Malam itu aku menyadari fakta bahwa aku masuk ke dalam tubuh Senika Chester. Senika Chester ialah sang Gadis Primadona Kekaisaran di dalam novel Bloody Roses. Ia merupakan sosok bunga yang dicintai oleh semua orang. Orang-orang beranggapan bahwa hidupnya bahagia dengan banyaknya cinta. Sayangnya tidak, mereka tidak tahu persis tentang apa yang dirasakannya.
Novel Bloody Roses sendiri butuh dua chapter lagi agar sampai ke endingnya. Meski masih belum tamat, aku sudah menulis plot terakhir yang akan menjadi takdir bagi Senika.
Pada babak akhir, Senika akan bunuh diri seminggu sebelum melangsungkan pernikahannya. Tragedi itu membuat Kaisar Luke, Sang Calon Pengantin, merasa bersalah sedalam-dalamnya. Ia terpukul dengan trauma berat meskipun dirinya baru saja naik takhta.
Masuk akal?
Tidak, aku tahu. Secara logis, tidak ada penjelasan pasti mengapa aku bisa masuk menjadi tokoh utama wanita di dalam novel. Aku pun masih menganggap bahwa ini gila dan semua merupakan halusinasi belaka.
Apa yang terjadi padaku?
Bagaimana ini bisa terjadi?
Bagaimana dengan pekerjaanku? Novelku?
Seingatku, peristiwa terakhir yang terasa nyata kala aku didorong oleh pria asing dari atap gedung lantai 5. Petang itu ialah momen dimana aku mati sebagai Arsy Berliana. Masih terbayang jelas sosoknya yang tanpa ekspresi menatapku, seraya menggenggam benda logam yang berkilau.
Apa aku memang sudah mati?
Benarkah jiwaku masuk ke dalam tubuh Senika?
Bagaimana bisa dunia novel ini ada?
Dan kemana perginya jiwa Senika yang asli?
Ah, semakin kupikirkan semakin memusingkan. Mau bagaimanapun, aku tidak menemukan satupun jawaban atas semua pertanyaanku. Yang jelas, jiwaku merasuk ke dalam tubuh Senika ketika dia koma selama empat tahun lamanya. Momen kemarin merupakan salah satu kejadian saat Senika baru siuman. Kini, usianya sudah terhitung 13 tahun.
Dunia yang kudatangi adalah dunia dengan dimensi berbeda. Ini adalah dunia novel berlatarbelakang kekaisaran yang mirip dengan peradaban Eropa abad pertengahan. Kini, sudah hampir satu abad lamanya sejak kekaisaran itu berdiri.
***
"Fuhh."
Sudah lima hari lamanya aku makan, tidur, dan rebahan di kamar yang sama. Tentu saja, keadaan di luar nalar ini masih belum bisa kuterima. Namun, aku telah menerima bagian yang membuatku nyaman, yaitu istirahat.
Sudah sekian lamanya aku tidak bersantai. Di kehidupan lalu, aku terus bekerja sampai kurang tidur. Tempat ini benar-benar pas untuk beristirahat. Pelayanannya sangat memuaskan. Aku bisa mendapatkan apa saja yang kumau, asalkan itu ada.
Dari yang kutahu, kediaman mewah yang sedang kutinggali memang benar milik keluarga Duke Chester. Lelaki yang menjengukku tempo hari adalah Duke Orwen Chester. Lalu gadis kecil yang mengaku sebagai kakak kembarku adalah Serena Chester. Keduanya diceritakan sebagai keluargaku.
Selama lima hari ini, aku mengurung diri dari semua orang. Selain pelayan yang membawakan makanan dan dokter yang memeriksa kondisiku, tidak ada lagi yang bisa masuk ke dalam kamarku. Itu adalah permintaanku pada Duke Chester. Aku hanya belum siap beradaptasi dengan mereka.
"Hah, aku harus keluar."
Bosan juga apabila terus terisolasi di dalam mansion. Aku juga ingin melihat-lihat pemandangan. Barangkali kalau keluar, aku bisa mendapatkan jawaban di jalan.
Diam-diam, aku berencana kabur sebentar. Dini hari adalah waktu yang kupilih, karena penjagaan di sekitar tidak seketat pada siang hari. Berbekal lentera mini, aku menyiapkan diri untuk menjalankan aksiku.
Syut Sreek
Aku terjun melalui jendela besar dan menyenggol semak-semak. Tanpa perlu melihat situasi, kakiku yang berjinjit sigap melintasi pinggiran halaman. Setelah melewati pagar kecil yang aman, aku lari sekencang mungkin dari Mansion keluarga Chester.
Sekian puluh menit terlewati begitu saja. Aku yang mulai kelelahan berhenti di tengah jalan.
"Hosh, hosh, hosh."
Jantungku meletup-letup seperti hampir meledak. Dadaku kembang kempis, mencuri partikel oksigen dan gas lainnya di udara. Aku memegang dada kiriku. Denyutnya masih teraba cepat. Bisa-bisa, tubuh baruku ini akan menderita aritmia usia dini.
"Tahu begini aku menyiapkan kuda."
Harusnya begitu, aku ingin menyuruh pelayan untuk membantuku menaiki kuda. Tapi bisa saja, kabar itu akan sampai ke telinga Duke. Kalau hal itu benar-benar terjadi, penjagaanku pasti akan semakin diperketat. Dan akhirnya, aku semakin sulit untuk keluar rumah.
Ngomong-ngomong, di sekitar sini hanya ada pepohonan dan kebun. Juga, jalan setapak tempat kakiku berpijak. Selain itu, tidak ada yang terlihat jelas karena kabut yang mengganggu.
"Hmm."
Aku menghadap ke barat dan sedikitnya, mataku menangkap getaran air di sana. Sepertinya terdapat danau kecil. Tanpa kusadari, intuisi membawaku ke danau itu.
Tap Tap tap
Sruug
Sesampainya di sana, aku mengistirahatkan tungkaiku di tepian. Aku membayangkan rembulan yang berada di atas sana. Bentuknya indah sekalipun ia hanya ada di malam hari. Cahaya bulan bersinar dengan terangnya. Bahkan, pendarnya tidak kalah jika dibandingkan dengan lenteraku.
Semilir angin berhembus, diiringi sahutan merdu para jangkrik. Aku yang termangu menatap bayangan rembulan di permukaan air.
Apa yang harus kulakukan?
Tanganku menyilang, bertopang dagu.
Kalau aku menceburkan diri di sini, apa aku bisa kembali ke dunia modern?
Tapi ... jika aku kembali, bukankah tidak ada lagi tempat untukku?
Benar, tidak ada seorangpun yang menungguku. Aku akan kesepian lagi.
Suara yang gaung dalam mimpi berputar ulang dalam otakku.
"Kau telah mendapatkan kesempatan sekali lagi."
"Maka dari itu, pergunakanlah kesempatan itu dengan baik."
Ya, tepatnya kesempatan kedua; hidup sebagai pribadi yang berbeda. Tapi bagaimana?
Aku sudah menyusun novel ini dengan kisah tragedi yang mematikan, dibubuhi genre thriller yang menyeramkan. Ditambah, tokoh utama wanita digariskan oleh takdir bunuh diri yang mengenaskan.
Jika memang aku berjalan di muka bumi ini, apapun yang kulakukan ... bukankah semua akan kembali sesuai alurnya?
Aku meringkuk, kemudian membenamkan kepala.
Apakah aku bisa melawan takdir?
Entah mengapa, seluruh kekuatanku, keberanianku, membuai sepenuhnya. Hatiku hampa, kosong, hambar. Apa yang kupikirkan semakin kusut bagai benang yang menggunung.
"Bulan, bisakah kau beritahu aku ... apa yang harus kulakukan?"
Hanya keheningan yang menyambutku. Beberapa detik berlalu sia-sia.
"Bulan, bagaimana?"
Rembulan masih berpendar dengan anggun. Tak ada tanda jawaban yang pasti.
"Hmph."
Aku beralih memandang rumput di sela jari kakiku.
"Rumput, apa kau tahu jawabannya?"
Rumput membalasku dengan goyangan. Sepertinya ia tidak tahu apa-apa.
Tanpa kusadari, aku jadi bertingkah seperti orang stres. Memang benar, detik ini aku sedang stres. Saking stresnya, aku tidak memahami bahwa kesehatan mentalku patut dipertanyakan.
"Hah!" Aku mendengkus.
"Mau bagaimanapun percuma juga. Kalian itu tidak punya mulut! Jadi tidak akan pernah bisa membantuku!"
"Pfft!"
Srak
"Apa itu?!"
Spontan, aku berdiri. Kepalaku menoleh ke kanan-kiri dan depan-belakang. Tidak ada apapun dan siapapun. Bulu kudukku jadi merinding mendengar suara barusan.
Apakah ada orang di sini?
Atau ....
"Ha-hantu?"
Tenang Arsy, kau itu wanita dewasa, sudah berumur 25 tahun. Kau tidak boleh takut dengan hantu yang tidak ada!
Ya, tidak boleh. Padahal sendirinya membuat novel thriller yang mengerikan, tapi masa begini saja sudah ketakutan?
Aku akan ditertawakan pembaca bila mereka tahu tentang hal ini.
Tsing
Sesuatu baru saja melewati semak-semak.
"Boo?"
"AAAGH!" teriakku.
Barusan, jantungku seakan berhenti selama dua detik.
"HAHAHAHAHA!"
Suara tawa pecah, menghancurkan kesunyian. Seorang bocah lelaki berguling-guling di atas rumput. Tak henti-hentinya ia memeluk perutnya.
Kesal dibuatnya, aku menggoyang-goyangkan bahunya. "Kau ini! Cukup!"
"Hahahaha!" Bocah bermata hitam itu masih tertawa sampai dirinya mengusap air matanya.
"Huh! Kukira kau ini tuyul! Habis malam-malam begini ̶̶ "
"Ya maaf. Kau sendiri? Apa yang seorang Young Lady lakukan di sini?"
Bagaimana ia bisa tahu aku ini Young Lady? Padahal aku mengenakan jubah usang yang menutupi seluruh tubuhku.
"Aku ̶̶ "
"Bicara dengan bulan? Atau rumput yang bergoyang? HAHAHA."
Demi apapun, tak kusangka aku akan diledek habis-habisan oleh seorang bocah ingusan. Ingin kuremas bibirnya yang kecil itu dengan tanganku ini. Namun, aku tidak boleh terbawa emosi. Aku harus mengingat usia asliku yang jauh lebih dewasa darinya.
"Ya, ya. Terserah," pasrahku.
"Hahaha. Omong-omong, apa itu 'tuyul'?"
"Pfft." Aku menahan tawa.
"Itu adalah dirimu. Tuyul adalah makhluk yang sangat tampan sepertimu!"
"Ehm."
Apa ini?
Kukira dia akan membangga-banggakan dirinya dan semakin membuatku kesal.
Meski masih kecil, dari fisiknya pun menunjukkan bahwa ia merupakan bibit unggul. Hidungnya lumayan besar tapi mancung. Kulitnya putih mengkilap bagai porselen. Rambutnya yang halus hitam legam namun berkilau. Tak hanya itu, lesung di pipinya mempermanisnya ketika ia bergelak tawa.
Berbeda dengan raganya, jubah coklat yang melapisinya sudah lapuk. Jahitan dan tembelan bertengger di sana-sini. Kainnya pun lusuh seakan dipakai terus berkali-kali.
Apakah ia anak jalanan?
Siapapun dia, aku tertawa lepas karena dia menganggap tuyul itu benar-benar tampan. Ia bahkan nampak malu seakan-akan itu pujian baginya.
"Jadi ... siapa namamu?" tanyaku yang berkacak pinggang.
"Emm," gumamnya, menggaruk kulit kepala yang sepertinya tidak gatal.
Kali ini kuulurkan tanganku. Aku memutuskan untuk menggunakan nama asliku sebagai samaran.
"Aku Arsy. Siapa namamu?"
Bibirnya bergerak dengan suara yang sangat pelan.
"Apa? Aku tidak dengar!"
"Namaku Louis."
***