Chapter 8 - Perubahan

"Hah, aku masih lapar," keluh Senika yang baru selesai memakan potato wedges. Ia lanjut menghabiskan puding labu di tangannya.

Gadis bertubuh kurus itu meraba-raba perut datarnya. Helaan napas berlalu dari mulutnya. Ia sedikit menyesal menolak makan siang karena harga diri.

Namun, Senika bersyukur bisa menikmati camilan yang dibuatkan Ivory. Setidaknya, makanan ringan itu mampu mengganjal perutnya yang keroncongan.

Tok Tok Tok

"Masuk!"

"Sen."

"Serena?!" kejut Senika, mendapati saudari sedarahnya mendekat duluan.

"Em, aku membawa sesuatu. Kau pasti lapar bukan?" balas Serena, seraya menyodorkan senampan makaroni panggang.

"Ah, ya. Tapi ... kau membawanya sendiri?"

"Yap. Aku ingin makan bersamamu. Boleh aku duduk?"

Sesaat, Senika terhenyak. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa Serena menginginkannya. Lantas, raut wajahnya berubah menjadi lebih ramah.

"Tentu saja! Duduklah di sini! " kata Senika, menarik kursi di bangku dekat jendela.

***

Keduanya duduk berhadapan layaknya yang terjadi di pagi hari. Di suatu meja bundar, Senika sibuk melahap hidangannya, sementara Serena terus memandangi adiknya.

"Pelan-pelan," ujar Serena, mengais macaroni dengan sendoknya.

Senika mengangguk pelan setelah memberinya senyuman. Ia tidak bisa membuka mulut karena terus mengunyah. Serena hanya menyengir, mendapati adiknya abai terhadap etika makan.

Puas dengan makan siang, kini mereka saling melamun dalam keheningan. Keduanya merasa canggung karena ingatan yang terlintas di gazebo. Bahkan saat pelayan merapikan meja pun, keduanya bak patung mati yang tidak melakukan apapun.

"Sen."

"Ser."

Sepasang kembar identik ini menyahut bersamaan. Sang kakak lantas terkekeh.

"Kau duluan," lanjutnya, mempersilakan Senika.

Senika menautkan jarinya. Sambil berpikir lamban, ia berkata,"Serena, aku ... baru tahu alasannya. Aku baru tahu mengenai Lynn. Ya, seperti yang kau bilang, mungkin aku tidak akan bisa mengerti. Aku tidak tahu apa-apa. Tapi mulai sekarang, aku akan berusaha."

Serena mengerutkan alis. Sesaat, gadis kecil itu menunduk. Rasa sesal akan perilakunya semakin membesar.

"Aku yang tidak mengerti. Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku berkata begitu," lirihnya.

Senika tidak tahu harus merespon bagaimana. Sama halnya dengan Serena. Kembali, keheningan berlangsung diantara mereka.

"Kau terlalu baik," ujar Serena, memulai percakapan.

Senika yang tak mengerti hanya melebarkan matanya.

Lantas, Serena memegang dadanya. "Aku sudah membuatmu tidak sadarkan diri ... sampai lama sekali. Tapi kau masih mau bertemu denganku."

Senika pun mengibaskan tangan kuat-kuat."Eiyy, tentu saja. Serena kan kakakku," timpal Senika ringan.

Pernyataan itu sungguh hal yang biasa. Namun bagi Serena, dianggap keluarga oleh seseorang itu benar-benar sesuatu. Ia merasa seolah dirinya juga berharga.

Mata Serena berkaca-kaca. Hampir saja air matanya tumpah membasahi pipi. Ia memalingkan muka, berusaha keras untuk menahannya. Diremasnya gaun kuning bermotif polkadot yang ia kenakan.

"Kau ... kau tidak ingat dengan yang terjadi sebelumnya!" seru Serena, yang terkesan seperti memarahi Senika.

Senika bergeming. Ia memikirkaan sesuatu entah apa. Lalu dengan lembut, ia bertutur, "Serena, itu kan sudah berlalu lama sekali. Yang penting aku baik-baik saja sekarang. Lagipula, kau kan tidak sengaja."

"Tidak! Aku ...."

"Jadi ini alasanmu bersembunyi dariku?" Senika mengalihkan topik.

Serena membungkam sekaligus memiringkan kepalanya.

"Tolong kita lupakan saja yang sudah berlalu ya? Sekarang, mari buka lembaran baru."

" .... "

"Mulai sekarang, bolehkah kupanggil 'Kakak'?"

Tak ada respon dari Serena. Gadis itu hendak mendebat, tapi bibirnya tidak bisa diajak bekerja sama. Ribuan kata yang ingin ia lontarkan hanya terpendam jauh di dalam lubuk hatinya.

Senika melengkungkan bibirnya ke bawah."Tidak suka?" tanyanya lemas.

"Tidak! Aku sangat menyukai Senika!" bantah Serena tiba-tiba, sambil membusungkan dada.

"Apa?!"

Baru saja, Serena menyadari bahwa dirinya keceplosan. Ia yang salah bicara malah mengungkapkan perasaannya. Pipi dan lehernya merona. Detik ini, Serena ingin menghilang saja ke planet asing.

"M-Maksudku, ya! Panggil aku 'Kakak'!"

Senika terkekeh. Ia pun bangkit dari kursi. "Aah. Kakak imut sekali! Aku juga suka Kakak!" girangnya, seraya memeluk erat kakak kembarnya.

"Uhh, sudah! Aku sesak napas!"

"Hahahaha."

Dalam waktu yang relatif singkat, hubungan mereka yang tadinya membeku kaku pun mencair bagaikan es yang meleleh. Keduanya melebur menjadi satu kesatuan. Darah memanglah lebih kental dari air.

Selanjutnya, Senika mengajak Serena beristirahat. Mereka merebahkan diri di tempat tidur Senika. Keduanya bersantai sambil berbagi cerita.

"Tapi Kak, walau Kakak benar, Kakak tidak seharusnya menyiksa Lynn seperti itu!" ceramah Senika di tengah-tengah percakapan.

"Kalau itu .... "

"Ah!" Senika tersentak, ia baru menyadari sesuatu.

Hubungan Serena dengan Duke Chester tidak sebaik yang ia bayangkan. Seharusnya jika ada pelayan yang bersikap kurang ajar, Serena bisa melaporkannya langsung ke Duke atau kepala pelayan--agar pekerja itu mendapatkan hukuman. Namun, karena Serena diabaikan di rumah ini, dia jadi bertingkah semaunya supaya bisa disegani.

"Kak, jangan khawatir. Kalau ada yang menghina lagi, aku akan melaporkan ini ke ayah."

"Senika tidak perlu sampai seperti itu. Aku bisa membereskan urusanku sendiri," Serena menyunggingkan senyuman sejuta makna.

Senika terperangah, seolah mengerti arti dari seringai Serena. Terlintas bayangan Serena akan melakukan hal yang kejam di benaknya. Lantas dengan ragu, Senika bergumam, " ... aku benci jika Kakak melakukan kekerasan."

Jantung Serena berhenti sesaat. Dengan cepat, ia menggenggam kedua tangan Senika dan berseru, "Jangan benci aku!"

Kini ekspresinya berubah layaknya kucing kecil yang takut dibuang. Ia seolah kebingungan tanpa arah dan tujuan.

Senika menyunggingkan senyuman. Baginya, terdapat satu jalan untuk merealisasikan motifnya yang terselubung.

"Lalu Kakak janji ya, jangan seperti itu lagi?" bujuk Senika.

" .... "

Senika lanjut mengajukan jari kelingkingnya. "Janji?"

Serena melirik ke bawah. Ia menjauhkan tangannya dan memundurkan bahunya.

"Baiklah, kalau begitu aku tidak mau lagi bermain dengan--"

"Okay!" potong Serena. Gadis berusia 13 tahun itu pun menautkan kelingkingnya ke jari Senika.

Spontan, Senika melompat bahagia. Terdapat kelopak bunga di sekitarnya, yang sebenarnya tidak ada. "Yeay!"

Berkebalikan dengan Senika, Serena tertunduk lemas.

"Jangan sedih begitu. Jika ada sesuatu bilang saja padaku. Oke?"

Serena dilanda kegalauan. Ia sedikit menyesal harus meninggalkan kebiasaan lamanya. Sebenarnya, ia merasa takut sekaligus bersalah dengan keluarganya. Selama ini, 'mainan bonekanya' lah yang menjadi sarana pelampiasan--ketika ia tak bisa menahan diri.

Lain halnya dengan Senika. Ia tak henti-hentinya menarik ujung bibirnya. Rencana pertamanya--untuk merekatkan hubungan dengan Serena --sukses besar. Ditambah lagi, ia mendapatkan bonusnya, yaitu kesempatan untuk merubah bibit antagonisnya. Hari ini merupakan hari keberuntungan baginya.

Namun di tengah kebahagiaannya, masih tersisa satu hal yang mengganjal hatinya. Ia pun kembali beralih ke mode serius. "Oh ya, ngomong-ngomong, ibu kemana?" Senika bertanya.

Serena bergumam dengan suara yang sangat pelan. Saking pelannya, Senika tidak bisa mendengar apa yang dia ucapkan.

"Apa?"

"Ibu sudah meninggal."

***