"Arsy, kau sudah gila? Seharusnya kau mematuhi prosedur!"
"Apa benar kau lulusan perguruan tinggi terkenal? Kenapa kau sebodoh ini?"
"Maaf aku sendiri sudah lelah memberitahumu. Sebagai Kepala Ruangan, aku berencana mendiskusikan ini ke supervisor dan pihak rumah sakit!"
"Hah!" Aku menghela napas sembari memutar ulang cuplikan memoriku.
Tubuhku lelah, pikiranku kusut. Putus asa telah menggerogoti sanubariku. Sekarang, aku hanya ingin mempercepat perjalanan pulang dan sesegera mungkin menyendiri di sudut kamar. Kemudian, sambil mengunyah keripik kentang, aku akan melanjutkan sisa dua bab dalam novelku.
Ya, sebenarnya aku juga menulis webnovel di sebuah aplikasi bacaan online. Novel itu berjudul "Bloody Roses" yang telah dibaca sebanyaknya 800 ribu orang.
Novel ini menceritakan tentang kisah cinta seindah bunga mawar yang menghiasi kehidupan suram tokoh utama pria. Sejak bertemu dengan seorang Lady yang menyinari harinya, ia menemukan secercah harapan. Ia pun perlahan menyayangi sang Lady setulus hatinya.
Namun, lambat laun, perasaan itu bukannya merekahkan bunga yang lembut nan harum. Cintanya malah berkembang menjadi obsesi liar beracun yang membinasakan segalanya. Terkadang, obsesi seseorang itu bisa mematikan.
Kisah novel bergenre tragedi, thriller, dan romansa ini masih on-going. Namun, sebentar lagi novel itu akan berganti status.
"Hmph. Aku harus segera menamatkannya!"
Mereka pasti akan gembira mendapati Bloody Roses tamat. Aku memang lelah seharian ini. Akan tetapi, memikirkan komentar positif pembaca saja sudah membuatku berdebar.
"Ayo pulang!"
Seperti biasa, kini aku berjalan menyusuri perumahan. Di antara rumah-rumah itu, pandanganku terfokus pada salah satu gedung tua yang menjulang tinggi. Entah mengapa aku jadi terus memandangnya. Aku memang berencana akan pulang. Akan tetapi, atap gedung itu telah menyita perhatianku.
Tanpa sadar, aku melesat dan menyerobot pintu begitu saja. Kemudian, selangkah demi selangkah anak tangga kutapaki. Dan kini, aku pun tiba di bagian atap gedung.
"Waah, menyegarkan!" kagumku pada pemandangan.
Puas memandangi permukaan bumi, aku pun duduk menatap langit.
"Ah, tidak apa-apa."
Langit senja seolah menenangkanku dengan pergerakan awan. Kupandangi ia agak lama.
"Ya, semua akan baik-baik saja."
Mentari perlahan mulai terbenam meninggalkanku sendirian. Mendapati sang surya tenggelam, setetes air mengalir dari pelupuk mataku.
Aku membenamkan kepala, menumpahkan beribu keluh-kesahku. Kupikir, aku sudah melakukan segalanya dengan baik. Pekerjaan, sandang, papan, pangan, hidup. Semuanya telah kuusahakan semaksimal mungkin, hingga rasanya energiku menipis.
Namun, pada kenyatanya, segala sesuatu yang kukerahkan berakhir kacau.
Mungkin saja, ini semua memang murni kesalahanku.
Namun, sekali saja, bisakah kerja kerasku dihargai?
"Hiks, hiks."
Hari ini adalah akhir dari segalanya. Status pengangguran menghantuiku. Setelah keluar pun aku tidak akan diberikan sepotong pun gaji maupun pesangon. Tudingan malpraktek sudah mempersulit diriku mencari tempat banting tulang yang baru.
Setelahnya, bagaimana lagi caraku menyambung hidup?
"Andai saja ... ada seseorang"
Di dunia ini hanya ada aku yang hidup sebatang kara. Aku tidak memiliki rekan kerja di sisiku, teman yang selalu ada untukku, tetangga yang membantuku pada saat tersulit, bahkan keluarga yang mampu kujadikan sandaran. Satu-satunya yang kupunya hanyalah diriku sendiri dan Tuhan yang mengetahui segalanya.
Tiba-tiba, sebesit harapan muncul didalam benakku.
Aku ingin menghilang. Menghilang dari dunia ini.
Kupikir dengan terus berusaha akan ada yang berubah.
Tapi kenyataannya?
Isak tangisku tak henti-hentinya berlanjut. Kembali, kusembunyikan kerapuhanku dibalik sepasang lengan ini.
Puk!
"Ahh!"
Detak jantungku terhenti. Baru saja, ada sesosok makhluk yang menepuk pundakku.
"Hai, kau sedang apa?"
Makhluk itu adalah seorang pria muda yang tengah membungkuk. Parasnya berbinar ditimpa cahaya petang. Iris matanya yang berwarna emerald memancarkan ilusi kilauan. Dari bawah sini, rambut coklatnya itu tertutupi oleh kepala hoodie navy gelap. Nampaknya, bibir dan hidungnya terhalang oleh selapis masker. Meski begitu, sepasang matanya saja sudah mampu menyihirku.
Apakah dia seorang aktor?
"Tidak," singkatku, membereskan penampilanku yang sudah tidak tertolong.
"Hmm. Kau."
"Ya?"
"Sedang putus asa?"
"Huh?"
"Ingin menghilang ... dari dunia ini?"
Deg!
"Apa?!" batinku.
Secara misterius, bola matanya bergerak, memindai lingkungan sekitar.
"Aku bisa membantumu."
Suasana ini. Perasaanku berkata bahwa ada sesuatu yang janggal.
"Aku serius."
Setelah kupikir-pikir, dia orang asing yang sangat aneh. Disamping itu, aku sangat malu ketahuan bersedih di hadapan orang lain. Kurasa, aku harus segera meninggalkan tempat ini.
Kupaksakan kakiku yang gemetar hebat agar dapat melangkah pergi.
"Tetap di situ!"
"Huh?"
Terkadang, pria jangkung itu seolah memahami jalan pikiranku. Ia meraba-raba isi kantongnya.
"Sudah kubilang, aku akan membantumu."
Grep!
Tiba-tiba saja ia meraih tanganku. Benar, intuisiku memang tidak boleh kuabaikan.
"Tu-tunggu, apa yang ̶̶ "
Lalu ia menempatkanku di tepi atap.
"Minggir! Apa sih?!"
Bukannya menuruti kataku, tapi orang ini malah mendorongku dan semakin memojokkanku.
"Hei! Apa masalahmu?!"
Sedari tadi, aku mencoba melepaskan tanganku darinya.
"Kau mau membunuhku?!"
Aku berusaha keras melawannya, namun tak bisa. Tenagaku sudah habis kugunakan untuk menangis.
"Lepas! Ahh!"
Dorongannya kuat sekali. Tumpuanku sampai meleset karena itu. Ketahananku goyah. Sekilas, kudapati pria itu menyeringai dua detik.
Aku memang ingin menghilang, tapi tidak bermaksud benar-benar menghilang.
"AAAAAAH!"
Aku menjerit histeris otomatis. Keseimbanganku lepas. Ragaku meluncur bersama angin. Di mataku, sosok pria itu semakin mengecil dan mengecil, hingga hantaman keras terjadi antara tubuhku dengan bumi.
***