Tangan Bu Dewanti melingkar erat di pergelangan putrinya dan melepaskan secara kasar saat mereka sudah dipastikan hanya berdua di taman hotel. Bibirnya berwarna merah. Wajahnya penuh amarah.
"Akh." Hana memegangi pergelangan tangannya yang memerah.
"Kamu gimana, sih?! Mama bilang kalau kamu datang ke pernikahan ini, hentikan semuanya!" pekiknya. Sesekali memeriksa keadaan.
Hana memegangi keningnya yang berdenyut, "Hentikan gimana? Mama nggak liat! Ale setulus itu sama Lynn. Dia bercucuran air mata, apa Mama nggak liat?!"
"Terus.. sebelumnya katanya kamu datangi Lynn."
"Ma.. Mama nggak tau, sih! Lynn itu keras! Dia kuat! Mama jangan pikirkan kalau dia hanya perempuan miskin yang lemah, yang bisa diatur!" Hana ngotot, meluapkan semua yang dilalui untuk menghentikan pernikahan mereka, "Kalau Mama masih mikirin itu.. Mama salah! Lynn itu kuat! Aku yang kalah!"
Mama Dewanti terkekeh seolah meremehkan putrinya, "Lihat! Itulah cara kerja perasaan!"
Kata-kata itu begitu menyelekit. Hana menyipit, "Apa?"
"Perasaan bodohmu itu bikin sesat! Coba kamu ikutin cara-cara yang udah Mama kasih tau, kamu bisa berpikir rasional!"
Hana menarik satu napas berat, "Perasaan dan uang nggak ada bedanya, Ma! Semua membutakan!" Ia meneguk salivanya kasar sebelum melanjutkan kalimatnya, "Lagi, sampai kapan Mama mau mandi uang? Sampai kapan Mama mengatur-atur hidup Hana?!"
"Kamu mulai kurang ajar, ya!" Rahang Mama Dewanti mengeras, "Uang itu segalanya! Kamu harus ambil Ale untuk masa depan kita! Mau hidup pakai apa kalau nggak pakai uang!"
"Cukup!" teriak Hana. Dadanya tampak naik turun tak keruan. "Hana capek, Ma! Selama ini Hana nurut Mama karena Hana anak Mama yang harus menghormati orang tua. Tapi, Hana juga punya jalan pikir lain. Hana nggak mau terus-terusan terpengaruhi."
"Lihat itu! Anak durhaka!" celetuk Mama Dewanti penuh emosi.
Bersama rahang yang mengeras dan air mata yang mulai bercucuran, Hana membuka pashmina yang selama lima tahun sudah menutup kepalanya. Seketika Mama Dewanti kaget bukan main. Ia bahkan tak bisa berkata-kata.
Hana menggenggam pashmina itu, "Mulai sekarang, Hana akan hidup dengan standar hidup Hana sendiri. Hana akan pakai hijab jika hati sudah benar-benar ikhlas, bukan untuk menjadi orang lain atas kendali Mama hanya demi memikat hati Tante Maryam dan Ale!"
Mama Dewanti masih tak bisa mencerna situasi. Tubuhnya bergetar. Hanya bisa terpaku di tempat, sementara Hana berlalu pergi tak lagi.
^^^
Di sebuah ruangan ganti, Lynn yang sudah berganti baju santai masih terpaku menatap sebuah medali emas dalam genggamannya. Ia benar-benar tidak ingat jika pagelaran olahraga itu bertepatan dengan hari pernikahannya.
22 Agustus 2023
'Beberapa bulan lagi kan ada Asean Games, kamu tau aku maju untuk itu, kan? Insyaa Allah, aku akan dapatkan medali emas itu untuk kamu. Kamu pengen, kan? Bahkan kamu sangat berambisi untuk ikut kejuaran Internasional. Tapi, kamu belum sempat mencapai itu semua. Aku pengen mempersembahkan satu untuk kamu. Jadi, aku mau berusaha lebih keras!'
Lynn memejamkan matanya setelah mengingat betul bait demi bait kalimat yang Fannan sematkan. Sebuah janji yang pada akhirnya ditepati. Menikmati detik-detik begitu sunyi, namun semakin terasa pedih saat kembali menatap medali berharga itu.
Cairan bening menetes lambat dari mata Lynn. Hatinya ngilu. Tak menyangka bilamana Fannan benar-benar melakukan semua yang terbaik dalam pagelaran itu.
"Kenapa harus sekarang?" Lynn bertanya-tanya dengan nada bergetar sambil terus menatap medali tersebut, "Atau.. kenapa harus ditepati dalam keadaan seperti ini?"
Lynn mendongak demi menahan air mata agar tak meluncur lagi. Kemudian mengambil ponsel dan membuka artikel yang sedang banyak dibicarakan dalam dunia olahraga.
'Ashraf Fannan berhasil menyumbang kembali medali emas untuk kontingen pnecak silat Indonesia dalam ajang Asian Games'
"Aishh!" Lynn berdecak kesal, "Lo kenapa kaya gini, sih, A?!"
"Kenapa?"
Dengan tergesa berbalut panik, Lynn langsung memasukkan medali dan ponselnya ke dalam tote bag. Lalu menyilakan rambut ke belakang telinga untuk memecah canggung. Segera berdiri menyambut suami dan ibu mertuanya.
"Iya, Ma?"
"Kamu kenapa tadi ngomong sendiri?"
"Biasa dia suka aneh." celetuk Ale yang secara tak sengaja membantu Lynn dalam situasi mendesak.
Perempuan itu hanya tertawa-tawa canggung. Lalu berusaha mencari celah, "Ayo, kita balik!"
"Balik kemana?" Mama menahan yang dihadiahi kening Lynn yang mengerut, "Kalian kan pengantin baru. Udah ada kamar spesial untuk malam ini." goda Mama membuat wajah kedua anaknya itu memerah.
"Di lantai lima udah khusus buat kalian. Mau ngapain aja boleh," lanjutnya menoleh ke arloji di pergelangan tangan, "Ah, nanti jam 7 malam waktunya makan malam. Ada dinner spesial buat kalian di balkon. Biar merasakan rasanya jadi Prince and Pincess of Wales ala-ala. Gimana? Bangunanya udah mendukung macam Istana Balmoral, kan?"
Lynn dan Ale hanya saling bersitatap sambil tersenyum kaku.
"Mama tunggu cucunya!" Mama mengedipkan sebelah mata sambil mencolek perut Lynn dan langsung berbalik pergi sambil tertawa bahagia.
Secara reflek, Lynn langsung memegangi perutnya dengan tatapan kosong. Anatar sadar dan tak sadar. Ia belum bisa mencerna situasi bahwa kini ia adalah istri dari Ale Omar.
"Sekarang gue paham kenapa Mama bisa klop banget sama lo. Sama-sama aneh." Ale menggaruk kepalanya. Lalu tercengang mendapati Lynn yang mengusap perutnya.
Sadar akan tatapan itu, Lynn langsung berdeham memecah suasana canggung. Mengalihkan tangan-tangannya dari perut yang justru berakhir menggaruk-garuk lubang hidungnya yang tak gatal. Entah kenapa tempat refleknya harus disana.
Khmm.. Ale ikut berdeham, "Kalau gitu.. M-mau naik?"
Lynn panik, "Lo! Wah... gue belum kasih pembalasan ciuman lo di kening gue! Mau merusak kontrak yang udah ditulis?"
Ale mendelik, "Lo ngapain, sih? Naik ke atas buat makan!"
"A-ah~" Lynn kembali salah tingkah. Memaki dirinya sendiri yang terkesan punya pikiran jauh.
"Lo udah solat, kan?" tanya Ale memastikan yang hanya disambut anggukan samar Lynn yang masih malu, "Ayo, bentar lagi jam 7. Kita makan sambil liat-liat pemadangan."
^^^
Suasana di balkon hotel itu tampak sangat romantis. Dekorasi berbunga menggelantung di setiap sisi. Lampu-lampu juga terpasang rapi. Bahkan taman di bawah malam itu tampak bersinar indah. Udara pegunungan puncak yang teduh itu membuat suasana menjadi semakin syahdu.
Teduh, penuh kedamaian.
Sepanjang mata memandang, hamparan hijau rerumputan taman hingga pepohonan pinus di kejauhan sana memanjakan mata. Malam tak mengerikan. Ditambah lagi ada alunan musik biola dari seorang violin.
"Makasih." kata Lynn dan Ale komak saat hidangan malam mereka datang.
Alih-alih segera mengiris daging steak, Lynn justru memandangi pisau dalam genggamannya sembari terdiam cukup lama. Itu mengingat Lynn yang sudah lama tak memegang pisau untuk mengiris daging ayam.
"Makan!" titah Ale. Mulutnya sibuk mencecap makanan.
Srekk!
Mata teduh Ale mendadak beriak saat mendapati ujung pisau itu berada tepat di hadapannya. Mendadak mematung. Sendi-sendi kehilangan fungsi mereka. Masih ada sisa makanan yang belum dihancurkan oleh gigi-giginya.
"L-lynn?"
"Gue penasaran. Ngapian waktu akad lo nangis?"
Ale mengangkat tangan, lalu berusaha selembut mungkin bersuara, "Turunin dulu, ya, pisaunya."
Lynn langsung menurunkannya. Itu cukup membuat Ale merasa sangat lega. Seolah baru saja menyelesaikan permainan roller coaster yang menantang nyali.
Lynn tampak sedang mengiris daging dan menyantapnya sambil kembali mengulang pertanyaannya, "Kenapa?"
"Terharu." jawabnya tanpa ragu. Kembali melanjutkan aktifitas makannya.
"Kenapa harus terharu? Lagian kita juga akan pisah. Menjalani kehidupan maisng-masing setelah setahun."
"Gue udang bilang, kan, meskipun hanya satu tahun, gue tetap membuat pernikahan ini seperti sungguhan."
Lynn meletakkan piranti makannya, "Ale,"
"Uhmm?"
"Jujur.. gue nggak ngerti sama apa yang kita lakuin. Kadang gue merasa bersalah sama diri gue sendiri. Kadang gue pengen mencoba untuk pengen anggap pernikahan ini sebuah kenyataan, tapi.." Lynn mendadak nyaris kehilangan kata-katanya, sebelum kembali melanjutkan lagi, "—tapi, gue takut kalau udah menerima, ternyata kita harus berpisah."
Lynn terkekeh, "—dan setelah pisah.. gue nggak punya bayangan tentang masa depan gue. Kadang gue juga mikir, apa keputusan gue ini salah? Terlalu berani mengorbankan semuanya demi perekonomian keluarga. Itu konyol."
Sejak Lynn bertukas, Ale sudah menghentikan aktifitas makannya. Menyimak dengan baik segala isi hati Lynn.
"Trus.. apa yang lo mau? Maksud gue, harapan lo yang sebenarya."
Lynn menggeleng, "Nggak tau."
Ale menatap lekat-lekat mata lentik Lynn yang sederhana itu. Sebuah tatapan penuh ketulusan sekaligus rasa bersalah yang cukup dalam.
"Sebenarnya gue juga nggak tau tujuan gue apa. Gue Cuma mau liat Mama senang kalau gue nikah."
"Pada akhirnya kita emang nggak punya tujuan." Lynn menghempaskan napasnya pasrah. Lalu menatap langit yang bertabur bintang-bintang.
"Bukankah kita sama?"
Lynn menoleh. Mengerutkan kening. Butuh penjelasan.
"Persamaan kita akan ketiadaan tujuan itu lah yang akhirnya membuat kita akan tumbuh bersama. Setidaknya untuk setahun kedepan." Ale merekahkan senyuman terbaiknya.
Meski masih tak bisa mendapatkan jawab atas keresahannya dalam pilihan hidup, tatapan mata pria itu selalu membuat Lynn tenang. Manik-maniknya juga selalu memancarkan ketulusan. Mereka saling bersitatap di bawah sinar rembulan malam. Dibawah kesiur angin malam bersama melodi biola yang memainkan lagu romantis legendaris dari grup vokal asal Irlandia, Westlife.