sembari meluruskan lututnya di kolong meja.

"Ayah memaksakan diri ikut perjamuan istana dan pesta kemarin. Seharusnya Ayah istirahat saja!" saranku, menyambar sebuah pisau roti.

"Terimakasih. Tapi ini hanyalah luka kecil. Jangan khawatir!"

"Ayah selalu begitu. Padahal berjalan saja masih pincang. Pokoknya, Ayah memulihkan diri dulu sampai sembuh. Kalau perlu, aku akan merawat Ayah. Eksklusif."

Aku memaksanya seraya menggesek-gesekkan pisauku ke baguette di piring---yang tidak diragukan lagi tekstur crusty-nya. Roti ini benar-benar susah dipotong, sampai ujung pisauku menghentak pelan---menimbulkan dentingan yang terdengar jelas.

Untung saja Madam Thyriel tidak mengetahuinya. Coba kalau iya. Bisa-bisa, aku harus mengulang lagi kelas etika makan sekaligus mengenyam kritikan pedasnya---yang tahannya hingga berjam-jam.

"Iya. Seperti biasa, kau juga selalu mengomeli Ayah," tukas pria tua itu, dengan maksud membuat candaan.

Bibirku mengunci. Bagiku candaan itu tidak lucu. Aku pun beralih memperhatikan Serena yang sedang mengolesi potongan baguette-nya dengan saus tartar.

"Ayah, bisakah Ayah ceritakan mengenai kisah menarik selama perang kemarin?" tanya Serena kemudian.

"Hmm. Malam hari, Ayah tidak bisa tidur dengan tenang. Setiap detik terbayang musuh yang bisa saja mengayunkan kapak ketika kami lengah. Tidak ada hal yang menyenangkan di tengah kegelisahan persetruan. Tapi, terdapat tiga hikmah yang Ayah petik," terang Ayah.

Serena menelan makanannya. "Apa itu?"

"Tentang betapa berharganya nyawa yang kita miliki, rasa persaudaraan, dan ... betapa nikmatnya momen kebersamaan keluarga."

"Aww."

Ayah pun meneruskan kisahnya selama perang berlangsung. Kisah yang selama ini tak sempat ia ceritakan di secarik kertas. Tentang perjuangannya sampai ke titik darah penghabisan, taktik licik, situasi yang tidak dapat dihindari. Segalanya ia elu-elukan dengan bangga.

"Oh ya, ngomong-ngomong, Kaisar mengumumkan pesta perayaan kedewasaan akan diselenggarakan sekaligus dengan pesta kemenangan."

"Mendadak sekali."

Serena menghabiskan sisa makanannya. "Benar itu," tambahnya.

Ayah mengangkat bahunya. "Intinya, para partisipan debutante akan disorot sebagai penari utama. Tidak seperti biasanya."

"Berarti ... pestanya akan digelar dengan lebih meriah?"

"Yap."

Bagus. Aku bisa menggunakan kesempatan ini. Tapi, entah mengapa sesuatu mengganjal perasaanku.

***

Dua minggu berlalu cepat. Selama itu, tubuhku dimandikan oleh air yang dicampur susu domba dan diolesi minyak zaitun sebagai pelembab. Lalu wajahku dirawat dengan masker alami lidah buaya. Untuk perawatan rambut, pelayan memberikanku minyak kemiri. Demi tampil prima, aku juga disarankan berdiet dengan sayur dan buah-buahan.

Kini hari itu tiba. Di musim semi bulan Mei, tanggal 25, tahun ke-998 berdirinya Kekaisaran Dawnell.

Malam ini, aku berencana mengenakan gaun renda putih yang semodel dengan Serena. Kami akan menari debutante dengan dandanan yang serupa.

Sreet

Ariadna menaikkan resleting gaun putihku. Jarinya bergerak pelan namun dengan tenaga yang kuat. Ketika resletingnya ke tengah, tiba-tiba kaitannya lepas dari rantai. Alhasil, bagian belakang gaunku robek tanpa kait.

Ariadna yang panik menjauhkan dirinya. "Astaga? Maaf, Nona. Saya sangat minta maaf! Maaf!"

Ariadna memang ceroboh sewaktu-waktu. Aku juga sedang tidak mau merusak hariku dengan amarah.

"Yah, mau bagaimana lagi."

Aku pasrah dengan keadaan. Ekspektasiku terkoyak dengan realita.

"Nona, bagaimana kalau ... Nona memakai gaun yang lain? Sebenarnya kemarin saya tidak sengaja menemukan gaun berkelas di lemari pakaian. Gaun itu elegan, sangat cocok dengan Nona Senika," cetus Ariadna.

"Bisa kau perlihatkan padaku?"

***

"Sayang sekali, aku memakai gaun putih ini sendirian. Ari benar-benar! Pelayan amatiran itu ... huh! Aku sangat tidak suka dengannya!" gerutu Serena, yang duduk disampingku.

Detik ini, kami sedang dalam perjalanan menuju ke istana.

"Sudahlah, Kak. Ari tidak sengaja melakukannya," tenangku.

Gaunku yang rusak, tapi Serena yang marah-marah untukku. Ia adalah sosok kakak yang baik.

"Tapi tetap saja!" ketus Serena.

"Tidak apa-apa. Dengan begitu, Senika jadi lebih ...."

"Lebih apa, Yah?" pancingku.

Sekadar info, paha ayah sudah sembuh total. Aku membantu merawatnya menggunakan lidah buaya dan balutan luka sesuai dengan prosedur---yang juga bercampur dengan sihirku. Sebenarnya seseorang membantuku membangkitkan kekuatan empat tahunan ini.

"Lebih cantik!" lanjut Serena.

"Aww, tapi Kakakku jauh lebih cantik."

Tak terasa, roda kereta berhenti berputar. Kuda yang tadinya berlari beralih diam. Kami, keluarga Chester, menampakkan diri melalui ambang pintu satu per satu. Urutannya mulai dari Ayah, Serena, kemudian aku.

Tiba di giliranku, aku mengangkat rokku sedikit. Sol sepatuku menapak ke karpet merah. Hak lima sentimeternya menimbulkan bunyi "tak" yang hampir tak terdengar.

Berpegang pada tangan ayah, aku menegakkan badan. Kini, aula pesta itu sudah berada di hadapan kami.

***

*Chimera: salah satu makhluk mitologi Yunani mengerikan dengan bagian dari banyak hewan. Di sini, Chimera yang dikalahkan oleh Luke dalam novel berbentuk seekor naga berekor ular.

Funfact:

- Senika bisa perlahan memudarkan Louis dari kutukan karena kekuatannya---yang tanpa disadari tertransfer ke dalam lidah buaya.

- Tangan Senika mengalirkan kekuatan penyembuh yang aktif saat dia merawat seseorang.