Chereads / Aku Tidak Mau Obsesi Pemeran Utama / Chapter 14 - Belajar dan Inovasi

Chapter 14 - Belajar dan Inovasi

"Fuhh."

"Senika, kau mau minum?" Serena menyodorkan secangkir teh madu kepadaku.

Aku yang kurang menyukai teh menggeleng.

"Baiklah," tukas Serena, melanjutkan sesi minum tehnya.

Aku dan Serena baru saja mengikuti kelas menyulam. Bisa dikatakan, keterampilanku tertinggal jauh dari Serena. Pagi tadi, Marchioness Lily, guru menyulam kami, mengadakan evaluasi setelah tiga pertemuan. Ia menetapkan pola bunga anggrek sebagai standarnya.

Selama dua jam, kami diberikan waktu untuk menyelesaikan sulamannya. Hasilnya, sulaman anggrek ungu Serena terlihat menawan dan sempurna.

Sementara milikku? Jangan tanya, absurd.

Kau tahu, bahkan Marchioness Lily yang terkenal suka memaklumi itu menertawakanku karena ia bilang sulamanku bukan membentuk anggrek, tapi seperti kembang api yang juga bukan kembang api. Saking buruknya pekerjaan tanganku.

Belum lagi, ketika kelas etika menari debutante berlangsung. Viscountess Thyriel terus saja menggedek-gedekkan kepalanya, mengetahui diriku yang buta ketukan. Sepertinya, ia kewalahan membenarkan postur tubuhku. Juga, ia tidak bisa berkata-kata mengenai kekakuan badanku. Katanya, aku bukan sewajarnya berdansa menikmati irama berdendang, tapi seperti ayam kikuk yang gerakannya tersendat-sendat.

"Gila, ini gila."

"Senika, aku bisa mengajarimu jika kau mau."

"Tidak usah, Kak. Aku baik-baik saja."

Sebenarnya aku bisa melakukan segalanya kalau aku mau berusaha. Bentuk badan Senika sangatlah ramping, sehat, dan potensial untuk penari cilik. Pasti kalau Senika asli yang belajar menari akan terbayang gerakannya yang anggun, lenggak-lenggoknya yang lemah gemulai.

Namun, aku sengaja bertingkah bodoh. Aku tidak mau menjadi bunga pergaulan kelas atas, yang eksistensinya akan dilirik orang-orang. Tapi aku tidak menyangka ketidakberdayaanku akan menjadi seburuk ini. Aku jadi khawatir mengenai pandangan Ayah terhadapku.

"Aku mau menemui Ayah dulu," pamitku, sembari melambaikan tangan.

"Sendirian?"

"Iya, tidak usah ditemani."

"Oke. Tetap semangat!" ucap Serena terdengar tulus.

Aku melewati lorong yang panjang. Terdapat dinding arsitektur khas abad pertengahan yang berkelas. Pinggiran lisnya bertempel pahatan keperakan. Pot dan keramik mahal menghiasinya dengan baik. Membuatku tak bosan beratus kalipun aku melewatinya.

Kini aku berdiri di depan pintu. Kukepalkan tanganku, hendak mengetuk kayu jati berengsel itu.

"Perbatasan wilayah selatan sedang mengalami krisis, Tuan Duke. Persetruan antara batas wilayah kekuasaan Dawnell dan kaum Alberian masih berlangsung. Jadi, tambang yang ada di perbatasan belum bisa diambil alih."

"Apa tidak ada alternatif lain?"

"Sepertinya tidak. Satu-satunya sumber daya mineral ada di pegunungan Alphenus."

"Produksi emas dan kristal akan menipis jika terus begini."

"Maaf, Tuan Duke. Saya sudah berusaha."

"Tidak apa-apa. Kau boleh kembali."

"Kalau begitu saya, Marquis Reante, mohon undur diri, Tuan Duke."

Tak lama kemudian, kudapati pintu mulai bergerak. Aku menyampingkan diri, mempersilakan orang yang akan segera keluar. Marquis Reante, pria berkumis tipis itu mengangkat alisnya saat melihatku. Ia juga menundukkan kepalanya.

"Salam, Nona Muda Chester."

"Ya, Tuan Reante."

"Bagaimana kabar Nona?"

"Baik. Tuan sendiri?"

"Saya ... lumayan. Kalau Nona Muda saudara Nona?"

"Ia selalu sehat dan baik-baik saja."

"Ah, jadi benar kabarnya. kudengar saudari Anda sudah sadar?"

Marquis sepertinya salah mengiraku sebagai Serena. Di mansion, tidak ada yang tidak dapat membedakan kami. Katanya, kami berbeda dari rambut dan cara bertata busana. Serena bergaya khas kemewahan, sedangkan aku menyukai gaun yang sederhana tapi nyaman dipakai. Serena berambut biru muda, sementara aku warnanya biru lebih tua.

"Ehm, itu sebenarnya saya sendiri. Yang saya maksud tadi adalah Kakak."

"Ah, maafkan saya yang tidak mengenali Nona."

"Hihihi, tidak masalah."

"Baiklah. Oh, kalau begitu saya permisi dulu. Ada pekerjaan yang menanti saya," pamit Marquis setelah mengecek arlojinya.

"Ah, tunggu Tuan."

"Ya?"

Aku mendekatkan diriku ke daun telinga Marquis. "Ini rahasia. Saya sebenarnya tahu cara menyelesaikan masalah Tuan."

Marquis terperangah. Ia yang tadinya nampak cemas penasaran dengan yang kukatakan.

"Saya tahu tambang tersembunyi yang berpotensi saat musim dingin. Jika Marquis mau berbisnis dengan saya, saya akan memberitahukannya kepada Marquis."

"Mohon maaf, tapi bagaimana saya bisa mempercayai ucapan Nona?" tanya Marquis tidak yakin.

Memang, logisnya, siapa orang dewasa yang akan percaya dengan gadis kecil seusiaku? Ia meladeniku saja sudah termasuk beruntung. Ia mengorbankan sisa waktunya demi mendengarkanku yang bisa saja beromong kosong.

"Ingat saya baik-baik. Sebentar lagi kaum Alberian akan menyerang di akhir musim gugur. Sebaiknya, Marquis menyiapkan pasukan dan senjata militer secepatnya."

Marquis yang juga salah satu pemilik saham tambang itu terkejut. Ia yang ragu pun mengagguk serta berkata, "Baiklah. Saya akan mengingatnya."

"Bagus. Tuan Marquis bisa mengabari saya lewat surat. Dengan rahasia."

"Iya Nona."

Pria gagah berambut merah itu menjauh setelah berpamitan denganku. Sehabis memandang bayangnya yang menghilang, aku pun memasuki ruangan Ayah.

"Bagaimana, Senika?" tanya Ayah.

"Ayah, aku mau membicarakan sesuatu."

"Ya, silahkan."

"Bolehkah aku meminta kelas alkimia, perniagaan, geografi, akuntansi, dan hukum?"

Ayah mengetukkan jari ke mejanya. Setelah menghentikannya, ia membalas, "Boleh. Asalkan, kau mengikuti kelas-kelas wajib bagi wanita dengan baik. Jika kau menunjukkan perkembangan yang bagus, maka Ayah akan memanggilkan guru terbaik untukmu."

Aku memejamkan mata dan menghembuskan napas. Sepertinya tingkah bodohku harus berhenti sampai di sini. Ini semua untuk belajar bisnis demi keselamatan hidupku. "Baik, Ayah. Akan kulakukan."

"Bagus. Aku akan mengamati perkembanganmu. Seminggu."

"Aku akan berusaha."

"Omong-omong, tadi ada pedagang mampir ke sini. Katanya, ia mencari gadis kecil bermata biru laut. Apakah itu kau?"

Sejenak, aku menggigit bibirku. "Eum, benar, Ayah."

"Iya, dia mencarimu. Tapi karena kau sedang ada kelas, Ayah menyuruhnya menaruh pesanananmu saja. Katanya, kau memesan lima pound tanaman dari suku Woodaebe dan sudah membayar uang muka?"

Suku Woodaebe adalah salah satu suku orang-orang berkulit hitam. Jika di dunia modern, mereka berasal dari Benua Afrika. Aku memesan daun lidah buaya yang tumbuh di sana. Di kekaisaran Dawnell, tumbuhan seperti itu sangat langka, sehingga harganya tergolong tinggi. Tapi dari pedagang yang kukenal kemarin di ibukota, mengenal suku itu, yang menjualnya dengan harga terjangkau. Jadi aku membelinya.

"Iya, Ayah. Lalu bagaimana dengan sisa uangnya?"

"Sudah Ayah bayarkan." Ayah mengatakannya sambil menulis .

"Em, begitu ...."

"Tidak usah sungkan. Kau memiliki Ayah yang kaya. Hanya segitu bukan apa-apa," datarnya, sambil memindai dokumen di mejanya.

Andai Ayah tahu bahwa beberapa tahun ke depan, keluarga Chester akan runtuh. Semuanya bermula dari perang dengan kaum Alberian di akhir musim gugur. Saat itu, para bangsawan dan rakyat sibuk menyimpan makanannya sebagai cadangan di musim dingin. Namun, kelengahan itu menjadi kesempatan emas bagi Alberian untuk menyerang. Perang terus berlanjut sampai bertahun-tahun lamanya. Sementara wilayah Chester semakin lama semakin menyusut.

Puncaknya, ketika kematian Serena Chester di usianya yang ke-20. Seharusnya, ia lah pewaris keluarga Chester. Tapi karena keserakahannya terhadap Senika, ia dibunuh oleh Luke secara keji. Hal itu membuat Duke Chester jatuh sakit. Meskipun Duke terlihat dingin pada Serena, tapi ia berharap banyak pada kemampuan Serena.

Sementara itu, Solelia menghilang entah kemana. Sepertinya ia mencari obat untuk penyakit Orwen. Sedangkan Senika yang mengetahui betapa gilanya Luke berusaha keras untuk melarikan diri. Senika semakin tertekan dengan Luke yang tidak mau membantu permasalahan Chester. Pada plot terakhir, Senika memilih untuk bunuh diri. Saat itulah detik terakhir keruntuhan keluarga Chester.

"Ayah, lain kali bilang aku saja. Uang yang kemarin Ayah berikan masih banyak."

"Ya, baiklah."

Aku melamun sebentar, kemudian berkata, "Ayah, ada sesuatu yang ingin kuberitahu. Ini mengenai kebijakan."

***

Selesai dari ruangan Ayah, aku mengambil daun lidah buaya yang dititipkan. Kubawa sekarung daun itu ke rumah kaca. Kucoba menanam sebagian lidah buaya di pekarangan. Sementara sisanya, akan kugunakan sebagai bahan produk.

"Selesai!" legaku, mengusap-usap sarung tanganku yang berlumur tanah.

Sebenarnya aku sengaja melakukannya sendiri. Aku tidak mau Serena maupun para pelayan bertanya lebih jauh. Bisnis ini kulaksanakan secara rahasia, karena kelak aku akan melarikan diri tanpa diketahui siapapun. Beruntungnya, Ayah tidak bertanya lebih jauh tentang mengapa aku membeli daun itu.

Sambil memegangi salah satu tanamannya, aku berdoa, "Semoga saja kau semakin banyak dan tumbuh subur."

Srrrrr

Seperti suara air?

Aku mengangkat sebelah alisku. "Ah, mungkin saja itu suara kincir air."

Kembali, kupandangi sisa lidah buaya di tanganku. Entah mengapa terbayang sosok Louis di kepalaku. Momen kemarin saat aku mengoleskan lidah buaya, menyentuh pipinya, menangis bersama, serta berpelukan. Tidak kusangka dirinya ditimpa musibah seperti itu.

"Aku harus memberikan untuknya juga."

Sisa lidah buaya kuangkat. Aku yang berdiri segera meninggalkan tempat. Saat berbalik, aku tidak menyadari kalau lidah buaya yang kutanam berpendar dengan warna biru.

***