"Kata Ivory, Serena biasanya berada di gazebo. Tapi di gazebo mana dia?"
Sudah setengah jam lamanya kubuang waktuku di halaman belakang. Kuteliti setiap sudut halaman hingga ke semaknya. Kucari di tiap tempat yang terdapat beragam gazebo. Namun, tak ada satupun jejak darinya.
Terimakasih kepada Serena. Berkatnya, aku bisa menghafalkan rute dan spot pemandangan dengan alamiah.
"Apa dia bersembunyi lagi?" heranku sendiri. Kubenarkan lagi posisi tentengan tasku.
Kali ini hanya ada satu tempat yang belum kudatangi. Labirin.
Di halaman yang luas ini terdapat labirin yang lumayan suram. Para pelayan bilang, labirin itu merupakan tempat bekas penyiksaan para leluhur zaman dahulu. Mereka yang bersalah dihukum di tengah labirin. Tubuh mereka akan dipotong-potong dan dijadikan makanan anjing.
Adapula yang berkata kalau di situ adalah sarangnya para iblis. Rumornya, orang yang tersesat di sana akan dijadikan tumbal. Oleh karena itu, aku dilarang memasukinya.
Rumor yang konyol. Tentu saja aku mengerti bahwa mereka hanya menakut-nakutiku yang masih bocah. Sayangnya, aku tidak akan mudah diakali.
Jadi tanpa ragu, aku menerobos gerbang labirin. Kala kuamati, tidak ada sesuatu yang aneh. Kecuali, jalanan sempit yang bertabur remahan dedaunan kering. Itu wajar, karena sekarang ini, wilayah kekaisaran sedang memasuki musim gugur.
Sap Sap
Aku memicingkan mata, juga mempertajam indra pendengaran. Di dekat sini, sepertinya terdengar suara gesekan.
Kres kres
Dan suara langkah kaki yang semakin mendekat.
Ctak
Apa itu?
Jantungku berdegup cepat. Pergerakanku berbalik melambat. Keringat dingin bercucuran mulai dari dahi hingga telapak tangan. Aku mengepalkan tangan.
Saat sosok itu mendekat, refleks kusembunyikan tubuhku dibalik dinding. Dengan tegang, kututup mataku rapat-rapat.
"Haha, apa rumor konyol itu benar? Aku bersumpah tidak akan masuk ke sini lagi kalau aku bisa kembali hidup-hidup!" seruku dalam hati.
Syut
"Nona?"
"Aaak!" Aku tersentak sampai melompat otomatis. Kutenangkan terlebih dahulu otot jantungku yang menggebu-gebu. Setelahnya, aku menghembuskan napas, sedikit demi sedikit. Kala kuamati baik-baik, ternyata sosok itu adalah Rinka, seorang tukang kebun.
"Nona Senika, apa yang Anda lakukan di sini?" tanyanya, meletakkan garpu tala.
"Ah, i-itu, aku mencari Serena. D-dia dimana ya?" balasku terbata-bata.
Sepintas, sepasang matanya mendelik. Wajahnya pun memucat. Kemudian, ia memegangi pergelangan tanganku. "Nona, kembalilah! Nona Serena tidak ada!" himbaunya bebisik.
Aku mengerutkan kening sekaligus mengendikkan bahu. "Lalu dimana kalau tidak di sini?"
"Nanti dia akan berada di kamarnya. Mari saya antarkan ke jalan keluar!" ajaknya, mendekatkan tangan ke lenganku.
Aku menepis tangannya. "Nanti katamu? Apa maksudnya dengan 'nanti'?"
Mendadak, Nyonya bergaun cokelat itu resah. Ia pun menyisihkan rambut pendeknya ke belakang telinga. "E-em, biasanya nanti Nona akan berada di kamarnya."
"Tapi aku tidak pernah melihatnya saat berkunjung ke sana," bantahku.
Rinka menoleh ke kanan. Fokusnya sedang mengarah ke hal lain. Mungkin, ia sedang mencari alasan.
"Rinka, minggirlah! Aku mau masuk!" perintahku kemudian.
"Nona, ayo kembali saja!"
"Tidak!"
Ketika dia lengah, aku mencoba menerobos ke sisi kirinya.
"Nona!"
Rinka mengejarku yang sudah terlampau jauh. Aku terus berlari walau tak tahu kemana arahku tertuju.
Di ujung jalan, tepatnya di tengah-tengah labirin, ada sesuatu yang sedari tadi kucari. Sesosok makhluk mungil duduk di tengah gazebo taman. Ia mengenakan gaun kuning yang mengembang. Senyuman lebar mempermanis parasnya yang menengok ke belakang.
"Senika?" tanyanya, melebarkan kelopak matanya. Dengan tenang, Serena meletakkan cangkir teh yang digenggamnya.
***
"Sebenarnya kau kemana saja?" kataku, yang sudah duduk berhadapan dengannya.
"Hmm, aku sibuk bermain petak umpet. Hehehe," dia terkekeh, kemudian berlanjut menyisip tehnya yang tinggal separuh. Serena mencuri-curi pandang terhadapku.
"Tolong berhentilah bermain itu! Kalau aku terus yang jaga, aku bisa kelelahan," keluhku, mengipasi diri dengan kipas tangan.
"Baiklah. Mau main yang lain?" Serena menyeringai.
"Tentu saja. Kudengar, kau suka bermain boneka. Dimana bonekamu?"
"Hahaha. Oh itu ...." Ia memutar bola matanya.
"Sebelumnya, Lynn, bisakah kau tuangkan tehnya untuk adikku?"
Gemrisik remahan daun terdengar. Seorang pelayan rupawan menghampiri kami. Ia berpenampilan rapi mengenakan jas hitam. Senampan teko dan kue kering dibawanya bersamanya. Perlahan, ia menuangkan teh beraroma bunga ke dalam cangkirku. Dari dekat, aku bisa melihat collar anjing berwarna hitam melingkari lehernya.
"Lynn, bisa kau ke sini?"
Pria berkulit tan itu mendekati Serena. Serena memindainya dengan cermat. Sigap dengan dua jari saja, ia menarik paksa rantai yang bersembunyi di balik kemejanya.
"Serena, apa yang kau--"
"Lynn, apa kau tahu salahmu dimana?" nada Serena terdengar dingin, berkebalikan dengan senyumnya yang melebar.
"Saya bersalah, Nona."
"Aku tidak bertanya itu. Apa salahmu?"
Detik ini, Lynn menundukkan kepalanya karena tarikan kencang Serena. "S-saya menuangkan teh yang salah," akunya.
"Betul sekali! Kau menuangkan teh camomile, yang fungsinya membuat adik kembarku tertidur lagi. BUKANKAH BEGITU, HAH?!" Mendadak, Serena menjambak kasar rambut putihnya.
Aku bangkit dari tempat dudukku. "SERENA!"
Serena semakin mennjambaknya dengan brutal. Saking brutalnya, bisa-bisa kepalanya akan botak kalau diteruskan. "Kau mau Senika tidur lama lagi?!"
Lynn sekuat tenaga menggelengkan kepala.
Ujung bibir Serena naik ke atas."Senika, kau bilang kita mau bermain boneka kan?" tanya Serena di luar konteks.
"Ya, lebih baik kita bermain dan--"
"Lynn adalah salah satu koleksi bonekaku. Apa kau senang?" bangganya.
"Apa?"
"Bukankah ... seleramu adalah pria tampan?"
Mataku terbelalak. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Serena, kakak kembar yang sebaya dengan Senika barusan bilang apa?
Dan dia melakukan hal yang senekat ini terhadap pria yang jauh lebih tua?
Aku tak habis pikir. Memang benar Serena itu tokoh antagonis. Tapi aku tidak menyangka bahwa kebiasaannya sudah ada sejak dini. Di bagian novel aku hanya menyebutkan kalau ia mulai 'ringan tangan' sejak cemburu dengan Senika yang lebih disayang.
Baiklah, aku harus lebih berhati-hati. Sepertinya rencanaku tidak akan berjalan semulus itu. Kupikir yang dimaksud olehnya adalah boneka betulan. Tapi ternyata ....
"Hahaha. Kak, aku memang suka pria tampan. Tapi ... dia bukan seleraku. Kembalikan saja dia. Aku lebih suka minum teh bersamamu," tuturku, berusaha bersikap tenang.
"Ah, begitu. Kau dengar itu?" Serena membungkukkan punggung Lynn.
Plak Plak
Bruak
Serena menampar dan mendorong Lynn hingga ia terjungkal ke lantai. Aku sontak berteriak.
"Kau bukan seleranya. Seharusnya, kau tahu posisimu!"
Sabuk kulit hitam ia lepaskan dari celana Lynn.
Ctas Ctas
Lecutannya berbunyi begitu keras. Kegaduhan itu beriringan dengan rintihannya yang berulang-ulang. Makhluk itu disiksa dengan kejam. Siksaan yang lebih bengis dari siksaan seekor binatang.
Aku tak tahan lagi menyaksikan pemandangan ini. Air mataku menggenang, memenuhi pelupuk mataku. Rasa sakitnya menembus sampai dadaku.
"HENTIKAN!"
Syat
Aku memberanikan diri melindungi Lynn. Boneka kelinci yang kujadikan tameng robek, sampai-sampai, bulu burung yang mengisi perutnya berhamburan di udara. Memalukan memang, tapi boneka berbulu putih itu merupakan senjataku untuk mendekati Serena.
"Senika?"
Aku memelototi Serena, menyorotnya tajam. "Apa ini yang kau sebut dengan bermain?!"
"Ya. Bukankah mengasyikkan bermain dengan boneka yang merasa dirinya lebih tinggi?"
Tali kesabaranku terputus, terpotong oleh kata-katanya yang menyakitkan. Gadis kecil ini benar-benar membuat begidik. Parasnya memanglah manis, semanis Senika yang kuperankan ini. Keduanya adalah kembar identik yang sama cantiknya. Namun, karakter mereka berbanding terbalik sesuai narasi.
"Kau gila, Serena. Bagaimana bisa kau--- Lynn itu manusia, memiliki perasaan juga. Lynn bisa merasakan sakit. Berbeda dengan boneka ini. Bahkan sampai ia hancur beterbangan pun kelinci ini masih bisa tersenyum. Sekarang lihatlah dia!"
Serena melirik acuh terhadap Lynn yang terkapar kesakitan.
"Bukankah kau tahu dia bukan boneka?"
***