Chereads / Aku Tidak Mau Obsesi Pemeran Utama / Chapter 20 - Lima tahun kemudian

Chapter 20 - Lima tahun kemudian

Senika berjalan-jalan di tengah kebun bunga. Bunga-bunga itu berasal dari keluarga dan spesies berbeda. Ada bunga tulip, poppies, edelweis, lavender. Sesekali, ia memetik salah satu dari yang tertanam di belakang rumahnya itu. Kemudian, menghirup semerbak aromanya, membedakan antara satu bunga dengan yang lain.

"Nona Senika."

Senika menoleh ketika seseorang memanggil namanya. Jemari lentiknya menjauhkan setangkai bunga tulip putih dari hidung mancungnya. Sambil memegang bunga berjuluk spring green itu, ia membalikkan badan. Tampilannya kini sudah matang, selayaknya gadis muda yang mirip dengan bunga baru mekar.

"Ada apa, Ari?" tanyanya anggun, dengan suara lembut.

"Ada tamu yang mencari Anda," kata Ariadna

Ariadna merupakan pelayan baru yang direkrut Senika. Ia menggatikan posisi Ivory karena dua bulan lalu, Ivory resign dari pekerjaannya. Tersiar kabar bahwa Ivory menikah dengan seorang pemilik toko. Saat resign, Ivory mengaku ingin menjadi ibu rumah tangga.

Senika memutar-mutar tangkai bunganya. Ia bertanya, "Siapa?"

Sebelum menjawab, seseorang yang dibicarakan sudah hadir di belakang Ariadna. Pria itu mengangkat topinya dan menunduk.

"Saya Reyner Helm, berkunjung untuk berdagang, Lady."

***

"Reyner, lain kali kau harus berhati-hati. Bagaimana kalau penyamaranmu terungkap?"

Senika mengusut sembari memegangi gagang cangkirnya. Ya, kini keduanya sudah berpindah ke rumah kaca. Mereka duduk di bangku yang tersedia.

"Maaf, Nona. Saya hanya merindukan Nona Senika yang cantik ini," puji Reyner dengan mata yang berbinar-binar.

Senika yang sudah kebal dengan kata-kata pujian berujar, "Mulutmu itu benar-benar manis, ya. Apa kau sedang berusaha untuk menjilat?"

Reyner menyengir kuda, mengetahui motifnya terlihat jelas di mata atasannya. "Hehe. Tapi saya tidak bohong. Semakin dewasa, Anda semakin mirip dengan bidadari."

Tak

Senika meletakkan cangkirnya di piringan. "Cukup! Aku geli mendengarnya. Laporkan padaku mengenai hasil penjualan."

Reyner yang tersentak memegangi dadanya. Sementara Erthen yang berdiri di belakang Senika berusaha keras menahan bibirnya agar tidak tertawa. Reyner menatap tajam Erthen. Ia mengutuknya dalam hati.

"Baiklah, Nona. Ehem. Mengenai penjualan perhiasan kristal bening, bulan ini menurun. Pendapatan berfluktuasi dari awal musim semi. Kebanyakan orang mengikuti tren dengan penggunaan permata ruby. Sepertinya mereka mengikuti gaya Nona Serena akhir-akhir ini."

Serena Chester, ia belum resmi debut di pesta kedewasaannya. Akan tetapi, dirinya lumayan sering hadir di pesta bangsawan.

Paras Serena memang secantik Senika. Di usianya yang menjelang 18 tahun, gaya busananya yang mewah menjadi sorotan orang-orang. Apalagi perilakunya itu yang sudah berubah menjadi lebih manusiawi---sejak Senika menjinakkannya. Para bangsawan lebih tertarik dengan benda-benda yang dipakai Serena.

Senika mengeluskan jari telunjuknya ke piringan. "Serena ya ...."

Berbeda dengan Serena, Senika jarang menonjolkan diri. Ia lebih sering menetap di rumahnya sendiri dan menolak berbagai macam pesta.

Hasilnya, Serena yang mengambil alih posisi itu. Namun tak apa, setidaknya Senika hidup tenang. Ia dapat terhindar dari teror yang menghantuinya, hanya karena dirinya menjadi bunga pergaulan kelas atas.

Senika berpikir keras. Ia harus menemukan cara untuk memecahkan masalah keuangannya. Menjalankan bisnis memang tidak semudah yang orang kira. Tidak selamanya pebisnis bisa langsung melejit sukses.

Senika menggantungkan tangan pada dagu kecilnya. "Oke. Mengenai detailnya, berapa pendapatan dan laba yang kita dapat? Lalu permintaan pasar? Grafik perbandingan penjualan musim ini dan sebelumnya? Bisa kau jelaskan?"

Reyner mulai gelisah. Baginya, pertanyaan Senika 11-12 dengan introgasi. Berbeda dengan fisiknya, Senika tidak lembut sama sekali kalau hal itu berkaitan dengan pekerjaan.

Reyner ragu-ragu mengeluarkan dokumen dari tas kotaknya. Meski takut, ia cukup percaya diri untuk mempresentasikan.

"Baik."

***

Senika yang selesai berdiskusi lama kembali ke kamarnya. Ia segera memposisikan diri ke meja belajar. Dipelajarinya pembukuan dokumen yang diberikan Reyner, Sekertaris sekaligus wakilnya. Kertas-kertas data yang rumit itu membuatnya pusing. Entah mengapa ia agaknya putus asa dengan bisnis aksesori permatanya.

Jadi Senika memiliki bisnis aksesori permata. Ia mendirikannya setelah setahun aktifnya aktivitas pertambangan di hutan hujan dekat Aefreon. Senika memperoleh berbagai kristal dari sana.

Hasil tambang itu diproses menjadi batu kristal murni. Kemudian, ia---yang bekerja sama dengan sebuah toko perhiasan di ibukota---membentuknya lagi menjadi aksesori yang siap pakai.

Mulanya begitu, sampai pada setahun yang lalu, ia mendirikan toko perhiasannya sendiri.

Idenya memang segudang. Usahanya tidak main-main. Orang-orang di bawahnya lumayan banyak. Tapi tetap saja, semua itu belum cukup. Senika perlu terobosan baru.

"Hah!"

Senika mulai pusing dengan masalah pekerjaan. Padahal, belum genap empat tahun perusahaan rahasianya berdiri.

"Aku ingin berhenti saja. Tapi kalau itu terjadi, bagaimana dengan nasib orang-orangku?" barangkali, itulah kalimat yang sering terlintas di benaknya saat ia jenuh begini.

Senika menyingkirkan kertas dan alat tulis yang dengan melihatnya saja sudah menimbulkan mual. Lantas, gadis yang rambutnya dikepang sepunggung itu bersandar di kursinya. Kedua pelipis dipijatnya pelan-pelan. Selesai memijat, ia mengarahkan pandangan ke laci meja.

Sreek

Dibukanya laci kayu bercat putih itu. Tergeletak sebuah kalung emas putih dengan berlian biru oval sebagai hiasan. Diangkatnya rantai kalung itu sampai bandulnya menggantung. Senika mengamati lamat-lamat, terbayang seseorang yang memberikan benda itu 5 tahun yang lalu.

"Ada sihir pelindung yang terpasang di kalung itu. Pakailah terus!"

"Bukankah kau yang harusnya memakai ini?"

"Sudah kubilang, itu hadiah untukmu. Aku akan membuangnya kalau kau tidak mau."

Senika lantas melepaskan kalung kristal yang bertumpukan dengan kalung pemberian Louis di lehernya. Itu adalah kalung kesayangannya, yang diisi larutan hadiah dari Ferona. Ia menyodorkannya ke Louis.

"Kalau begitu terima ini! Ada sihir penyembuh di dalamnya."

"Hei, aku kan---"

"Tidak ada penolakan!"

Louis melunak karena Senika memaksanya dengan ekspresi yang menggemaskan. Ia mengelus kepala Senika yang mana 15 sentimeter lebih rendah dari pandangannya.

"Haha, baiklah. Terimakasih, Nona Pemarah," kekehnya, seraya mencubit pipi tembam Senika.

"Kau bisa menukarkan itu dengan dua ratus ribu koin emas," terang Senika.

"Kalung ini jauh lebih berharga daripada sekadar uang."

"Apa? Dengarkan aku---"

"Kalau begitu aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik!"

Sosoknya melayangkan senyum untuk yang terakhir kalinya. Masih membekas di benak Senika sikap mengesalkan dan kalimat penyemangatnya.

Ia seseorang yang ada saat Senika terpuruk. Ia seseorang yang memandang Senika sebagai dirinya sendiri. Ia seseorang yang spesial, teman pertama Senika yang tidak ia lupa.

Sosok itu adalah Louis, yang sudah 5 tahun lamanya belum kembali dari peperangan.

"Hah, kalau kuingat lagi, aku belum sempat mengucapkan terimakasih."

Senika belum sempat mengucapkannya, meski ia sudah melakukan banyak hal.

Di malam terakhir festival sebelum Louis menghilang, gadis tinggi semampai itu menyerahkan kalung Elixir of The Blue. Barang yang sangat langka dan bernilai, namun ia memberinya dengan sukarela.

"Semoga saja anak itu masih hidup."

Tok tok tok

"Masuk."

Ariadna menginjakkan kaki ke ruangan, membawa senampan surat 'rahasia'. "Nona, ada surat untuk Anda."

Senika membuka amplop kertas putih itu. Tertulis nama "Airi Grey Ernest" di pojoknya. Airi adalah putri dari guru alkimia Senika.

Nona, 5000 botol gel lidah buaya 'ARS' terjual habis dalam satu minggu.

Ayah sibuk menguji beberapa sampel, jadi saya yang mewakilkan memberi kabar. Produk gel lidah buaya 'ARS' dengan campuran bunga rose siap diluncurkan pada hari Senin.

Berbeda dengan laporan dari Reyner tadi pagi, kabar dari Airi kali ini menjadi pendongkrak mood buruknya. Senika berniat memberikan tambahan gaji untuk Airi---Wakil Pemimpin dari bisnis lidah buayanya--- dan Arnold---Penguji Eksklusif 'ARS.' Senyuman tipis tersungging di bibir Senika.

***

"Kakak."

Serena menghadap ke arah pintu ruang kerjanya. Pulpen yang dipegangnya diletakkan di meja. Dirapikannya dokumen kepengurusan Dukedom Chester.

Gadis ini membantu mengurus Dukedom Chester selama ayahnya tidak ada. Tentu saja, dibantu oleh asistennya yang lebih berpengalaman.

"Senika!" sahut Serena berbunga-bunga. Ia menghampiri Senika yang berada di mulut pintu.

"Kakak baik-baik saja? Bagaimana pekerjaan Kakak?"

"Aku agak pusing. Keluhan penduduk masih berdatangan."

"Hmm, begitu."

Senika kasihan dengan Serena yang menanggung beban urusan Dukedom Chester. Terlebih, dari usianya baru 14 tahun. Jadi 4 tahun lalu, konflik perang yang tadinya bergerilya semakin memanas hingga akhirnya Duke Chester diwajibkan turun tangan. Ia mendapatkan titah dari Kaisar Brade Carlyle agar ikut berpartisipasi dalam peperangan.

Oleh karena itu, dengan terpaksa, Duke mendelegasikan wewenangnya kepada Serena. Ia tidak bisa mendelegasikannya ke orang lain karena pengikutnya juga menjadi bagian dari pasukan. Selain itu, Serena merupakan putri sulung yang dipercaya ayahnya sebagai Duchess kelak. Penyerahan wewenang ini bertujuan untuk melatih dirinya pula.

"Tapi tidak apa-apa, karena sekarang ... ayah akan kembali!"

"Hah?"

"Iya. Aku mendengar kabar bahwa wilayah perbatasan berhasil ditakhlukkan!" celotehnya bahagia.

"Serius?" Senika bertanya. Bunga-bunga di dalam hatinya mulai bermekaran. Akhirnya peperangan akan berakhir.

"Iya! Pihak kekaisaran menang!"

Senika memegang dadanya. Ia tersenyum puas sampai segala kekalutannya menghilang tak bersisa. Artinya, usahanya dulu memberitahu Orwen dan Marquis Reante tentang Alberian berhasil menghalangi keruntuhan Chester.

"Syukurlah. Aku tidak sabar dengan kepulangan ayah!"

Sekarang hanya dua langkah lagi yang tersisa.

Mengumpulkan uang dan melarikan diri.

Sebelum Luke mengejarnya.

***

Di saat yang sama, jauh di wilayah perbatasan, seorang pria muda berbaju zirah berjalan dengan gagahnya. Ia melangkahi tumpukan mayat yang sudah terputus dari kepalanya. Mereka adalah para musuh yang sudah tak bernyawa. Pria itu berhenti di tengah-tengah aula.

Sek Sek

Dua orang yang diduga bagian dari suku Alberian menepi. Mereka merayap diam-diam sekuat tenaga. Keduanya berencana kabur dari markas untuk menyusun taktik baru.

Ssing

Pedang besar milik pria berbaju zirah menghadang keduanya. Hanya lima sentimeter saja jarak dari sang pedang dengan kedua orang itu. Sementara itu, para Alberian berkeringat dingin. Mereka menelan ludah dengan napas tersengal-sengal.

"T-tolong ampun .... "

"Ampun? Haha. Kalian pikir aku akan tertipu?"

Syat

Pedangnya berayun cepat, mengiris leher keduanya bersamaan. Dalam beberapa sayatan, leher mereka memuncratkan darah. Darah yang mengotori baju zirahnya.

Crashh Dug Dug

Dan kini, kepala keduanya sukses terpenggal. Kepala-kepala itu berjatuhan ke lantai bagaikan pantulan bola.

Setelah dirasa aman, pria berbaju zirah memasukkan kembali pedangnya ke sarungnya. Ia pun hendak beranjak dari tempat busuk itu.

"Yang Mulia Putra Mahkota?"

Pria berbaju zirah menoleh ketika Duke Orwen memanggilnya. Ia mendekati pria berjanggut tipis itu.

"Apa yang Anda lakukan di markas? Bukankah semuanya sudah selesai?"

Pria berbaju zirah melepas helmnya yang berat. Saat terlepas, tampillah seorang pria tampan berkulit wajah sehalus porselen. Rambutnya berpigmen pirang dengan kilauan secerah mentari. Matanya yang indah beriris biru langit, tapi tajam menusuk seperti mata elang. Ia pun membuang helmnya ke belakang sampai helm itu menimbulkan dentuman keras.

Beberapa detik kemudian, pria tampan itu menyeringai. Seringainya liar sebuas serigala, namun tetap mempesona pada tempatnya. Orwen yang mendapatinya bermandi darah hanya bergeming tak berkutik.

"Aku hanya membereskan para tikus, Duke."

Ya, Pria buas itu ialah Luke Carlyle, sang Pewaris Takhta Kekaisaran Dawnell.

***