Gedubrak
Aku bisa merasakan betapa sakitnya tulang rusukku kala terhempas ke tanah. Tiada satupun dari anggota tubuhku yang mampu bergerak.
Dengan sejuta usaha, kubuka sedikit kelopak mataku. Dari atas sana, nampak lelaki itu sedang menggenggam sesuatu, seperti benda kecil yang memantulkan sinar. Ia menatapku tenang tanpa ada maksud untuk menolongku.
Orang itu memang sengaja membunuhku!
Jadi, apakah hidupku hanya akan berakhir seperti ini?
Pandanganku mengabur, kemudian memutih.
Setidaknya ... aku tidak bunuh diri.
Dan aku pun tidak mengingat apapun lagi.
Selang waktu entah berapa lama, kilat yang menyilaukan mengganggu tidurku. Saat cahayanya menghilang, ruang hampa lah tempatku berada.
"Hah? Kenapa aku tiba-tiba berdiri?"
Aku tidak begitu tahu ini dimana. Yang jelas, tidak ada apa-apa yang bisa dinikmati. Hanya ada ruang putih dan kabut emas yang menghalangi pandangan.
"Hei, kau!"
Sepenggal panggilan menggema dari seluruh penjuru. Aku yang tidak mengerti bergeming selama beberapa waktu.
Siapa itu?
"Kau telah mendapatkan kesempatan sekali lagi. Maka dari itu, pergunakanlah dengan baik."
Apa katanya?
"Ada takdir yang bisa dirubah dan ada yang sudah mutlak."
"Kau hanya bisa mengubah apa yang bisa kau ubah."
Wosshh
Tempat itu memudar, bersusulan dengan sang angin yang menghembus. Mendadak, aku berada di tengah padang rumput yang luas. Jauh di depan sana, ada sesosok bayangan di tepi telaga. Ia kemudian menghadapku.
"Sayang, kita bertemu lagi."
Tampilannya buram, begitu pula ekspresinya. Namun, sosoknya yang berpijak terlihat mengenakan jubah putih semata kaki. Dari nadanya yang menenangkan, ia terdengar begitu damai.
"Kuharap, kau bisa memilih dan hidup bahagia."
"Baiklah, itu saja. Sampai jumpa!"
***
"Aaah!"
Saat mataku membuka, aku berada dalam posisi duduk.
"Hah ... hah."
Napasku tesengal-sengal. Seluruh tubuhku gemetaran. Selapis baju yang kukenakan terasa basah, menandakan aku banyak berkeringat.
"Mimpi?"
Aku mengedarkan pandangan. Kelambu putih tipis terpasang satu set dengan ranjangku. Wallpaper krem khas vintage menghiasi dinding dengan sempurna. Di atas meja bergaya klasik, terdapat deretan ornamen ala Eropa yang berkelas.
"Dimana ini?"
Ceklak
Pintu terbuka. Seseorang masuk melalui celahnya.
"Nona?"
Dengan linglung, kutatap dirinya yang mematung. Wanita itu membekap mulutnya yang menganga lebar. Dari raut wajahnya, ia melihatku seperti melihat hantu. Kami ibarat tokoh dalam serial drama India--- yang adegan berpandangannya saja tidak selesai-selesai.
"Hm?"
"Aaah, se-sebentar!"
Secepat kilat, wanita berseragam pelayan itu pergi setelah membanting pintu.
Cekluk
Pintu tertutup.
"Apa sih?"
Dap Dap Dap
Dentuman sepatu pantofel terdengar dari luar. Bunyi itu beradu keras dengan lantai berbahan dasar marmer.
Ceklak
Kembali, pintu di sisi ruangan terbuka.
" .... "
Kini berganti, seorang lelaki dewasa berkemeja hitam-putih tiba di mulut pintu. Tangannya yang berkerut menggenggam kenopnya kuat-kuat. Ekspresinya yang terperangah agak menakutkan dengan janggut dan kumis tipis. Meski begitu, dirinya nampak maskulin dan menarik.
Mengerti gelagatnya, aku yang tak berkutik bertanya-tanya siapa orang ini.
"Senika, kau .... " gumamnya, menyambarku dengan pelukan kaku.
Aku yang merasa risih tetap membisu dengan kebingungan.
"Siapa sih, paman ini?!'" Aku membatin.
Orang mana yang tidak merasa geli dengan paman asing yang tiba-tiba saja memeluknya?
Aku jadi berasumsi yang tidak-tidak.
Apa jangan-jangan ... aku diculik?
Tidak-tidak. Bisa jadi dia lah yang menyelamatkanku.
Dan tunggu, apa dia baru saja memanggilku "Senika"?
"Senika?"
"Ya, Senika. Ini Ayah." Ia membalasnya, sehabis melepaskan pelukan itu.
"A-ayah?"
Seumur hidupku aku tidak pernah punya ayah. Seingatku, label yatim-piatu sudah menjadi identitasku sejak kecil dulu.
"Iya. Hah, kau tidak ingat?"
Ia pun menoleh ke arah pria berkacamata di belakangnya. Postur sang pria berkacamata tegap, walaupun perawakannya bungkuk. Ia mengenakan setelan jas yang mirip dengan kostum butler.
"Rick, cepat panggilkan dokter!"
"Baik, Your Grace," jawabnya.
Tanpa komentar, mataku mengikutinya yang bergegas meninggalkan ruangan. Setelahnya, pandanganku beralih, kembali ke seorang pria yang dipanggilnya "Your Grace".
"Butuh sesuatu?" tanyanya.
"Emm, tidak." Aku meremas selimut putih di tanganku.
Ia yang sudah paham menyandarkan dirinya ke kursi. Ia menyilangkan kaki jenjangnya, juga mengendurkan lipatan kerutan di wajahnya. Sehabis menghembuskan nafas lega, ia berkata, "Akhirnya kau sadar juga setelah hampir empat tahun."
"Huh? Empat tahun?!"
Ceklak
"Ayah!"
"Ya."
"Ada apa ini?"
Seorang gadis kecil yang baru saja kemari mengamati dengan seksama. Pupil mata birunya mengecil. Wajahnya yang terlukis manis memiliki pipi tembam yang mengembang. Kulitnya bersih seputih susu. Ia tampil mengenakan gaun tidur renda biru yang sewarna dengan rambutnya.
Bila dibandingkan, keduanya agak mirip. Mereka sama-sama memiliki warna rambut biru, berkulit putih, dan berhidung mancung.
"Senika!"
Jariku digenggam oleh si Gadis Kecil.
"Bagaimana ... keadaanmu?"
" ... baik?"
Malangnya, anak ini memasang mimik sedih yang dramatis. "Adikku, selama ini kamu tidur terus. Gara gara aku ...."
Sebentar.
Situasi macam apa ini?
Aku dilanda kebingungan. Mulai dari tempat apa, siapa orang-orang ini, apa yang terjadi padaku--aku tidak tahu apapun. Sungguh, kapasitas otakku yang kecil ini tidak muat bila dimasuki oleh segudang pertanyaan.
"Gahh, tunggu! Hei, aku bukan adikmu, oke? Dan maaf, Paman, AKU BUKAN ANAKMU!" pekikku keras.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Haish, aku bingung dengan semua ini. KALIAN SIAPA?! INI DIMANA?! DAN KENAPA KALIAN MEMANGGILKU ̶ "
Saat aku melirik, keduanya terbengong-bengong melihat reaksiku. Dengan ekspresi bodohnya, mereka membatu selama beberapa detik.
"Senika, kau sedang berada di kamarmu sendiri. Apa yang sedang kau katakan?" tanya si Pria balik.
"Aaaakh!" Aku mengacak-acak rambutku, sebal menyaksikan sikap tenangnya.
"Daritadi mereka memanggilku Senika, Senika, Senika. Aku kesal, namaku bukan Senika!" Emosiku meledak di dalam hati.
Aku sangat bersyukur bahwasannya diriku masih dapat bertahan hidup. Terimakasih. Tapi mereka terus saja salah paham terhadapku. Ingin kujelaskan segala kesalahpahaman ini sampai ke akar-akarnya. Namun, kelelahan sudah terlebih dahulu menguasaiku. Aku sedang tidak ingin berdebat dengan siapapun.
"Maaf, tolong bisakah tinggalkan aku sendiri?"
Sang pria berambut biru termangu, lalu ia menghela nafas. "Baiklah. Dokter akan segera kemari. Jadi, jangan kemana-mana!"
Ia bangun dari tempatnya duduk dan berbalik. Lantas, Gadis Kecil tadi mengintilnya seperti anak bebek. Langkah mereka bertahap menjauhiku.
Bam
"Hash, apa yang barusan itu?"
Aku memegangi pelipisku. Baru saja seluruh energiku seperti terkuras habis. Rasanya penat.
"Sebenarnya apa yang terjadi?"
Kupikir-pikir, ini aneh. Aku seolah dikenali sepenuhnya sebagai orang lain.
"Senika?"
Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.
Apa ya?
Tunggu, jangan bilang ....
Saat ini, aku yang telah meninggalkan tempat tidurku menatap sebuah cermin oval. Di kaca cermin, bukan diriku sebagai wanita dewasa yang terpantul di sana. Namun, terbayang sesosok gadis imut bergaun putih yang serupa dengan Gadis Kecil tadi.
Wajah mungil khas victorian ini.
Rambut biru gelap ini.
Mata biru laut ini.
Jangan bilang ....
"Senika Chester?"
***