Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya waktuku pergi datang. Aku berserta Serena, para penjaga, dan pelayan berangkat menaiki kereta kuda.
Sepanjang perjalanan, aku memandangi pepohonan yang daunnya meranggas. Juga, bunga-bunga layu yang berserakan di jalan. Mereka menghiasi pemandangan dengan gradasi oranye. Kudengar, musim gugur ini berlangsung sepanjang dua bulan ke depan.
Roda kayu terus berputar diiringi tapakan sepatu kuda. Tak butuh waktu lama, kereta kami pun tiba di ibukota. Sekadar informasi, mansion keluarga Chester jaraknya cukup dekat dengan Ibukota Kekaisaran Dawnell. Mansion dilokasikan begitu agar memudahkan akses Duke keluar-masuk istana kekaisaran.
"Ayo, Kakak!" Aku menggaet lengan Serena usai kami turun dari kereta kuda.
Pagi ini, suasana hatiku sedang sangat baik. Ini pertama kalinya dalam hidup aku berbelanja dengan saudara perempuanku. Saking gembiranya, aku sampai berlari menjauh dari para penjaga. Butuh tenaga ekstra bagi mereka untuk menyusulku.
Dug
"Awh!"
Tubuhku terpental akibat tersenggol seseorang. Dari belakang, orang itu mengenakan jubah hitam. Saat menengok, terselip rambut cokelat di penutup kepalanya.
Figurnya sempurna dengan kaki jangkung. Ciri-cirinya ... seperti seseorang yang pernah kutemui. Terutama iris mata emerald-nya yang khas.
Jangan-jangan ....
"Si Pembunuh itu?"
Segera, aku yang sedang bertumpu di paving bangkit mengejarnya. Di keramaian, sosoknya mudah ditemukan karena perawakannya yang berbeda dari orang-orang.
"Hei!" sahutku, hingga orang-orang menengok ke arahku.
Ia masuk ke dalam gang gelap yang tersembunyi. Kupercepat langkahku menuju ke sana selagi kubelah kerumunan. Orang-orang itu bagaikan tembok yang terus menghalangi. Tiada habisnya mereka berlalu lalang. Saat jarakku dengan tujuan kian dekat, tanganku mengulur panjang.
Sehabis itu--
"Senika!" Serena menangkap pergelangan tanganku yang lain. "Ayah akan mengusirku jika kau menghilang!"
"Kakak, itu--"
Kembali, aku melongok dan terfokus pada gang tadi. Namun, orang itu telah menghilang tanpa jejak.
"Jangan jauh-jauh dariku. Ayo, cepat ke sana!" ajaknya, menarikku paksa ke sebuah toko pakaian besar di arah barat.
"Ughh!"
***
Detik ini, kakak kembarku beralih profesi menjadi penata busanaku. Ia memakaikanku gaun biru muda yang mengembang sempurna. Kelopak mawar putih terhias di pinggiran sebagai rendanya. Tak lupa, topi bundar yang senada ditambahkan untuk menutupi rambutku.
"Cantik sekali, Senika! Kau mirip seperti boneka!" puji Serena.
"Kakak, sudah berapa kali aku mendengar itu? Sepuluh? Sebelas?" sebalku.
Bagaimana tidak, sudah puluhan kali aku berganti set yang semuanya berat dan susah dipakai. Memang, gaun bangsawan itu indah. Tapi jujur saja, aku merasa kegerahan karenanya. Kau harus memakainya berlapis-lapis hanya demi sebuah estetika.
"Nona imut sekali, huhu!" seru Ivory.
"Ya kan, Ivory? Siapa dulu yang mendandaninya?" bangganya.
"Nona Serena keren! Saya mau belajar mendandani Nona Senika seperti itu juga!"
"Sejak kapan kalian berdua menjadi akrab?" heranku.
Mereka yang tidak menghiraukan sibuk berbincang sendiri. Aku yang seperti boneka mati berdecak dan menggeleng pelan. Kutarik kembali rasa bahagiaku tadi pagi.
"Will, aku mau lihat-lihat lantai dua!"
"Baik, Nona."
Will, Pengawalku, mendampingiku ke lantai atas. Di sini adalah tempatnya jajaran baju dan aksesoris pria. Di sudut kanan, tersedia counter perhiasan juga. Aku lumayan tertarik dengan benda-benda yang terpajang di kaca.
"Boleh kulihat itu?" pintaku, menunjuk sebuah bros perak bermotif matahari.
Penjaga toko mengambilkannya, "Silahkan!"
Brosnya nampak elegan. Ukirannya unik dengan garapan yang rumit. Di tengahnya, tedapat tempat permata yang berbentuk bulat. Sayang, aku tidak terlalu suka dengan permata yang mengisinya.
"Nona Chester bisa membuat permintaan khusus mengenai permata yang dipakai," jelas penjaga toko.
"Bolehkah?"
"Iya. Kalau sudah punya batunya akan kami pasangkan dengan harga yang lebih murah. Tapi kalau belum, harganya sesuai dengan bernilainya permata. Hal itu berlaku untuk perhiasan yang lain juga."
"Ohh, baiklah. Kalau begitu buatkan tiga bros ini. Satu dengan kristal bening, satu kristal ruby, dan satu kristal hitam. Oh, ya, aku mau liontin itu juga, dengan kristal bening."
"Nona tidak memesan berlian biru saja?" tanyanya, menatapku penuh arti.
Aku menggeleng cepat. "Aku tidak terlalu suka warna biru."
Senika yang asli menyukainya, berbeda denganku. Entah mengapa warna itu membuatku trauma.
"Baik, semua akan kami bungkus rapi."
Mendadak, ada ide bagus muncul di otakku.
"Soal bros dan aksesori, berapa harga yang kau beri jika aku memasang batu sendiri?"
***
Tanpa terasa, enam jam berlalu cepat. Kereta kuda kembali digunakan untuk perjalanan pulang. Detik ini, aku duduk berseberangan dengan Serena.
"Senika, untuk apa itu?" tanya Serena, menunjuk sekantong tanaman yang kupangku.
Jadi setelah berbelanja dan makan, aku membeli tanaman herbal yang dijual di pinggir jalan.
"Ini tumbuhan yang berharga, bisa untuk kesehatan. Aku mau mencoba menanamnya di rumah kaca," jelasku.
"Begitukah? Tapi kalau kau mau, kita tinggal meminta dokter meresepkan obat."
"Iya, aku hanya mencoba membuat sesuatu dengan ini."
Serena tidak mengetahui kalau tumbuhan ini berprospek di masyarakat aristokrat. Diam-diam, aku berencana mengolah barang-barang yang kubeli menjadi suatu produk. Produk ini akan membantuku dalam memperbanyak uang. Uang yang akan kukumpulkan hingga waktu yang tepat.
Kau tahu, rencanaku yang berikutnya adalah mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk melarikan diri. Dari sekarang, aku berniat memperkaya diri agar dapat hidup damai di suatu tempat. Kelak, tatkala aku beranjak dewasa--di mana hukum kekaisaran sudah melegalkanku keluar wilayah-- aku akan berimigrasi ke luar negeri.
"Hmm, begitu. Oh ya, apakah kau yakin dengan acara besok? Apa benar hati ayah nanti bisa melunak?" Serena bertanya. Dari binar matanya, terbaca kalau ia sedang harap-harap cemas.
Acara yang dimaksud Serena adalah salah satu kartu yang kupersiapkan besok.
"Tentu saja. Lihat saja nanti!" yakinku puas.
Dug Dug Brak
Bunyi sandungan terdengar cukup keras. Kereta berhenti mendadak. Kubuka tirai jendela di samping kiriku.
"Ada apa?" tanyaku ingin tahu.
"Penyangga rodanya patah, Nona," jawab Gein.
Aku dan Serena keluar dari kereta kuda. Kereta yang keseimbangannya buruk karena tersandung batu besar.
"Sementara keretanya diperbaiki, aku mau mencari udara segar."
"Ayo bersama saya, Nona!" timpal Ivory.
"Ajak aku juga!" susul Serena.
"Aku mau sendirian."
"Nona, Your Grace berpesan bahwa ...."
"Sebentar saja. Aku berjanji akan segera kembali."
Kusodorkan batu berwarna merah ke arah mereka. "Kalau mau mencariku, kau bisa ikuti batu-batu ini. Aku akan meninggalkan jejakku dengan itu!"
"Sen-"
Secepat kilat, aku meninggalkan mereka--berkalang kabut sampai memasuki kawasan bukit. Tak lupa, kujatuhkan bebatuan merah tadi sebagai tanda. Aku tak tahu seberapa jauh aku berlari. Yang kutahu, semakin jauh diriku, semakin aku menemukan hutan lebat.
Kuperlambat lajuku, sembari menatap sepasang flatsshoes yang kukenakan. Rasa-rasanya, jalan setapak yang kupijak di bawahnya pernah kulewati.
Oh, setelah kupikirkan, ternyata hutan ini berdekatan dengan danau tempatku mengaduh. Sekali lagi, aku mengikuti intuisiku ke perairan itu-- dengan menyusuri pepohonan di kanan-kiri. Langkahku terhenti kala tiba di tempat tujuan.
"Fuhh, sampai juga," legaku.
Aku mengedarkan pandangan. Air danau yang jernih memantulkan cahaya mentari. Ikan-ikan kecil terlihat jelas berenang di tepian. Berbeda ketika malam hari. Danau ini mirip tempat syuting film horor.
Beginikah pemandangannya di sore hari?
Kututup mataku kemudian. Dengan damai, aku menghirup aroma alam. Tercium bau dedaunan merah yang sedang berjatuhan. Di sekeliling, aku dapat menemukan tanaman langka, seperti jamur truffle yang menggerombol di dekat bebatuan.
Aku pun berlanjut menikmati sesi jalan-jalan soreku sendirian. Kuakui, sisi introvertku ini memang belum sepenuhnya berubah.
Srug
Aku memicingkan mata. Mungkin saja, itu hewan tupai yang berisik. Aku mendekati arah suaranya berasal.
Saat aku menajamkan lensa, terdapat sesosok lelaki yang berada di bawah pohon. Ia terduduk lemas dengan dedaunan oranye sebagai alasnya. Sepertinya ia sedang tidur. Perlahan, kuhampiri lelaki asing itu.
Setelahnya, kami berhadapan satu sama lain. Jubah yang menutupinya kubuka hati-hati.
Kala wajahnya tersibak sepenuhnya, aku menggigit bibir. Terpampang nyata wajah sosok yang kukenal sebelumnya--seorang remaja lelaki berambut hitam legam. Namun, kondisinya kini berbeda dari malam itu.
Kuraba dagu kurusnya. Semakin jelas ukiran luka bakar di area pipi dan dahinya. Kala pelipisnya kusentuh, ia merintih perih. Rintihan yang pada dasarnya tidak asing.
"Louis?"
***