"Ayah, ayo ke sini!" ajak Senika. Ia menuntun Orwen ke gazebo putih di taman belakang.
"Pelan-pelan, Senika!"
Di dalam gazebo, ada sebuah meja bundar dan tiga kursi kosong. Salah satunya sudah diduduki oleh Serena. Senika dan Orwen mengisi kedua kursi kosong di sebelah Serena.
"Akhirnya keluarga kita lengkap!" puas Senika.
Serena hanya menyunggingkan senyuman. Sementara Orwen terdiam dengan kaku.
"Senika, bisakah Ayah buka penutup matanya?" tanya Orwen, mendekatkan tangannya ke kain hitam yang melekat pada netranya.
"Sebentar!" jawab Senika, menyingkirkan tangan ayahnya.
Senika dan Serena melakukan sesuatu entah apa. Mereka menata peralatan di permukaan meja. Setelah semua dirasa siap, Senika menghampiri Orwen. Ia berdiri di belakang Orwen. Senika memegang ikatan yang berada di ubun-ubun Orwen.
"Sudah siap, Ayah. Satu ... Dua ... Tiga!"
Senika mengudarkan kain penutup mata Orwen. Ia bersama Serena menyeru, "Selamat ulang tahun!"
Terperangah, itulah ekspresi Orwen detik ini. Di hadapan Orwen, terhidang kue tart besar dengan beberapa lilin di atasnya. Krim coklat susu tebal melapisi seluruh permukaan kue. Tak lupa, coklat serut, bubuk kopi, dan dan daun mint dibubuhkan sebagai topping-nya. Orwen menelan ludah.
Menyadari gelagat Orwen, Senika mengaku, "Aku tahu kue tiramisu ini kesukaan Ayah. Semalaman, aku, Serena dan para pelayan membuat kue ini spesial untuk Ayah, hehe."
"Ehem. Siapa bilang?" Orwen membenahi kemejanya. Ia melirik ke semak-semak di sisi kiri dengan datar.
Senika tertawa kecil. Ia sangat tahu kalau Orwen menggemari tiramisu. Di dalam novel, Orwen menolak kue tiramisu pemberian Serena. Para pelayan sampai mengira bahwa Orwen membenci Serena. Namun setelah Serena pergi, ia memungutnya kembali dari dapur. Diam-diam, dilahapnya kue itu sampai tak bersisa. Sebenarnya Orwen bukannya membenci Serena. Ia hanya malu seandainya orang lain tahu makanan favoritnya.
"Sudah deh. Kakak, ayo kita mulai!"
Musik di piringan berputar. Kembaran kecil itu berlanjut menyanyikan lagu ulang tahun, walaupun suara mereka tidak lebih baik dari ringikan keledai. Orwen pun menahan dirinya agar tidak menertawakan usaha mereka. Kedua anaknya terlalu menggemaskan untuk menerima penghinaan.
"Fuhh!" Orwen meniup lilin setelah lagu itu selesai.
Senika dan Serena bersorak gembira dan bertepuk tangan. Acara selanjutnya adalah pemotongan kue. Potongan pertama kue Orwen tidak ia berikan ke siapapun. Potongan kedua dan ketiga dibagikannya untuk kedua putrinya.
"Ayah, potongan pertama untuk Ayah sendiri?"
Sejenak, kebungkaman menjadi reaksi Orwen. Setelah beberapa detik, ia membalas, "Ini untuk seseorang yang sudah pergi."
Seketika, Senika dan Serena membatu. Mereka lantas saling memandang. Serena menyenggol sepatu Senika. Ia mengangkat alisnya, seolah mengisyaratkan sesuatu.
Senika mengedipkan mata. Sehabis menghela nafas, ia berujar, "Ayah, mungkin ini agak terlambat. Tapi, Kakak ingin menyampaikan sesuatu ke Ayah. Semoga Ayah mau mendengarkan."
"Bicara saja," singkat Orwen, yang duduk diantara Senika dan Serena.
Serena menghirup nafas dalam-dalam. Degup jantungnya begitu cepat memompa ke seluruh tubuh. Dari bertahun-tahun lamanya, ia sangat ingin menyampaikan hal ini kepada ayahnya. Namun tak pernah ada waktu yang tepat. Sekarang adalah momen berharga untuk mencurahkan segala isi hatinya.
"Ayah,"panggil Serena. Ia menatap Orwen yang menunggu ucapannya.
"Ahh, Senika, aku takut. Aku malu!" Serena menutupi wajahnya.
"Cepat!" timpal Senika. Telapak tangannya diayunkan, seolah ia bertelepati,"Kapan lagi kesempatan ini ada?"
Serena mengangguk mengerti. Ia pun menyiapkan mental.
"Begini, Ayah, aku tidak tahu apa aku pantas mengatakan ini atau tidak. Rumor menyebar kalau aku membunuh ibu. Mungkin saja itu benar. Tapi Ayah, dengarkan aku!" pinta Serena.
Suaranya mulai parau. Dengan gemetar, ia melanjutkan, "Aku ... tidak bermaksud membunuh ibu. Saat itu aku sangat panik dan tidak tahu harus bagaimana. Ibu ... kesakitan. Ibu setelah menyelamatkan Senika memintaku ...."
Air mata mengalir membasahi pipi Serena. Dengan segenap kekuatan, diremasnya belenggu yang menyesakkan dada. Sembari sesenggukan, ia mengaku, "Ibu memintaku ... mencekiknya. Ia sangat menderita waktu itu. Ibu ...."
Senika memberikan sapu tangannya kepada Serena. Serena menerima sapu tangan itu dan langsung memakainya. "Ibu sakit ... sampai memaksaku mencekiknya. Jadi aku melakukannya! Maafkan aku, Ayah! Maaf, maaf, maaf! Aku tahu aku salah. Tapi sungguh aku tidak bermaksud ... ingin melakukan itu! Aku sayang ibu!"
Setelahnya, Serena tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Hanya isak tangis penyesalan yang terdengar darinya. Serena tiada hentinya mengeluarkan air mata. Bahkan, sapu tangan milik Senika sudah telalu basah untuk menyerap airnya.
Senika meninggalkan tempat duduknya. Ia menyandarkan Serena ke pundaknya. "Kakak," sebutnya, seraya membelai kepala Serena.
Orwen meremas batang hidungnya. Selepas itu, ia mengacak-acak rambut ikalnya. Perasaannya kini bercampur aduk. Namun yang pasti, hatinya tak tega melihat putri kecilnya menangis.
"Sudahlah, semuanya sudah berlalu. Jadi tidak usah dibahas."
"Hiks, Hiks. Ayah," lirih Serena. Penampilannya kacau balau dengan binar mata yang berkaca-kaca.
"Ayah sudah memaafkanmu. Jangan menangis lagi."
"Ayah."
Orwen tidak tahu lagi kata yang bagus untuk menenangkan Serena. Saat menangis, anak itu sudah seperti balita yang merengek ditinggal ibunya pergi sebentar. Orwen tersenyum tipis. Dengan sigap, ia mengangkat Serena ke pangkuannya. Direngkuhnya tubuh kecil gadis itu layaknya mereka di masa lalu -- ketika Serena masih bayi.
"Maafkan, Ayah."
Orwen, menepuk punggung Serena.
***
Setelah situasi membaik, Senika menyodorkan kotak kecil ke Orwen. "Ayah, ini hadiah dariku," jelasnya.
"Terima ini juga, Yah," ikut Serena, mendekatkan sebuah kotak besar ke arah Orwen.
Orwen dengan semu mengangkat ujung bibirnya. Diterimanya kedua hadiah itu dengan senang hati. Lantas, ia mengelus rambut kedua putrinya dengan lembut. "Terimakasih."
"Oh ya, Ayah. Kalau boleh bertanya, kenapa Ayah membakar semua barang mengenai ibu?"
Orwen menengadah. Ia menerawang. "Jika aku masih menyimpannya, aku semakin tidak bisa melupakannya."
Pria berjanggut tipis itu memperdalam tatapannya. "Kalian tahu? Untuk melanjutkan hidup, kita perlu melupakan seseorang. Walaupun sampai sekarang rasanya begitu sulit. Ayah masih mencintainya, meski ibu sudah tidak ada."
"Aww, Ayah!" gemas Senika. Ia dan Serena memeluk Orwen bersamaan. Ketiganya terlukis bahagia dalam sebuah potret.
***
"Your Grace, saya mau melapor," kata Rick di suatu pagi.
"Ya."
"Kedua Nona Muda sudah mengikuti kelas etika dengan disiplin. Perkembangan Nona Serena sangat baik, sedangkan Nona Senika masih kesulitan dengan etika dasar."
Orwen menutup kasar koran bacaannya. "Bagus. Terus pantau mereka ke depannya."
"Baik. Oh, omong-omong, bros Anda pagi ini terlihat bagus." Rick mengalihkan perhatiannya ke bros permata hitam yang dikenakan Orwen.
Orwen membusungkan dadanya sambil menarik kerahnya. "Oh, tentu. Putriku yang memberikannya."
Rick tersenyum hangat. Ia merasa sikap tuannya jadi lebih melunak. Ia pun melangkah mundur. "Kalau begitu, saya permisi dulu."
Selepas Rick menghilang dari balik pintu, Orwen meraba-raba meja kerjanya. Lantas, dibukanya laci di bawahnya. Ia mengeluarkan kotak hadiah yang diberikan Serena.
Perlahan, tutup kotak itu disingkirkannya. Di dalamnya, terpampang lukisannya bersama seseorang yang belum bisa ia lupakan. Mereka memangku kedua buah hati mereka dengan senyum bahagia.
"Solelia."
***