Akad nikah berangsung lancar dan penuh haru biru. Lelehan air mata dari pengantin pria semakin membuat tamu undangan terbawa suasana. Begitu juga dengan pihak keluarga masing-masing mempelai.
Kini Lynn dan Ale berpindah tempat menuju ruang respesi yang lebih luas dan besar. Berbeda dengan konsep lamaran dan akad yang sederhana, respesi lebih mewah dan elegan.
Mulanya Lynn ingin menggunakan gaun serupa dengan akad, namun mengingat status sosial keluarga Ale yang cukup terpandang, Lynn harus menyesuaikan. Oleh karenanya desainer kenamaan lain membuat gaunnya memiliki gaya awal tahun 80-an yang mengembang dan agak berat. Sebab, dewasa ini, gaya vintage seolah kembali ke permukaan.
Namun, gaunnya tidak akan menyapu lantai. Lynn tidak suka gaun yang panjang. Hanya sederhana saja. Lengan panjang mengembang berwarna putih tulang. Rambut pendeknya juga tergerai dengan gelombang dan hiasan sederhana, tetapi terlihat mewah dan anggun. Serta Ale yang mengenakan Jaz gold lembut.
Dengan terpaksa, Lynn melingkarkan tangannya di lengan Ale. Melewati aisle atau jalan setapak diantara para tamu undangan yang didominasi keluarga dan beberapa teman, juga petinggi perusahaan.
Sesekali Lynn memandangi Ale yang terlihat sangat bahagia. Senyumnya merekah lebar melambaikan tangan pada para tamu dan mengunci tangan Lynn erat. Itu membuat pikiran tersendiri dalam otak Lynn.
"Wah.. ini auditorium gede banget!" seru Lynn saat sudah berada di atas pelaminan. Memandangi para tamu undangan yang begitu banyak dan tempat yang luas.
"Berasa jadi tuan putri kan, lo."
Lynn hanya mengernyit sinis, "Awas, ya. Urusan kening gue belum kelar!" lalu, membunyikan sendi-sendi jemarinya.
Ale meneguk salivanya kasar dan terkekeh garing, "Terpaksa, Lynn. Lo ngak liat keadaan!"
"Ngeles aja lo jadi orang!"
Ssst.. Ale memberikan peringatan. Mengarahkan jari telunjuknya ke bibir agar Lynn tak usah banyak bicara, "Liat! Acara udah dimulai!"
Lynn menggoyang-goyangkan kedua bahunya. Mengejek gaya bicara Ale.
Tanpa mereka sadari, ada Mama dan Ibu yang kompak tertawa melihat kelakuan anak-anak mereka di atas pelaminan.
"Nikah sama teman tuh lucu, ya." kata Ibu.
"Aku juga gitu." Mama terkekeh membayangkan hal serupa, "Tom And Jerry. Lucu banget."
^^^
Baik Lynn dan Ale memang tak banyak memiliki teman. Rata-rata tamu undangan memang dari pihak orang tua mereka. Selama acara, mereka terus meladeni sesi perfotoan yang diikuti oleh beberapa kloter.
"Lynn!"
Mata Lynn berbinar saat melihat sahabatnya, Fira datang bersama suami. Seketika mereka langsung berpelukan seolah lama sekali tak berjumpa.
"Yaa Allah.. gue nggak nyangka lo akhirnya bisa berdiri disini." Celoteh Fira menangkup wajah Lynn, "Baik-baik, ya, lo. Gue berharap lo bisa menemukan kebahagiaan yang lebih setelah menikah."
Sambil menahan haru, Lynn mengangguk-angguk. Ia tak bisa banyak berkata-kata, karena air mata ingin meluncur bebas. Lynn harus menahannya. Ia tak mau semua itu merusak riasan. Pun Ale sempat merasa tak tahan melihat ekspresi istrinya yang aneh saat sedih.
"Ale.. gue tandain lo!" erang Fira mengejutkan Ale yang kini sedang menatap Fira dan istrinya secara bergantian. Mereka sama saja. Sama-sama aneh. "Jaga Lynn baik-baik. Dia aneh tapi baik. Bahagiain dia. Hargai dia walaupun dia bukan dari keluarga terpandang kaya lo!" lanjut Fira lagi.
Sejatinya Ale cukup tersentak mendengar ultimatum bernada ancaman dari sabahat Lynn itu. Tapi, ia sudah berjanji pada hidupnya yang sisa setahun lagi untuk membuat Lynn bahagia. Memberikan apa yang Lynn mau, sebagai ganti dari segala keegoisan yang dilakukannya.
"Pasti! Gue bakal buat Lynn bahagia!" tegasnya terdengar sangat yakin.
Mata Lynn diam-diam menatap Ale penuh. Mata yang penuh haru. Nyaris luluh. Atau mungkin saja hati kecilnya sudah luluh dan ingin menerima pernikahan ini dari dalam hatinya. Sebab, Ale selalu membuat hatinya berdesir.
Setiap tamu bergilir untuk pengambilan gambar menjadi momen transisi dimana Lynn harus kembali sadar dan tak banyak melamunka perasaannya yang sudah tak berbentuk karena cara-cara Ale yang seolah menggambarkan ketulusan itu.
Dan Lynn mulai teringat, ia sama sekali belum membidik seraut wajah manis yang selalu dipujanya sejak remaja. Kemana perginya Fannan? Apa dia benar-benar marah dan tak datang? Lynn sedang berusaha keras mengoperasikan tatapan elangnya.
"Selamat, ya, Ale!"
Suara itu mengalihkan pencarian Lynn. Sebuah nada yang terdengar tak ikhlas dan terpaksa. Apalagi saat menemukan wajah menor Hana. Itu membuatnya memutar bola mata. Jengah.
"Makasih, ya, Han." Ale menyalami Hana.
Mata malas Lynn mendadak beriak. Melotot besar sekali saat mendapati Hana bersalaman dengan suaminya. Tangan mereka saling bertaut. Lebih parahnya lagi, saat Ale hendak menarik diri, Hana seolah menahannya.
Khhmm.. Lynn berdeham. Kepalanya sudah sangat panas melihat kelakukan Hana. Apalagi perempuan itu berhijab. Rasanya tidak selaras dengan perilakunya.
Hana mendadak mengusap keningnya untuk menghilangkan suasana mencekam. Padahal ia hanya ingin menyalami pujaan hatinya untuk terakhir kali. Pada akhirnya, Hana hendak mengerahkan tangan untuk setidaknya bersalaman dengan mempelai perempuan. Namun, Lynn menyembuynikan tangannya.
Ale tercengang, "Uhmm?"
"Ah~ tangan gue bau ayam. Kulit Hana nggak bisa kena bau-bau kaya gitu." jelas Lynn menyentakkan perempuan bergaya glamour itu.
Ale menatap kedua perempuan itu secara bergantian, "Kata siapa bini gue bau ayam?"
"A-ah—"
Baru saja Hana hendak memberikan klarifikasi, Lynn sudah lebih dahulu merengek pada sang suami, "Masa dia datang ke rumah, trus bilang 'apa Ale tau lo bau ayam?' sakit hati Aku, sayang." Kemudian merangkul suaminya manja.
Alih-alih terpancing emosi, Ale justru sedang sibuk menahan tawa. Sudut bibirnya berkedut, namun berusaha untuk memasang pembelaan, "Lo bilang gitu ke istri gue?"
"Ng-nggak.. nggak gitu. M-maksud gue--" Hana mendadak kehilangan kalimatnya dan itu membuat kekesalannya menguap dan berakhir meninggalkan pelaminan sambil mendecakkan kakinya.
Saat itu juga, Lynn melepaskan tangannya dari Ale dan menggerutu sambil mehana amarahnya pada Hana. Rahangnya tampak mengeras.
"Hana beneran bilang gitu?"
Lynn menatap suaminya tajam, "Lo nggak percaya sama gue?"
"G-gue cuma mau memastikan!"
"Dia cewek gatel! Lo nggak ngerasa?"
Ale berusaha tenang, "Gue tau. Tapi gue menjaga hubungan baik orang tua aja. Tapi kalau dia berani gangguin istri gue, ya gue nggak akan diam."
"Bagus! Kenapa nggak dari kemarin?"
"Kan kemarin lo belum jadi istri gue."
Lynn terkekeh kesal, "Awas kalau janji-janji lo nggak ditepati!"
"Iya, janji!"
Acara resepsi yang berakhir menjelang maghrib itu membuat Lynn merasa bosan dan lelah. Ia yang masih mengenakan gaun mewah itu ke luar. Melihat-lihat pemandangan pegunungan Bogor dari balik balkon hotel yang memiliki arsitektur Eropa klasik layakanya sebuah kastil.
Lynn menarik napasnya begitu dalam sembari memejam dan menghempaskannya perlahan. Senyum tipis itu terukir cantik di wajahnya. Setidaknya dengan menghirup udara pegunungan bisa membuatnya lebih tenang.
Percayalah, acara pernikahan yang panjang itu sangat melelahkan. Apalagi Lynn yang tak terbiasa berdandan dan mengenakan gaun, harus melakukan bongkar pasang.
Ia mengedarkan pandangannya ke rerumputan hijau nan asri dari halaman hotel serta langit yang mulai berubah menjadi jingga.
"Udah lama gue nggak meditasi begini," ungkap Lynn sambil berpegangan pada railing balkon yang kokoh, "Seenggaknya gue harus mengisi energi sebelum menghadapi entah kehidupan apa. Gila, gue udah mengorbankah hidup gue demi keluarga." Lantas menertawai dirinya sendiri.
Tak lama. Mendadak tawanya terhenti saat satu pandangan mendadak terfokus pada dua orang di bawah sana. Lynn menyipit untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya tidaklah salah.
"Hana?" kagetnya. Lalu mendekat. Sedikit turun dari tangga balkon.
Hana tampak marah di hadapan ibunya sendiri. Keningnya berkerut tegang. Pun begitu dengan sang ibu. Mereka saling berdebat. Lynn masih memperhatikan mereka dari kejauhan.
"Kenapa?" Ale tiba-tiba datang.
Ssst.. Lynn memberi isyarat agar tak bersuara. Sontak Ale hanya bisa mengikuti arah mata istrinya itu memandang dan saat itu juga ia merasa ada yang tak beres. Dan satu pandangan berhasil mengejutkan keduanya.
Hana membuka kerudung yang selama ini menutup auratnya.
"Hah?!"
"Ini ada apa?" Ale syok.
"Mana gue tau!"
Kedua pasangan suami-istri itu masih terus memperhatikan sampai akhirnya Hana yang berjalan menuju parkiran itu tersadar akan mata-mata tersebut. Trediam sejenak masih tersulut amarah dan langsung pergi begitu saja.
"Apa Hana suka berantem sama Ibunya?" Lynn penasaran.
Ale menggeleng, "Percaya, deh.. gue nggak sedekat itu sama dia. Gue juga nggak tau."
"Mas Ale ada telepon."
Pak Adi datang menghampiri bersamaan juga dengan datangnya Mbak Santi.
"Kenapa, Mbak Santi?" tanya Hana.
"Ini ada ojol yang kirim hadiah buat Mbak Lynn." Ia memberikan satu kotak pada Lynn dan langsung melenggang pergi.
Sebuah kotak yang terikat pita. Lynn langsung menarik satu sudut pita tersbeut dan membuka isi kotak hadiah yang membuat mata teduhnya itu beriak. Mulutnya terbuka lebar. Tangannya bergetar. Sebuah medali emas Asian Games.