Chereads / Setahun / Chapter 26 - 26. Chapter 26: Drama Menjelang Pernikahan

Chapter 26 - 26. Chapter 26: Drama Menjelang Pernikahan

Suara gaduh itu disponsori oleh Hana yang sedang membongkar gudang kediaman mewahnya. Membuka semua boks lama dan berkutat pada debu yang sejatinya tak terlalu banyak. Sebab, gudang tersebut tampak rapi dan ber-AC.

Hhh.. Hembusan napasnya menyeruak. Gurat wajahnya menggambarkan betapa frutrasi ia dalam melakukan aktifitasnya. Tapi, ia tak ingin menyerah sampai waktu terus memangkas dan akhirnya menemukan sebuah album foto usang.

"Ketemu!"

Hatchih! Ia bersin-bersin bahkan setelah membuka benda tersebut.

Sebuah album SMA tahun 2005. Ia memebukanya satu persatu. Dari foto bersama satu angkatan, hingga foto perorangan. Keningnya mulai mengkerut. Alisnya menyatu. Ia bahkan belum menemukan sosok Lynn.

"Namanya siapa, sih? Lynn?" kemudian ia sempat memastikan lewat undangan yang pernah diberikan Mama Maryam padanya, "Ah~ Fathima Lynne."

"Hana!"

Sang Ibu mengampiri di ambang pintu sambil melipat kedua tangan di depan dada yang tak mendapat respon berarti darinya.

"Kamu ngapain sih malah bongkar-bongkar gudang! Apa kamu nggak punya rencana lain untuk merebut Ale?!"

Napas Hana melena begitu berat, "Tinggal berapa hari lagi, Ma? Ini dadakan banget. Aku juga nggak tau! Kenapa Mama nggak bilang kalau Ale udah punya calon?"

"Mama juga nggak tau!"

"Ya, udah. Sama-sama nggak tau, kan?! Lagian Mama nyuruh aku kuliah jauh amat. Kelepasan, kan!"

Mama Dewanti melotot, "Kamu nyalahin Mama?"

"Tau, ah!"

"Asal kamu tau, Mama sekolahin kamu di Turki bukan tanpa alasan. Kamu tau, kan?"

Masih tak mau mmepedulikannya, Hana tetap menjawab, "Tau. Mama mau aku bisa jadi istri sholehah idaman Tante Maryam."

"Nah!"

Hana memutar bola matanya jengah, "Percuma, kan? Idaman Ale justru nggak berhijab!"

"Makanya kamu tunjukkin dong kalau kamu sholehah!"

"Ma!" Hana bangkit dari persembunyiannya dari balik tumpukan boks, "Udah telat! Gara-gara kuliah di Turki, aku jadi nggak bisa dekatin Lynn!"

"Masih ada waktu kalau kamu nggak nyerah! Mama butuh kekuatan Ale. Kamu tau grafik bisnis Mama---"

"Cukup, Ma!" Hana sudah lelah, "Yang ada di pikiran Mama tuh uang, uang, uang terus! Apa Mama nggak bisa liat kalau aku dekatin Ale bukan karena uang!"

Mama menahan jengkel. Berusaha menetralkan emosi, "Okey.. Kalau gitu kita liat aja seberapa bisa perasaan busukmu itu bisa bertahan lama!" tutupnya memberikan ancaman dan melenggang pergi.

Wajah Hana mengeras. Emosinya tertahan penuh. Sedang mencari ketumpahannya. Antara kesal melihat Ale bersama Lynn dan juga desakan Ibunya yang menekan. Tangan Hana ikut mengepal keras selaras dengan emosi yang sampai saat ini masih tersadar.

Ddrrt...

Suara getaran ponselnya yang ada di atas boks itu mampu mengalihkan emosi itu. Hana meraihnya dan mengusap satu pesan terbaru.

From: Vania

Lynn itu anak IPS. Dia terkenal, loh

^^^

Pagi itu Ale tampak santai. Meski terkesan sederhana, kenyataannya jika ditotal pakaian yang dikenakan pagi itu membuat dompet menjerit. Kaus berwarna hitam bukan sembarangan. Itu milik merek kenamaan Christian Dior. Lalu celana training dari Zara berwarna abu. Juga sepatu Puma.

Wajahnya menawan. Entah pagi, siang, sore ataupun malam. Bahkan mandi atau tidak, Ale sangat tampan dan menyegarkan mata. Ia hendak mengunjungi apartemennya yang lama tak disambangi. Sebab, ia sudah berencana tinggal disana bersama Lynn nantinya.

"Kamu mau kemana? Mau nge-gym masa serapi itu?" terka Mama.

Ale segera bangkit setelah mengikat tali sepatu. Tersenyum sangat manis, "Mau ke apart, Ma. Nanti kalau ada tata letak yang perlu diganti atau perlu nambah barang."

"Ceilah!" Mama menggoda anaknya. Ale langsung salah tingkah dibuatnya, "Tapi kan Mama sudah bilang, kalian tinggal di penthouse aja. Lebih besar, lebih nyaman pasti."

"Ale kan juga udah bilang, nanti jauh dari Mama. Nanti kalau Lynn mau pindah setelah itu, baru kita pindah. Nggak apa-apa, kan, Ma. Emang Mama mau jauh-jauh sama Ale."

Kalimat bernada sedikit protes dari putra sematawayangnya itu membuat luluh. Dan membiarkan Ale memilih opsi yang dia mau.

^^^

Alih-alih memarkikran mobil di kawasan apartemen yang biasanya berada di bawah, mobil sedan mewah pabrikan Eropa milik Ale justru terparkir di sebuah tempat yang penuh cahaya matahari pagi.

Meski begitu, seusai kegiatan ini, Ale akan benar-benar mengunjungi apartemennya.

Ale keluar dari mobil dengan topi dan kaca mata hitam. Berjalan cukup jauh sendirian dinatara banyaknya pepohonan kamboja yang mengelilingi.

"Pa.. Ale datang lagi."

Ia memposisikan tubuhnya setengah duduk di samping pusara Sang Ayah. Melepas kaca mata dan terus menatapnya dalam balutan haru. Membiarkan detik-detik berlalu sembari mengingat memorinya dengan pria hangat itu.

"Pa.. Ale mau nikahin perempuan yang waktu itu datang kemari. Lynn." Ale membasahi bibir bawahnya sejenak, "Tapi Ale takut kalau nggak berumur panjang. Takut nggak bisa bertanggung jawab atas seluruh hidupnya. Jadi, Ale mengontrak Lynn untuk setahun."

Pria itu menertawai kebodohannya, "Ale egois, ya, Pa?"

"Ale udah nggak bisa apa-apa. Bahkan Ale bisa menyusul Papa lebih cepat. Tapi, Ale pengen banget bisa hidup bersama satu orang yang memang sudah mengubah banyak hidup Ale. Itu Lynn, Pa." Lanjutnya masih seolah sedang bercerita.

"Setelah Ale terdiagnosa penyakit yang sama, Lynn dengan polosnya menebar-nebar kebahagiaan. Lucunya, waktunya tepat banget." Ale menatap langit biru sejenak dan pepohonan rimbun disana, "Akan lebih baik lagi jika Ale berumur panjang dan bisa terus membersamai Lynn." Lalu kembali beralih ke pusara, "—tapi Ale nggak berharap. Mau apa lagi? Ale sudah semakin lemah."

Tanpa sadar, air matanya menetes, "Harapan Ale Cuma satu. Supaya Mama sehat. Ada ataupun tidak adanya Ale lagi."

"Kadang Ale berpikir.. apa sebanding harta yang Lynn mau dengan pengorbanan Lynn untuk mendampingi sisa hidup Ale?" ucap Ale bergetar, "—tapi Ale pengen hidup, setidaknya sekali saja. Tenang bersama orang yang Ale cintai tanpa ada keresahan, tanpa menyusahkan Mama. Dan Ale berjanji, akan tetap memperlakukan Lynn dengan baik. Mencintainya dengan tulus walaupun entah Lynn sadar atau enggak."

Ale menahan air matanya. Dada ikut sesak dan nyeri, "Ternyata hidup itu cuma sebentar banget, ya, Pa."

"Semoga Papa selalu dilindungi disana, ya." tambahnya

^^^

Hari ini Lynn akan membantu keluarganya untuk memindahkan ayam-ayam ke tempat yang baru. Dengan cuma-cuma, Mama Maryam memberikan lahan luas untuk peternakan di Puncak. Pun bisnis pemotongan Ayam juga ada di samping peternakan.

Meksi begitu, ayam potong di pasar Bojong Gede tetaplah akan eksis dibawah tangan dingin Afkar.

Lynn mengikat rambutnya yang pendek itu di depan cermin. Lalu tercenung beberapa saat. Mencoba beberapa pose. Mulai dari tersenyum tipis dan menampilkan gigi rapinya. Lalu menyipit sambil mengambil beberapa hipotesa.

"Kok gue jadi agak mirip Ale, sih?"

Ia berkedip berulang kali untuk mengalihkan pikiran liarnya dan mencoba beberapa pose.

"Iya. Kalau lagi senyum tipis anggun, mirip."

"Namanya juga jodoh!"

Lynn tersentak saat Naufal masuk ke kamarnya. "Apaan, sih."

Adik pertamanya itu mengambil satu sapu tangan yang ada di meja rias milik Lynn, "Tapi sekelebat doang! Jangan kepedean lo!"

"Ih! Gue juga nggak ngarep."

Naufal semakin menggoda sang kakak, "Amalan apa yang kamu perbuat sehingga bisa mendapatkan konglomerat sempurna, wahai Kakakku?!"

"Bodo!" Lynn mendorong adiknya sampai terjatuh ke lantai dan meringis kesakitan.

"Neng!"

Suara Ibu kalau berteriak benar-benar memecah gengdang telinga. Lynn langsung berlari cepat.

"Apa, Ibu?"

"Itu ada temen lo."

Lynn sempat mencari jalan keluar. Sebab, boks berisikan ayam-ayam itu menghalangi jalannya. Namun, ia hanya mendengar suara perempuan yang mengeluh dengan bulu-bulu ayam yang beterbangan. Bahkan aroma kotorannya juga menggelitik.

"Aduh-aduh.. wlek. Oh My God!"

"Hana?" kaget Lynn tak pecaya.

Uhukk.. uhukk.. Hana terbatuk-batuk hampir menjeluak.

"Makanya jangan kemari. Gila lo!" gertak Lynn langsung menarik tangan Hana dan membawanya ke taman kota.

Lynn memperhatikan Hana yang sedang membasuh tangan-tangan lentiknya itu dengan tisu basah sambil menggerutu, lalu ditambah cairan antiseptik dan juga krim tangan. Ah, parfum tak ketinggalan. Keduanya duduk di bangku kayu.

"Lagian ngapain sih lo kemari?!" heran Lynn.

"Gue mau kenalan sama lo. Ternyata kita teman SMA."

Lynn memutar bola matanya jengah, "Nggak!"

"Hah?!" kaget Hana.

"Kita satu sekolah, tapi bukan teman." tegas Lynn.

"Kalau gitu sekarang kita temanan."

"Aissh!" Keluh Lynn, "Lo ngapain, sih? Gue sibuk!"

"Ayam itu mau dibawa kemana? Mau banget, tau! Apa Ale tau kalau lo bau ayam?"

Lynn menahan amarahnya dan langsung bengakit dari bangku yang ternyata tak seimbang. Sehingga membuat Hana terjungkal. Dan berteriak kesakitan. Sementara Lynn diam-diam menahan tawa. Pasalnya, ia juga tidak tau jika bangku kayu itu tak seimbang.

"Aduhh~ sakit! Lynn!" teriaknya. "Bantuin gue, dong!"

Lynn mendengus kasar, "How can i do? Tangan gue yang bau ayam ini harus memastikan ayam-ayam gue tetap sehat dan tidak terkontaminasi bahan-bahan kimia yang ada di badan lo."

Ia melambaikan tangan dan senyum tipis. Memutar badan dan berakhir meninggalkan Hana yang masih bersahabat dengan tanah merah taman kota. Ia tidak ingin menanggapi apapun dari perempuan yang sejak awal sudah membuatnya jengah. Menghabiskan waktu dan tenaga.

"Lynn!" rengeknya kesal.