"Nona, ada surat dari Marquis Reante. Khusus untuk Anda."
Kuletakkan buku bacaanku ke meja tulis. Tanganku bersiap menengadah. "Berikan padaku!"
Sehabis melepas cap stempel, kubuka selembar surat itu dengan cepat. Mataku berbinar saat terfokus pada beberapa kalimat:
Nona benar mengenai penyerangan. Mereka sedang merencanakan taktik gerilya saat peralihan musim gugur.
Saya akan mempertimbangkan permintaan Nona. Jadi apa yang Nona inginkan dari saya?
Seringai puas tak luput dari wajaku. Kuraih pena dan tintaku. Kutorehkan hasil dari reaksi pikiranku di secarik kertas. Ini adalah permulaan.
***
Keesokan paginya, aku bersama Serena menghadiri pesta minum teh. Tuan rumah yang mengundang kami adalah putri dari Marchioness Erlean, Roselyn Erlean. Sejujurnya, aku tidak tertarik bergaul dengan banyak orang. Namun, aku harus memperoleh informasi mengenai situasi kekaisaran. Selain itu, ini kesempatanku untuk memperluas relasi.
"Nona Chester Muda, Anda tidak makan?" tanya sang Tuan Rumah. Anak-anak memanggilku 'Nona Chester Muda', sedangkan Serena sebagai 'Nona Chester'.
Aku yang sedari tadi duduk tanpa berbincang tersenyum tipis. "Nanti."
"Jangan sungkan-sungkan, Nona."
"Ya, terimakasih, Roselyn."
Kini kusatukan jemariku yang berada di pangkuan dan melamun. Sudah seminggu berlalu sejak aku mengetahui rahasia Louis. Rahasia itu membuatku tersadar bahwa aku sedang berada di dunia fantasi.
***
"Kau terkejut, ya?"
Saat itu, aku mengusap mataku tak percaya. Lantas kuraba pipi, dahi, dada, dan lehernya--sekadar mengecek kondisinya.
"Apa yang kau lakukan?!" serunya malu.
"Jadi ... kau sudah sembuh?" Aku bertanya tanpa memedulikan reaksinya.
"Belum."
"Ha?"
Louis memejamkan mata dan menjelaskan."Ini hanya kukatakan padamu saja. Kata pendeta, aku ditimpa sebuah kutukan dari penyihir gelap. Aku tidak tahu mengapa ini terjadi. Yang jelas, sejak lahir, aku sudah menderita kelainan ini. Hanya ketika bulan purnama muncul api itu bisa menghilang."
Kalau diingat-ingat, kami berjumpa pertama kali kala bulan purnama menampakkan diri. Itulah sebabnya aku mengenali Louis sebagai manusia normal.
"Begitu. Hm, aku bingung harus berkata apa. Tapi ... tidak apa kau mengatakan rahasiamu padaku?"
Louis tidak menjawab sehingga aku mengganti pertanyaanku.
"Oh. Tapi sore ini sudah menghilang kan?"
Louis berdehem dan memainkan jarinya. "Sejak kau mengobatiku kemarin, jangka waktunya jadi memendek. Petang ketika matahari sudah tenggelam, semua ukirannya menghilang. Kukira kutukanku benar-benar lepas. Tapi ternyata masih di tahap melemah."
Aku tidak percaya. Semuanya terdengar tidak masuk akal. Tapi apapun itu, tak kusangka terapi pengobatanku akan bisa memberikan efek secepat itu. Pantas saja ia langsung menurut menerimaku. Tidak seperti kemarin ketika aku pertama kali melakukannya.
"Em, bagaimana ya mengatakannya. Te-terimakasih." Louis menunduk gugup.
Meskipun tabiatnya mengesalkan, sosok Louis yang malu-malu itu nampak imut. Terkadang, aku ingin membawanya pulang dan mengadopsinya sebagai adikku.
"Ahh, gemas!" Aku sampai kelepasan mencubit pipinya.
"Hwentwikaan!" rontanya tidak jelas.
"Hahaha. Aku tidak tahu apakah benar penyakitmu sembuh karenaku atau bukan. Tapi, aku sangat bersyukur bisa membantumu. Aku senang!" ungkapku gembira.
Louis kembali menyembunyikan kepalanya.
"Kenapa?"
"Arsy. Kau ...."
"Aku?"
"Kau ... bih ... menggemaskan."
"Apa?"
"Lupakan!"
Louis pun melengkukkan tubuhnya bulat-bulat. Bentuknya mirip dengan kucing yang hendak tertidur.
***
Aku jadi terkekeh mengingatnya.
Bagaimana ya kabar Louis? Apakah kutukannya sudah lepas?
Aku tidak bisa mengunjunginya setiap saat. Jadi, aku asal menanam lidah buaya di kawasan danau agar dia bisa mengambilnya sendiri.
"Senika, kau menertawakan apa?"
Seketika, mulutku menegang. Kudapati Serena yang membuyarkan lamunanku. Aku pun menyisip teh manis miliku yang masih penuh. "Tidak apa-apa."
"Akhir-akhir ini, kau benar-benar aneh. Kau suka tertawa sendiri." Serena menggigit kukis coklat yang digenggamnya.
"Hah? Benarkah?"
Serena menyilangkan kakinya. Selesai mengunyah, ia mengelapi jarinya dengan sapu tangan. Lalu ia mengiakanku.
Aku yang kelabakan menggigit jari. Kusisip lagi minumanku sampai tak bersisa. Aku pun mengalihkan perhatianku pada anak-anak.
Seperti biasa, pembicaraan umum para putri bangsawan tidak ada yang begitu penting. Mereka memamerkan barang koleksi, saling memuji juga menyindir secara terselubung, dan menggosipkan orang yang berbeda-beda. Pola yang membosankan bagiku.
Aku merasa lingkaran pertemananku bukanlah mereka. Aku baru merasa sefrekuensi dengan seseorang yang membicarakan hal berbobot.
Seandainya Senika benar-benar di sini, ia akan bersahabat baik dengan mereka. Senika pandai bergaul dengan siapa saja. Namun, ia tidak dapat memilah mana teman yang baik dan mana yang bukan.
"Apa kalian pernah mendengar tentang Putra Mahkota?"
"Tidak. Bukankah dia tidak pernah keluar dari kamarnya?"
"Benar. Kudengar Kaisar menyembunyikannya karena dia sangat jelek."
"Hush, jaga bicaramu!"
"Tidak. Kalau menurutku sih, dia sangat tampan, sehingga Kaisar terus menyembunyikannya."
"Konyol sekali. Itu tidak masuk akal!"
"Katanya, dia akan pergi berperang melawan kaum Alberian."
Luke akan melawan Alberian? Tidak mungkin. Di Bloody Roses Luke tidak berperang dengan Alberian.
"Serius?"
"Mungkin saja Kaisar berniat membuangnya dan--"
Tak
Seseorang sengaja menghantamkan cangkirnya ke piringan. Dia adalah Ferona Yelenne, Putri dari Marquiss Yelenne. Satu meja mengamati gadis berambut jingga itu.
"Oh, tenaga (di tangan)-ku sepertinya terlalu kuat."
"Hm, Nona Yelenne. Tidak baik bagi seorang perempuan punya tenaga seperti laki-laki," sindir Peony, putri dari keluarga Hess.
"Begitu. Kudengar, pernah ada seorang istri dari kalangan rakyat jelata meninggal karena tidak berdaya dengan suaminya." Ferona membalas datar.
"Pfft."
Mata mereka menyorotku, yang baru saja tergelitik.
"Ah, aku memang suka tertawa sendiri, jangan pedulikan aku. Ya kan, Kak?" Aku melemparkan senyuman ke Serena.
Serena balas mengendikkan bahu. Ia tak begitu mengindahkanku.
"Haha. Omong-omong, saya baru melihat Anda setelah sekian lama, Nona Chester Muda. Ternyata benar kabar kalau Nona sudah sehat."
Mereka pun beralih ke perbincangan yang lain. Mayoritas tidak berani dengan aku dan Serena yang berstatus sebagai Putri Duke. Meskipun, rumor sudah menyebar kalau Serena merupakan pembunuh. Namun Serena tetap memiliki beberapa teman yang selevel dengannya.
Setelah acara selesai, aku pun berjalan keluar mansion. Serena sendiri masih berbincang dengan teman-temannya. Hari ini sudah cukup dengan perkenalan. Besok-besok, aku akan mendekati orang yang kurasa baik di antara mereka.
"Tunggu, Nona." Seorang gadis menyusulku.
Aku pun berbalik. "Iya? Oh, Nona Yelenne?"
"Iya, Nona. Saya Ferona Yelenne."
"Ada apa?"
"Saya akan langsung pada intinya saja. Bolehkah saya berteman dengan Nona?"
"Hah?"
***