Ayah mengamati kemampuanku selama seminggu. Hasilnya, aku mengikuti kelas wajib wanita dengan nilai yang cukup bagus. Ayah pun memenuhi janjinya padaku. Ia memanggil guru ternama, salah satunya Baron Ernest.
Baron Ernest adalah seorang ahli alkimia sekaligus Wakil Kepala Peneliti. Tadinya, Baron hanyalah seorang rakyat biasa yang tidak memiliki apa-apa-- kecuali rasa keingintahuan yang besar. Pria bernama asli Arnold Grey Ernest itu terkenal dengan kejeniusannya. Ia populer dengan penemuan lemari es, bejana sterilisasi aman, larutan pengawet makanan, dan lain-lainnya. Untuk kisahnya sendiri, akan kuceritakan dibawah ini.
Pada suatu hari, Arnold yang berusia 10 tahun penasaran bagaimana cara membuat suhu udara tetap dingin agar menghindarkan makanan dari bakteri. Ia pun mencoba membuat benda-benda aneh. Saking anehnya, benda-benda itu bahkan selalu ditertawakan oleh para tetangganya.
Arnold pantang menyerah, ia tak mendengarkan kata-kata orang. Setelah ratusan kali mencoba, akhirnya ia-- yang hampir putus asa-- mampu membuat lemari es menggunakan sihir. Lemari es itu bisa digunakan sebagai lemari penyimpanan di laboratorium, pengawet sampel dan makanan, serta pembuatan es balok pengawet ikan. Karena penemuannya, ia pun berhasil mendapatkan gelar Baron, ratusan ribu koin emas, mansion, serta pekerjaan sebagai peneliti.
Ya, orang hebat itu adalah guru sekaligus targetku. Sekarang, sudah lima kali pertemuanku berlalu dengan Baron Ernest, Guru Alkimia favoritku. Waktu yang terus berjalan membuatku semakin mengenali karakternya. Kurasa, sudah cukup bagi kami untuk membina hubungan saling percaya. Karena itu, berikutnya, aku akan mempraktekkan salah satu yang ada di daftar rencanaku.
"Kau membawakan bukuku lagi?" Guruku bertanya.
Kupeluk buku-buku tebalnya di tanganku. "Tidak apa-apa, Guru. Saya ingin membawakannya, sampai kita ke laboratorium saja."
"Haha, baiklah. Kau selalu saja keras kepala."
Sesampainya di lab, aku menaruh buku-buku tadi di atas meja. Lalu dengan gesit, kuambil beberapa daun lidah buaya dari lemari penyimpanan. Setelah itu, aku menghampiri guru yang telah duduk manis di bangku lab.
"Guru, ada yang ingin saya bicarakan. Tapi ini rahasia. Janji jangan ceritakan pada siapapun!" kataku, menyembunyikan tanaman itu di belakangku.
"Hmm. Baiklah, katakan saja."
"Guru, ini mungkin terdengar konyol untuk Guru. Tapi saya butuh bantuan Guru."
"Bantuan?"
***
Sebelum memasuki dunia ini, aku sempat berkuliah di Fakultas Kedokteran*. Pada tahun terakhir belajar, aku mencari tahu mengenai kandungan dan kegunaan lidah buaya. Hasilnya, lidah buaya memilliki segudang manfaat. Beberapa diantaranya yakni mempercepat penyembuhan luka bakar, memudarkan bekas luka, melancarkan pencernaan, dan sebagai perawatan wajah.
Jujur saja, ilmuku belum sebanyak itu mengenai produk bisnis. Urutan paling pertama produk yang ada di pikiranku adalah lidah buaya karena aku pernah menjadikannya sebagai bahan riset. Oleh sebab itu, aku berusaha mengolahnya sesuai dengan cara yang kuingat.
Produk yang akan kuangkat adalah gel khusus luka bakar. Di masyarakat aristokrat, mungkin belum pernah ada yang memproduksinya. Bisa jadi, orang-orang menganggap ini sebelah mata. Namun ketika perang dengan kaum Alberian berlangsung, ribuan rumah akan terlalap habis oleh api. Tak hanya itu, Dukedom Breeze yang berada di wilayah barat juga terkena musibah kebakaran. Korban terus berjatuhan hingga gel ini akan sangat dibutuhkan Kekaisaran.
Saat konflik itu melanda, baru kujual produk tersebut sebanyak-banyaknya. Ini akan menguntungkan kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli. Aku bisa mengumpulkan uang sekaligus menangani bencana yang terjadi. Bukankah ideku cukup brilian?
"Hmm ... aku masih belum yakin dengan kadar alkoholnya. Bagaimana menurut Guru?" ujarku, mengamati tabung kecil berisi formula ekstrak lidah buaya.
"Nanti kita lihat saja tingkat efektifitasnya. Beberapa formula ini akan dicoba itu satu per satu ke tikus-tikus percobaan yang akan dilukai terlebih dulu."
"Baik, Guru. Terimakasih."
"Sekarang sudah selesai kan? Maaf, bisa kau bereskan dulu? Aku sedang terburu-buru."
"Iya, Guru."
Guru yang telah melepas jasnya keluar dari lab. Sementara itu, aku menaruh beberapa tabung kembali ke tempatnya, kemudian merapikan bekas kekacauanku. Tak lupa, kusembunyikan barang-barang itu di lemari penyimpanan. Sapu tangan putih yang membalutku pun kulepas pelan. Sehabis itu, kulempar kain basah itu ke tong sampah.
Dengan kasar, kuangkat sekarung kecil potongan jelly lidah buaya dan membatin,"Baiklah, saatnya menjenguk bocah itu!"
***
Sore ini, Duke Orwen pergi ke istana, sementara Serena sedang terlelap mengarungi lautan mimpi. Inilah saat yang tepat bagi Senika untuk keluar tanpa perlu meminta izin. Ia yang sudah bisa menaiki kuda bergegas menuju ke danau. Beruntungnya, intuisi Senika sangat bagus tentang tempat itu. Jadi, ia tidak sampai tersasar kemana-mana.
Sesampainya di hutan tepi danau, Senika menapakkan kakinya ke tanah. Ia mengikat tali yang menjadi kendali kudanya ke salah satu pohon. Setelah dirasa ketat, Senika meninggalkan kudanya di sana.
Senika berjalan menyusuri pepohonan dan bebatuan. Ia menengok ke sana-kemari, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Sambil menggaet tentengan tasnya, ia menyidiki tempat itu. Barangkali, ada batang hidung seseorang yang sedari tadi ia incar.
Kala pandangannya melayang ke satu pohon besar, dilihatnya sosok lelaki yang sedang termangu. Seperti biasa dengan pakaian ulungnya, ia melamun ke arah perairan di sudut kanannya. Lelaki yang posturnya sekurus pemain bola itu menyiratkan tatapan sedih.
Senika yang mengenalinya menyahut, "Louis!"
Mendengar panggilan, lelaki tadi menengok ke arah sumber suara. Ia tertegun mendapati gadis berjubah merah yang menghampirinya.
"Bagaimana keadaanmu?"
Louis memandangnya keheranan. Segesit mungkin, ia menyembunyikan wajahnya dibalik penutup kepala.
Senika mengerutkan alis. Lantas, mengambil posisi mata yang sejajar dengannya. Ia bertanya, "Kenapa?"
Dengan secepat kilat, Louis membungkus seluruh tubuhnya. Ia merengkuhkan badannya layaknya trenggiling. Tanpa menjawab apapun, ia menghindari tatapan Senika.
"Hei, kemana perginya tuyul yang terbahak-bahak mengejekku?" Sindir Senika, melirik lambat bocah itu.
"Aku tidak enak di lihat!" seru Louis.
"Itu tidak benar. Tolong buka!"
"Tidak mau!"
Tanpa basa-basi lagi, Senika menarik jubah Louis dengan kuat. Di sisi lain, Louis mempertahankan sehelai kain itu di tubuhnya. Mereka tarik-menarik jubah kusutnya bagai kucing dan anjing yang tidak mau mengalah. Keduanya sama kuatnya sampai sesuatu terjadi.
Sreet
Robeklah satu-satunya jubah yang menutupi Louis. Menyadari itu, Senika tersentak. Gadis berpipi gembul itu berhenti bergerak lalu menyengir kuda. Tanpa tahu malu, ia mengucapkan, "Maaf," sambil melepaskan pegangannya.
Louis mendengus kesal. Ia kembali menyembunyikan kepalanya diantara kedua lengannya.
"Louis, jangan ditutupi! Aku ingin melihat wajahmu."
"Wajahku hancur."
"Hei, coba tatap mataku!"
Perlahan, Louis mendongak ke arah Senika. Ia menatap gadis yang rambutnya dikuncir kuda itu. Bulu mata lentiknya berkedip dengan anggun. Sepasang mata birunya bagaikan air, yang mampu menenangkan hatinya.
Senika pun memegangi dagu Louis dengan kedua tangannya. Ia menatap mata hitam Louis lekat-lekat. "Kau itu tampan. Kau hanya sedang sakit."
"...."
Senika lanjut memperhatikan pipi Louis yang penuh dengan goresan merah."Luka yang ada di pipimu ini ... ibarat awan yang menutupi mentari. Bagaimanapun cara awan menutupi bentuknya, bukankah ia tidak akan mampu mengalahkan sinarnya? "
Louis membungkam. Di matanya, justru sosok Senika lah yang sedang bersinar. Ini bukan tentang rupa elok yang mempesona. Bukan pula tentang wajahnya yang imut bak boneka. Dari kecil, Louis sudah terbiasa melihat wujud wanita cantik. Namun, ini tentang senyuman lembutnya, yang mampu memancarkan ketulusan.
"Awan tidak akan selamanya menutupi mentari. Sama dengan penyakit ini. "
" ...."
Louis menunduk meraba dadanya. Entah mengapa jantungnya berdegup lebih kencang. Ia juga menyentuh lehernya. Tengkuk dan telinganya terasa panas.
Louis pun balik mendongakkan kepala ke Senika. Saat menyadari situasi, ia memalingkan muka darinya.
"Ya, aku tahu. Sekarang menjauhlah!" bentak Louis, mendorong pelan pundak Senika.
Senika bukannya marah dengan tindakannya. Ia malah semakin mengembangkan senyumnya. "Bagus, ini baru Louis biasanya," tambahnya.
Mereka membisu beberapa detik.
"Kau ke sini lagi?" tanya Louis, memecah keheningan.
"Iya, aku mencarimu."
Sederhana. Itu hanyalah tiga suku kata. Tapi mendengarnya langsung dari mulut Senika membuat hatinya menari-nari di atas awan. Louis sebisa mungkin menahan otot bibirnya supaya tidak tersenyum.
"Nah, kau sudah baikan, 'kan? Aku melihatmu tersenyum."
"Sial!" Mungkin itulah umpatan Louis dalam hati. Dengan ketus, ia menyangkal, "Tidak tuh!"
Senika mengacak-ngacak rambut legam Louis. "Aishh, dasar bocah!"
Bagaimanapun, Senika berpikir bahwa dirinya adalah gadis yang berusia 25 tahun.
"Kau itu yang bocah. Kau lebih muda!" timpal Louis.
Senika hanya terkekeh melihati Louis.
"Jadi, kenapa kau mencariku?" Louis mengganti tema.
Senika pun melepaskan cangklongan tasnya. "Aku membawa ini!" riangnya, menggoyangkan karung kecil di dalamnya.
***
Senika membalurkan potongan lidah buaya ke wajah dan tangan Louis. Sisanya, Louis melakukannya sendiri ke dada dan kakinya. Sambil megoleskan gel bening itu, mereka berbincang.
"Louis, kalau boleh tahu, penyakit apa yang kau derita?"
"Kau akan mengetahuinya kalau masih di sini, saat mentari terbenam."
"Jadi kau mau aku menemanimu sampai malam?"
"Bukan. Sulit menjelaskannya."
"Baiklah. Tapi aku tidak akan lama."
Louis terdiam sejenak. Ia pun memberanikan diri bertanya. "Kenapa kau peduli padaku?"
Semilir angin berhembus, membelai geraian rambut Senika. Sore ini gadis muda itu nampak anggun dengan jubah merahnya.
"Aku tidak tahu. Aku hanya terus memikirkanmu," ucap Senika tanpa beban.
Merasa diperhatikan, pipi Louis semakin merona. Senika tidak tahu kalau Louis bisa saja terbawa perasaan karena ungkapannya.
"Ngomong-ngomong, apakah kita pernah bertemu? Sebelum aku keluar tengah malam?"
"Tidak."
"Benarkah?"
"Iya."
Suasana mulai canggung. Senika kembali memikirkan topik. Ia melayangkan pandangan ke pohon di belakang Louis. Juga tanah yang tertutupi tumpukan daun. Serta, batu besar dan batu kerikil di jalan setapak.
"Kenapa kau sering datang ke sini?" Senika penasaran.
Louis mulai terlarut dalam lamunannya. "Aku bermimpi ... bertemu seorang wanita di sini."
Senika yang bertanya-tanya mengangkat kedua alisnya. Ia bersiap memasang telinganya.
"Jadi singkatnya, hidupku menyedihkan. Semua orang menjauhiku. Orang tuaku bahkan membuangku. Mereka menganggapku monster," tuturnya.
Louis mencabuti rumput di bawahnya. "Aku terus bermimpi bertemu wanita yang mirip malaikat. Dia tersenyum dan menghiburku yang sedang menangis di suatu danau. Tapi, akhir-akhir ini, mimpi itu tidak ada. Aku yang tidak bisa tidur berjalan-jalan dan entah bagaimana aku bisa menemukan tempat ini. Sejak saat itu, tiap kali aku merasa hampa, aku berada di sini, agar bisa bertemu dengan 'wanita itu'."
Senika yang menjadikan jubahnya sebagai alas duduk pun bertanya, "Jadi, apakah kau sudah bertemu dengannya?"
Louis yang tidak sadar akan ucapannya menutup mulutnya. Ia pun menghindari mata Senika. "Entahlah."
Senika memalingkan muka. Ia melirik mentari yang sebentar lagi tenggelam. Danau di samping kirinya memantulkan warna jingga nan bening. Senika pun kembali menengok ke arah Louis. Ia menunggu-nunggu jawaban dari Louis.
"Tutup matamu. Nanti silau."
Sriing
Kala mentari tenggelam, tubuh Louis mengeluarkan sinar merah yang menyilaukan Senika. Senika menghalangi wajahnya dengan telapak tangan. Ukiran-ukiran luka di tubuh Louis menyala-nyala. Dari pipi, dahi, tangan dan kaki, semuanya. Rintihan pelan Louis terdengar mengiringinya.
Setelah sepuluh detik berjalan, yang ada hanyalah keheningan. Senika pelan-pelan menyingkirkan tangannya. Gadis berambut biru itu juga membuka matanya. Kini di hadapannya, Louis seperti terlahir kembali. Rambut hitam lurusnya, hidung mancungnya, kulit putihnya yang bagai porselen. Tubuh dan parasnya kembali seperti sedia kala. Bahkan luka-luka itu tidak berbekas.
Senika terperangah sampai mulutnya menganga lebar. Saking terkejutnya, ia bahkan melompat dari tempatnya duduk. Sementara Louis, dengan paras tampannya, hanya mengerutkan dahi.
"Apa yang terjadi?"
***