Pelan-pelan, aku yang dipandu olehnya turun dari pelana. Kakiku yang berpindah dari pedal menghentak ke tanah.
"Terimakasih sudah mengantarku."
"Seorang Young Lady tidak seharusnya berkeliaran tengah malam. Apalagi tanpa pengawalan."
Ia mendongak, seolah mengamati gedung di belakangku. Lalu melanjutkan, "Terlebih lagi, ia adalah putri dari Duke Chester."
Mengejutkan. Ia langsung mengenali identitasku. Padahal, tidak sembarang orang yang bisa tahu kediaman Duke Chester. Aku penasaran siapakah Louis ini. Sekalipun figuran, tidak ada tokoh yang bernama 'Louis' di dalam novel.
Analisisnya cermat, menandakan Louis berwawasan luas. Pun, terbiasa mengamati situasi. Katanya usianya baru 15 tahun. Seharusnya, laki-laki seumurannya tengah belajar di asrama Royal Academy. Tapi ia tidak. Sepertinya karena masalah finansial.
"Kalau begitu, aku pergi."
Dia tahu aku seorang Young Lady dari Dukedom Chester. Meskipun aku lebih muda darinya, seharusnya ia berbicara formal dan memberi salam sesuai etika.
Duke Chester memiliki posisi tertinggi setelah keluarga kekaisaran. Entah keluarganya sederajat dengan keluarga Chester ataukah ia berpura-pura tidak tahu.
Yang jelas, seandainya Louis seorang pangeran, tidak mungkin anggota keluarga kekaisaran dapat berkeliaran dengan bebas seperti ini. Toh, hanya Luke satu-satunya pewaris takhta kekaisaran.
Apa memang sikapnya saja yang terbiasa kurang ajar?
Yah, tapi aku tidak begitu peduli sih. Toh sebenarnya aku bukanlah 'aku'.
"Tunggu ̶̶ "
Ia berbalik, lalu merespon. "Ya?"
"Tolong lupakan soal kejadian malam ini."
Mendadak suasananya menjadi canggung.
Menyadari apa yang baru saja kukatakan, aku mengibas-ngibaskan tangan dan menyeru, "Ma-maksudnya aku tidak mau rumor menyebar bahwa aku keluar tengah malam bersama seorang laki-laki!"
Aduh, mulutku ini terlalu blak-blakan. Kalimat yang kulontarkan malah semakin membuat orang yang sukarela mengantarku menjadi tidak nyaman. Aku pun mengutuk diri dalam hati, lalu menepuk dahiku.
Louis terkekeh. Sepasang mata berbentuk almondnya itu menyipit cantik. "Tidak usah khawatir," ucapnya.
Louis yang telah menunggangi kuda pun memutar, kemudian menjauh dari pandangan.
***
"Tidak kusangka aku jadi memiliki kenalan."
Kini aku merebahkan diri di kasurku yang empuk. Terbayang ucapan Louis padaku di danau tadi.
"Jadi, apa yang sedang kau keluhkan?" Louis bertanya setelah kami berkenalan.
"Kau tidak perlu tahu."
"Kau bisa cerita padaku."
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"
Aku tidak suka dengannya. Dia orang asing yang baru saja menertawakanku sampai menangis. Untuk apa juga aku bicara dengannya.
"Yah, terserah padamu sih. Setidaknya kan aku bisa menjawabmu daripada ... bulan atau tumbuhan? Pfft." Lagi-lagi bocah itu menghinaku.
"Berhenti kubilang! Aku tidak mau bicara denganmu lagi, huh!" Aku menjauh dari tempatnya duduk.
"Hahaha. Hei, Nona pemarah, jangan begitulah. Maaf, hm? Nanti janji deh kuantar pulang."
Louis licik sekali. Dia membujukku lembut menggunakan wajahnya itu. Dia mengetahui kalau hatiku juga bisa goyah terhadap makhluk bervisual keren sepertinya.
"Aku tahu kau berjalan kaki ke sini. Nanti aku antarkan."
"Ya."
Setelahnya hening. Kami berakhir saling mengacuhkan. Aku pun kembali membuka mulut.
"Seandainya begini, kau bermimpi di masa depan kalau kau akan menderita sampai mati. Apa yang akan kau lakukan?"
"Tadi waktu disuruh tidak mau. Sekarang malah cerita. Hm."
"Kau ini benar-benar ya. Ya sudah, tidak jadi!" ketusku. Aku memonyongkan bibir.
"Hahaha. Baiklah-baiklah!" tawanya lagi.
Senang sekali ia mengetes kesabaranku. Sambil mengusap rambutnya, ia berkata,"Ya tidak usah dipikirkan. Itu kan cuma mimpi."
Benar juga. Secara mental, aku memang lebih dewasa darinya. Tapi entah mengapa aku jadi merasa lebih kekanakan dihadapannya.
"Tidak-tidak. Bagaimana jika itu benar-benar terjadi? Bisa saja kan?"
Aku tidak bisa menceritakan hal yang sebenarnya. Orang waras mana yang akan percaya dengan cerita konyol bahwa aku mengetahui masa depan? Terlebih, itu karena akulah pengarang novel ini.
Lantas, Louis menjumput rerumputan. Dengan usilnya, ia menguntir rumput itu beberapa kali, memainkannya. Tuturnya,"Tidak ada yang seperti itu. Mimpi adalah bunga tidur."
Aku berdecak pelan. "Anggap saja itu akan terjadi besok."
Louis berpikir sejenak. Ia meremas rerumputan digenggamannya, lalu menjawab, "Tentu saja, aku akan menempuh segala cara semaksimal mungkin untuk menghindarinya."
"Walaupun kau tahu hal buruk itu pada akhirnya akan menimpamu?"
Rumput yang diremasnya ia buang ke perairan. Dengan memandanginya dalam dan berucap, "Ya. Setidaknya aku sudah berusaha yang terbaik untuk mengubahnya. Jadi, aku tidak memiliki penyesalan. Yang tersisa."
Kata-katanya yang dalam membuatku tersadar. Bagaimana bisa aku tidak berpikir sampai ke sana?
Ini karena aku terlalu fokus dengan tragedi yang akan terjadi di masa depan. Aku masih belum siap menghadapi kenyataan, sehingga aku melupakan apa yang lebih penting.
Kupikir semuanya memang tidak bisa dirubah karena aku sendiri yang telah mengaturnya sedemikan rupa. Tapi mungkin saja, masa depan tidak akan terjadi bila aku melakukan sesuatu untuk menghindarinya. Tidak ada yang tahu hasilnya akan jadi seperti apa sampai kau mencobanya sendiri.
Seketika, aku teringat dengan suara dalam mimpi itu.
"Kau hanya bisa mengubah apa yang bisa kau ubah."
Aku masih bisa mengubahnya bukan?
Baiklah, kini aku bertekad. Aku yang sudah menuliskan kisah ini. Maka dari itu, aku pula lah yang harus bertanggung jawab mengubah semuanya.
Sehabis bangkit dari ranjang, aku yang menyalakan penerangan menduduki bangku tempatku menulis. Kemudian, secarik kertas kubentangkan bersamaan dengan pena yang kuraih. Dengan semangat, aku mencorat-coret sesuatu menggunakan keduanya.
***
Sudah tiga hari berlalu sejak terakhir kali aku keluar dari mansion. Untungnya, segalanya aman terkendali. Selama itu, aku mulai membuka pintu kamarku dan beradaptasi secara perlahan di lingkungan mansion.
Semua pelayan rumah ramah terhadapku. Mereka juga sangat menghormatiku. Hari-hariku berjalan nyaman dengan banyak orang di sisiku. Dari kehidupan sebelumnya, aku tidak pernah membayangkan kehadiranku akan sangat dihargai seperti ini.
Sayangnya, aku tidak melihat satu pun batang hidung dari keluargaku. Pelayan bilang bahwa Duke Chester sibuk dengan pengawasan perbatasan negara di wilayah selatan. Menurut kabar, ia sedang menempuh perjalanan pulang ke rumah. Diperkirakan, ia akan sampai besok malam.
Di saat yang sama, aku juga belum bertemu Serena, entah apa alasannya. Sedangkan Duchess Chester, aku belum mendengar secuilpun hal tentangnya. Tidak ada seorangpun yang terang-terangan membicarakannya.
Aku tidak bisa menunggu terus. Sekarang lah saatnya mulai bergerak.
"Ivory."
"Ya, Nona Muda?"
"Dimana Serena sekarang?"
Ivory yang sedang menyisir rambutku termenung sejenak. Ia pun menghindari tatapanku di depan cermin. "Saya kurang tahu, Nona."
"Aku tahu kau berbohong, Ivory." Aku melipat lenganku dengan santai. Kala ia berdusta, arah matanya selalu menghindariku.
"Uhm." Ivory mengerutkan alisnya.
"Tolong bilang padaku kalau kau tahu sesuatu."
Ivory seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi ia ragu-ragu. "Saya mohon jangan tersinggung, Nona, kalau saya mengatakan ini."
"Katakan saja."
Ivory yang kini mengikat rambutku bergerak pelan. "Ehm, begini. Sebenarnya, saya kadang-kadang melihat Nona Serena bersembunyi saat Nona Senika lewat."
Hah? Apa katanya?
"Ivory, apakah aku ... melakukan kesalahan?" tanyaku ragu.
Dengan mimik terperangah, ia langsung menangkis, "Tidak! Nona tidak salah apa-apa!"
"Jujurlah padaku."
Jangan-jangan, ini tentang reaksiku saat pertama kali siuman. Bisa jadi karena aku lah yang bersikap seperti itu. Jadi Serena kabur dariku.
"Nona tidak salah! Nona bahkan baik pada kami. Nona menghargai kami, para pelayan."
Seumur hidup baru kali ini aku dibilang tidak bersalah. Aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Lantas, aku mengalihkan tema,"Lalu, kenapa Serena bersembunyi? Apa dia tidak suka padaku?"
"Itu tidak mungkin!" tegasnya langsung.
Ivory tak pernah tahu. Dalam cerita aslinya, Serena adalah salah satu tokoh antagonis yang tidak menyukai Senika. Kemungkinan, bisa saja dia membenciku sampai tidak mau bertemu denganku.
Tapi aku tidak boleh berprasangka buruk. Ketika aku baru bangun, ia bahkan menyalahkan dirinya sendiri.
Mungkinkah ... ia takut akan berbuat salah padaku?
"Kurasa begitu." Aku menghela nafas. "Jadi, ada dimana dia sekarang?"
"Saya belum melihat Nona Serena sejak tadi. Tapi yang saya dengar dari pekerja lain, Nona biasanya minum teh bersama bonekanya di gazebo."
"Hmm begitu ya."
Ivory menyelesaikan tatanan rambutku. Rambut biruku yang tadinya tergerai bergelombang kini dikepang sebagian. Ia kemudian menambahkan jepit kupu-kupu dan memuji, "Nah sekarang Nona sudah lebih cantik."
"Terimakasih, Ivory."
Selesai dirias, aku pun menyiapkan senjata perlengkapan. Kumasukkan barang-barang yang kubutuhkan ke dalam tas kecil. Siap Aku menentengnya sebelum pergi ke medan perang.
"Siap-siap, Serena. Hari ini aku akan menangkapmu hidup-hidup!"
***