"Saya terima nikah dan kawinnya, Fathima Lynne binti Haris dengan mas kawin dan seperangkat alat sholat dibayar, tunai!"
Suara lantang dan tegas dari Ale bahkan sampai membuat Lynn yang menunggu di sebuah ruangan khusus itu bergetar. Benarkah? Ini pernikahan sungguhan? Ah, tidak. Entah sungguhan taua tidak, setahun kemudian akan berakhir.
"Bagaimana, saksi?, sah?"
"SAH!"
"Bagaimana para hadirin?"
Dalam satu tarikan napas, Ale Omar pun sukses mengucapkan lafal ijab kabul saat tangannya tengah bersalaman dengan ayah kandung Lynn di hadapannya. Hal itu langsung disambut para hadirin dengan kata 'sah'.
"Alhamdulillah."
Seketika air mata Ale meluncur dengan cepat. Semua perasaan yang abstrak telah terkumpul menjadi satu dan sedang mencari ketumpahannya. Semuanya. Mulai dari takut, grogi, bahagia. Dan pada saat untaian doa dipimpin oleh salah seorang ustadz, Ale tak sekuat tenaga menahan lagi tangis harunya. Sampai-sampai dadanya begitu sesak.
Setelah doa usai, Ale sudah tak lagi bisa menahan. Tangisnya pecah. Ia sampai malu dan menutup matanya dengan tangan. Itu langsung membuat Ayah Lynn langsung memeluk menantu pertamanya itu.
Bahkan tamu undangan semua ikut merasakan suasana haru. Tak terkecuali Mama Maryam dan Ibu Olin. Tak ketinggalan juga, ada Hana yang diam-diam justru merasa terbawa suasana—meskipun sebenarnya ia merasakan sakit hati yang teramat.
Semua mata sedang tertuju pada mempelai pria yang masih menangis. Air matanya terus bercucuran meskipun berusaha keras menahan.
Ada banyak sekali rasa-rasa yang sedang menumpuk dalam hati Ale. Ia senang bisa menikahi gadis yang diam-diam dicintainya sejak lama. Namun, ia juga takut bahwa waktu berjalan begitu cepat dan harus berakhir meninggalkan Lynn. Lagi, ia juga merasa bersalah karena terlalu egois, menikahi Lynn dengan mengesampingkan perasaannya.
Lantas bayang-bayang masa lalu saat Ale masih di Amerika membuat alurnya tersendiri. Kala itu Ale sedang melanjutkan studi sarjana sekaligus diam-diam berobat di salah satu rumah sakit terbaik untuk kanker.
Ale baru saja keluar dari kawasan rumah sakit tersebut setelah menjalani beberapa perwatan dan sempat tidak masuk kelas. Namun, takdir mempertemukannya dengan Bila—teman sekelasnya.
"Ale!"
"O-oh?" Ale kaget bukan main. Sebab, tak ada satupun yang tau jika dirinya sedang menjalani perawatan kesehatan. "L-lo ngapain disini?" tanyanya canggung.
"Kebetulan lewat. Lo yang ngapain di depan rumah sakit?"
Detik itu juga, Ale baru sadar jika posisinya berdiri saat ini tepat di depan pintu utama rumah sakit. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, "Uhmm.. lewat?"
Bila tertawa, "Karena kita ketemu disini, jadi, dong, nonton bioskop?"
Ale juga baru sadar jika dirinya sempat memberikan penolakan atas tawaran dari Bila untuk menonton bioskop bersama lantaran ada perawatan dan ingin beristirahat. Tapi, karena keadaanya seperti ini, akhirnya Ale tak punya pilihan.
Seharian penuh pria itu menemani segala kebutuhan Bila. Mulai dari nonton bioskop, belanja dan makan-makan. Lagi, Ale juga mendnegar banyak keluhan gadis itu.
"Sumpah gue capek banget. Lo mah enak nggak usah kerja part-time... Mana gue ngelakuin kesalahan. Diomelin, deh. Nilai juga turun. Mana begitu tiap hari. Capek banget jadi orang pas-pasan."
Mendengar banyak keluhan darinya, Ale berpikir dalam hatinya, 'Apa lo masih berpikir seperti itu saat hidup lo berada diambang kematian?'
Ale merasakan perbedaan kontras dengan banyaknya seluruh perempuan yang ditemuinya dengan Lynn. Baginya, kaum Hawa di luar sana sama. Mereka selalu mengeluh dengan hal-hal receh. Memaki nasib. Dan menilai segala sesuatu dengan materi, alih-alih mencari hal yang lebih positif, seperti Lynn.
Ya, Lynn adalah gadis sederhana yang tak banyak bicara hal receh. Ia hanya langsung bertindak dan bisa memaknai hal-hal receh tersebut. Bahkan meski nilainya buruk dan mendapatkan banyak sekali cobaan, ia cukup menenangkan diri di atas pohon dan terdiam menikmati anugerah semesta yang akhirnya juga membuat Ale ikut merasakan dampak baik dari hal tersebut.
Ale jadi tidak lagi terlalu memikirkan penyakitnya begitu dalam dan kembali bersekolah dengan senang hati.
Saat itu juga, Ale memohon pada Allah untuk kembali dipertemukan dengan Lynn. Jika memang bukan dia, setidaknya seseorang yang tak jauh berbeda.
Dan doa itu terkabul.
"Pengantin perempuan dipersilakan masuk."
Kalimat pewara acara akad nikah itu mengalihkan bayangan Ale. Pria berbalut setelan jas berwarna coklat keemasan mewah itu langsung berusaha menyeka sisa-sisa air mata, hingga peregangan wajah agar tak tampak bengkak di depan Lynn.
Alunan biola yang syahdu mengiringi langkah Lynn yang datang didampingi sahabatnya.
Dunia Ale berubah seperti mode slow motion dalam sebuah video. Ia terpana melihat kecantikan luar biasa Lynn dalam balutan hijab datang menghampirinya. Auranya mampu menggelitik jantung Ale yang kini sedang berdebar tak keruan.
Lynn sempat melirik Ale sebelum duduk untuk mengisi beberapa data dan tanda tangan yang diperlukan.
"Lo nangis?" kaget Lynn tak bersuara, namun gerakan mulutnya mampu dibaca oleh Ale yang seketika menepis. Menggeleng dengan kencang.
"Alhamdulillah. Sekarang, sebagai istri, Mbak Lynn bisa mencium tangan suaminya."
Tamu undangan langsung heboh. Sebab, mereka semua tau jika Lynn dan Ale memang tak berpacaran sebelumnya. Tak pernah ada kontak fisik tertentu.
Lynn tersenyum canggung dan menatap Ale sekilas yang tak kalah canggungnya. Lalu, meraihnya dengan mencium punggung punggung tangannya perlahan. Tangan yang bertautan itu membuat keduanya saling merasakan bahwa mereka sama-sama berkeringat dingin karena sangat grogi.
Khmm... Lynn berdeham untuk memecah hawa yang canggung yang cukup menyesakkan di antara mereka.
"Ciumnya mana?" Mama Maryam sangat usil menggoda mereka.
Sontak saja, kedua mempelai itu tersentak bukan main. Saling memandang penuh kejut. Rasanya ingin berlari dari situasi yang tak biasa.
"Cium kening, cium kening! Masa nunggu disuruh." Pihak pewara justru semakin ikut kompor yang membuat para tamu juga semakin bersorak.
Ale hanya bisa memandangi tamu undangan sembari tertawa canggung. Garing sekali. Tapi, ia tak punya pilihan. Seolah terjebak dalam labirin yang entah dimana ujungnya. Lantas memegang kedua bahu Lynn. Bersiap melakukan sesuatu.
Namun mendadak dibuat merinding saat berhasil membidik satu tatapan belati Lynn. Bibir atasnya sudah menukik. Memberikan ancaman yang mengerikan. Sebab, telah tertulis di kontak bahwa mereka tidak boleh saling memberikan sentuhan berarti. Wah, Ale semakin frsutrasi. Pelu mengalir di sela keningnya.
"Cium! Cium!"
Ale mendadak pening dengan gagasan mereka. Ia menenangkan diri sejenak.
"Eyy! Kan nggak perlu di depan umum." Lynn mengeluarkan berbagai dalih.
"Ah, biasa. Pengantin baru mah malu-malu." tawa Ibu ikut mengompori. Ralat, Lynn menyebutnya kompor meleduk.
Tanpa diduga, dua tangan mengangkup wajah Lynn. Mengarahkannya ke posisi yang tepat dan memberikan satu kecupan lembut di atas keningnya dalam waktu yang cukup lama. Menyisakan detik-detik yang sunyi.
Lynn kalah. Ia tak berontak. Justru merasakan degup jantungnya yang berdetak tak keruan. Perasaannya tak terkendali. Ia seolah berada di atmosfer yang berbeda. Dan merasakan setetes air mata mengalir di hidungnya.
Itu bukan air matanya.
Air mata Ale.
Lagi-lagi Lynn tak bisa bereaksi. Ia membeku saat mengetahui bahwa pria itu menangis. Sebuah tangisan haru adalah yang terjadi dalam akad nikah yang biasa Lynn temui. Mungkinkah....? Ale terharu?
Lynn langsung mendongak. Menatap manik-manik hitam dari bola mata Ale yang sedang dipenuhi cairan being pada pelupuknya sembari menyinggang sebuah senyuman teduh. Itu semakin membuat Lynn tak berdaya. Perlahan dan sangat hati-hati, tangannya bergerak untuk mengusap air mata Ale.
Kemudian Lynn menyentuh jemari yang terdapat air mata tersebut.
"Inikah air mata ketulusan?" tanya Lynn dalam hati.