Teruntuk Nona Senika Chester
Mohon maaf atas keterlambatan balasan, Nona.
Sebenarnya, kami sedang kewalahan karena meningkatnya permintaan konsumen. ARS dengan aroma bunga mawar sudah terjual habis dalam tiga hari pemasaran. Pendapatan meningkat sampai 3x lipat dari minggu kemarin.
Untuk lebih lengkapnya, saya sudah menyiapkan lampiran keuangan, laporan ,dan lainnya di dalam amplop cokelat.
Bila saya boleh berpendapat, saya rasa ada baiknya untuk memproduksi gel rose lagi untuk peluncuran kedua. Para wanita bangsawan menginginkannya, namun mereka menyayangkan karena kehabisan stok.
Bagaimana menurut Anda?
Tertanda,
Airi Grey Ernest
______________________________________
Hasil promosi terekskesusi sempurna, jauh melampaui ekspektasi. Aku tak menyangka mereka benar-benar datang ke toko untuk membelinya. Mau kuberitahu tips mempromosikan barang?
Salah satu cara untuk menggaet pelanggan adalah dengan berpura-pura menjadi tester dan reviewer. Lebih manjur lagi kalau mereka tidak tahu bahwa kalianlah yang memproduksi barang itu.
Dan, efek di pesta kemarin bagus juga. Walaupun aku berjumpa dengan pria itu, aku tak menyesal menghadirinya.
Kalau dipikir-pikir, di momen itu, aku menolak berdansa dengan Putra Mahkota. Para Lady yang menyukai Luke jadi menyorotku. Mereka juga mendengar rahasia perawatan kulitku. Bisa jadi, mereka membeli produkku agar dapat menarik perhatian Luke.
Memang sih, pesona Luke tak bisa dibandingkan dengan orang biasa. Kuakui, ia ialah sosok pria yang mendekati sempurna.
Omong-omong, soal orang biasa, aku sedang menunggu kedatangan tamu. Orang itu telah kukirimi surat undangan dengan dalih berbisnis.
Para pria cenderung tertarik dengan bisnis, politik, atau sesuatu mengenai hobinya.
Jadikan ketertarikannya sebagai umpan. Jika kita mau menjaring ikan, maka kita harus menaruh umpan di sebuah kail.
Semoga saja, umpan yang kupasang dapat memikatnya.
Semoga saja ia datang.
Detik waktu terus berlalu, berubah bentuk menjadi menit dan jam. Aku--- yang menghabiskan waktu dengan membaca laporan--- sesekali mengecek jam kayu yang terpampang di dinding. Denting jam pun akhirnya berbunyi, memecah konsentrasi. Jarumnya menetap di angka 11 dan 12. Aku pun bergegas ke ruang tamu setelah membereskan dokumen Airi.
"Kuramal ia akan datang."
***
"Nona Senika."
Rick berdiri di depan pintu dengan membungkukkan badan. Di tangannya, tergenggam seamplop surat berstempel garuda.
Di belakang Rick, yang tepatnya di teras rumah, nampak seorang pria berambut cokelat berproporsi tegak. Topi dan blazer abu-abu menambah poin plus pada kerapihannya. Pria itu melepas topinya sehabis menyadari kehadiranku.
"Viscount Swott membawa undangan ini, Nona," terang Rick, menunjukkan amplop itu.
"Salam kepada Lady Chester. Saya Mazden Swott."
"Benar, aku yang mengundangnya ke sini untuk membicarakan hal penting. Mari, Tuan Viscount!" ajakku, mengarahkannya ke lorong.
Mazden mengiakan ajakanku. Ia mengikuti kemana pun aku pergi. Kami agaknya berkeliling mansion. Halaman belakang menjadi tempat terakhir yang kami tapaki, sebelum masuk ke dalam rumah kaca.
"Ini adalah tempat yang aman dari pengawasan. Mohon maaf saya membuat Anda kelelahan berjalan," terangku, yang sudah menduduki kursi.
"Saya tidak apa-apa, Nona. Sebuah kehormatan bisa melihat-lihat mansion Duke yang luas ini."
Kami berbasa-basi sebentar sampai kira-kira lima menit lamanya.
"Itu hebat sekali. Anda bisa mengetahui orang yang bersaksi palsu di meja hijau."
"Haha, saya tidak sehebat itu," kekeh Mazden, menyeruput kopi robusta yang kusediakan.
Aku bertopang dagu dengan elegan. "Tuan Henry seketika kehilangan sumber penghasilannya karena saksi palsu itu."
Mazden meletakan cangkir yang isinya sudah hampir habis. Ia menyeringai dan menyiratkan ujaran kebencian. "Yah, salah siapa dia melakukan bisnis kotor dengan menjual bebas daun kokkain? Hanya demi uang, segala macam cara ia tempuh."
"Saya setuju dengan pendapat Anda," tukasku, mengajukan cangkir milikku. Kuteguk teh oolong yang mengisinya.
"Ngomong-ngomong soal bisnis, adakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya?"
Mazden penasaran. Ia memutuskan untuk menanyakan langsung ke intinya.
"Soal itu, saya membutuhkan bantuan Anda. Saya dengar, Anda sedang mencari calon istri supaya mendapatkan gaji tunjangan anak-istri. Tapi diantara para wanita bangsawan, tidak ada yang cocok dengan Anda yang workaholic. Benar?"
Sesaat, mata Mazden mengerjap. Ia mendongak, menembus karakter yang barangkali terbaca dari sepasang mata biruku. "Darimana Anda mengetahui hal itu?" tanyanya kemudian.
Aku tersenyum tipis. Kemudian menambahkan gula batu di dalam tehku. "Anggap saja telinga saya ini tajam seperti kelelawar," tuturku manis.
Gelak tawa terdengar dari pria itu, sampai gigi rapinya terlihat. Selera humornya sungguh aneh. Hanya karena mendengar kiasanku yang tidak lucu, ia sampai terbahak-bahak.
"Padahal saya menutup keinginan saya serapat mungkin. Apakah Anda menyewa mata-mata?" tanyanya.
"Itu tidak mungkin," sangkalku, mengaduk-aduk larutan keruh itu.
"Lalu, ada apa dengan urusan saya mencari calon istri?"
Kuletakkan sendok teh kembali ke piringan. "Saya ingin melakukan kerjasama dengan Anda."
"Kerjasama apa?"
"Bagaimana bila saya menikah dengan Anda?"
Mazden membatu seketika. Digosoknya daun telinga kanannya, barangkali ia salah mendengar sesuatu. Ia pun merapatkan kedua tangannya. "Maaf, bisa tolong Anda ulangi apa yang barusan Anda katakan?"
"Saya ingin menjadi calon istri Anda."
***
Beberapa hari kemudian, tepatnya di Paviliun Istana Perak, terkumpul beragam pangkat pejabat. Mereka berhamburan sehabis keluar dari ruang rapat.
Rapat itu dipimpin oleh Kaisar, yang membahas tentang perbaikan wilayah. Tentu saja, perbaikan wilayah yang hancur akibat Perang Alberian---yang tempo lalu menjadi topik perbincangan.
"Akhirnya kita dikirim juga untuk bersusah payah," kata seorang pria kepada temannya.
"Mau bagaimana lagi. Untung saja wilayah Chester tidak jadi direbut," balas temannya.
Luke yang berada di dekat lorong menggelengkan kepala. Ia tak habis pikir dengan orang-orang yang hanya ingin enaknya saja. Selama ini mereka hidup dengan aman---dilimpahi kemewahan, sementara Luke dan pasukannya bersusah payah memberantas para hama.
Giliran mereka yang diperintahkan untuk turun tangan, pejabat tak tahu diri itu mengeluhkan pekerjaannya---yang tidak seberapa bila dibandingkan dengan perjuangan Luke.
Hanya segelintir dari mereka yang loyal dan dapat diandalkan. Sisanya merupakan penjilat yang manis di mulut saja.
"Ngomong-ngomong soal Chester, kabarnya Lady Chester mengundang Viscount Swott di mansionnya."
"Lady Chester yang mana yang kau maksud? Kau tahu kan kalau mereka ada dua."
"Siapa lagi? Tentu Lady Senika Chester, si Mawar Biru yang diajak berdansa oleh Putra Mahkota."
"Sssstt. Bisa diam tidak? Kita masih di istana!" pria itu memperingatkan temannya. Ia khawatir dengan pembicaraan tentang Putra Mahkota.
"Ya, ya."
"Untuk apa Lady mengundang hakim itu?"
Temannya mengendikkan bahu. "Entahlah. Siapa tahu mereka sedang pendekatan. Kau lihat kan, kemarin Viscount membantu Lady Senika?"
"Benar. Dia berlagak heroik, lalu mereka jalan-jalan bersama."
"Lucu sekali."
Keduanya tertawa konyol.
Luke berbalik mendapati pembicaraan itu. Ia bergegas menuju ke ruang kerjanya.
Setibanya di ruangan, dibukanya paksa kancing kerah yang membuatnya gerah. Api emosi sedang menjalar ke seluruh tubuhnya. Dengan kesal, ia menyingkirkan semua dokumennya, kemudian menggebrak meja.
"Haaah!" dengus Luke. Ia pun mengacak-acak rambut lurusnya.
Willford, Asisten Pribadi Luke, menelan ludah. Rasa-rasanya, mood atasannya ini memburuk lagi. Sudah berapa kali ia merusak properti dengan tangan besarnya. Ia selalu was-was saat tempramen Luke kumat.
"Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia?" tawar Willford, berhati-hati dalam memilih diksi.
"Hakim itu, Mazden Swott. Cari tahu mengenai hubungannya dengan Senika!"
"Lagi?" batin Willford.
Dari sebelum perang sampai saat ini, Luke selalu begini kalau berkaitan dengan pujaan hatinya. Padahal, ketika masih kecil, ia sangat lugu dan baik hati.
Kini kemana perginya sosok menggemaskan itu?
"Baik, Yang Mulia."
"Satu lagi."
"Ya?"
"Ubah rencana menetapku di Kastil Selatan!"
Rupa Willford memucat. Raut mukanya sepat, membayangkan betapa susahnya mengubah persiapan.
"Yang Mulia, tapi---"
"Diam atau kuremukkan kau menjadi kertas ini!"
Luke meremas selembar kertas polos. Bentuk kertas itu menjadi tak beraturan. Dilemparnya remasan kertas itu ke dekat kaki Willford.
"Y-ya, Yang Mulia. Akan saya laksanakan!"
Willford segera meninggalkan tempat itu sebelum dirinya dibuat menjadi debu.
Sehabis mendengar suara pintu, Luke menyandarkan kepalanya ke kursi. Ia memijit batang hidungnya.
Dengan pasrah, ia membayangkan wanita incarannya direbut oleh pria lain. Bayangan itu semakin membuat dadanya terbakar. Gagang kursi yang dipukulnya pelan menjadi korban atas kemarahannya.
"Sial!"
***