Cklek.
Ale yang berbalutkan kaus hitam polos serta celana kolor tartan pendek itu keluar dari kamar. Hidung mancungnya bergerak mengendus aroma-aroma menggelitik yang ternyata disponsori oleh asap dari dapur.
"Allahu Akbar!"
Pria itu membelalak bukan main dan langsung berlari menuju dapur apartemennya. Mematikan kompor yang terdapat sebuah pan. Ale membalikkan telur dan menemukan warna hitam pekat berkerak di sisi lainnya.
"Astaghfirullah!" Ale mengelus dada.
"Waa!"
Lynn keluar dari kamar mandi kepanikan dan langsung lega saat Ale sudah mematikan kompornya. Rasanya seolah baru saja menyelesaikan permainan pemacu adrenalin.
"Aduuh.. lemes!" Lynn berpegangan dinding.
"Lo ngapain, sih? Masak-masak sendiri, ditinggal pula!" omel Ale tak kalah panik.
Lynn mendekat. Mencoba memeriksa telur dadarnya, "Tadi niatnya gue mau buat sarapan buat kita. Trus gue sakit perut. Gue tinggal aja bentaran. Taunya emang lagi mules banget."
"Lo kan bisa panggil gue!"
"Nggak kepikiran!"
Ale menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Mau mengomel lebih pajang juga tak ada gunanya saat berhadapan dengan perempuan keras kepala dan aneh itu.
Mata Lynn mengerjap saat menyaksikan telur dadar hasil karyanya menghitam di sisi yang lain, "Yaa Allah! Gosong banget."
"Udah buat lagi aja." kata Ale sambil menyeduh kopi, "Lo mau kopi apa teh?"
"Teh, aja." jawab Lynn sambil kembali mengambil telur dari lemari pendingin.
Kedua pasangan suami-itri tu sedang bekerja sama menyambut pagi. Ale membuat minuman hangat di pagi hari, sedangkan Lynn kembali melanjutkan perjuangannya membuat telur dadar.
Ale menata piring di meja beserta minuman yang sudah dibuatnya tadi ke balkon apartemen. Mendadak tercengang saat menhirup aroma sedap. Hanya telur dada? Tapi kenapa aromanya segila ini? Dan yang lebih membuatnya tak percaya adalah, benarkah Lynn bisa membuat makanan yang enak.
Percobaan pertama memang karena adanya kesalahan yang tak bisa dihindari oleh Lynn. Kendati demikian, Ale tak mau banyak berharap di hasil masakan Lynn yang kedua ini.
"Nih, jadi, kan?" Dengan sombognya, Lynn langsung meletakkan telur dadar di masing-masing piring yang sudah disiapkan suainya tadi.
"Terima kasih, istriku!" ucap Ale sangat manis yang langsung membuat Lynn bergidik ngeri.
"Kita Cuma setahun, apa pantas lo manggil gue kaya begitu?"
Ale tergelak kecil. Tak mau membahas dan memilih untuk mencicipi telur dadar yang tadinya sempat gosong itu. Perlahan-lahan ia memasukkan satu potongan ke mulut. Astaga! Lumer, telur dadar gurih ini menyatu dengan lidahnya.
Alih-alih menatap Ale dengan cemas penuh harapan, Lynn justru memandangi suaminya sambil melahan makanannya. Gurat rona wajah Lynn juga seolah sedang membanggakan dirinya sendiri.
"Uhmm? Waah!" Ale mngerjap.
"Apaan, sih, Lo! Nggak banget!" ejek Lynn saat suaminya sedang memberikan reaksi berlebih.
Ale tampak mengunyah dengan sangat nikmat, lalu ditambah nasi hangat yang asapnya masih mengepul di udara. Menikmati betul inci demi inci telur yang kini sedang terulak-alik di dalam mulutnya. Meleleh disana.
"Kok bisa, sih?" Ale masih sulit mempercayai.
Lynn mengerutkan keningnya sembari menghentikan aktifitas makan, "Kok bisa, apa?"
"Kok bisa seenak ini?"
Seketika tawa Lynn memecah. Ia memperbaiki posisi duduknya bak seorang Ratu berbalut piyama sambil menyeruput teh hangat.
Ale meneguk salivanya kasar, "Kayanya salah, deh, gue. Harusnya nggak muji-muji."
"Gue ini serba bisa. Jadi, jangan ada yang remehin tukang potong ayam kaya gue." Lynn menaikkan satu sudut alisnya.
Jika sudah membanggakan diri seperti ini, Lynn tampak sangat menyebalkan. Rasa-rasanya Ale harus banyak memupuk kesabaran dan memilih untuk mengangguk-angguk. Kemudian menghabiskan makannya dengan lahap. Sebab, telur dadar buatan Lynn memang juara—Bahkan Mama tak pernah membuat yang seenak ini.
"Lynn."
"Uhmm?" balas Lynn sambil mengunyah suapan terakhir menu sarapannya.
"Apa kita perlu buat rumah pohon?" tanya Ale memastikan sambil memandangi pepohonan rimbun di taman apartemen.
Lynn menoleh. Ikut memandangi objek yang sama, "Gue tau ini gedung punya lo. Kawasan ini punya lo. Tapi, apa enak dilihat kalau bikin rumah pohon di tengah-tengah kawasan tinggal gini?"
"Beli rumah," tandas kemudian menatap Lynn, "Biar kita bisa santai-santai lagi di atas pohon. Kaya dulu."
"Gue jompo!"
"Makanya gue pengen rumah pohon. Biar nangkringnya enak. Trus nanti dikasih tangga, biar kita nggak perlu capek-capek naik."
Lynn mengangguk-angguk seadanya, "Terserah. Duit-duit, Lo."
"Kita sewakan unit ini, kita cari rumah yang adem ada pohonnya. Sekalian cari rumah buat Ayah-Ibu."
"Ayah-Ibu udah dapat dari Mama. Dikasih tanah kosong buat memperluas ternak. Sampingnya ada vila, surat-suratanya lagi diurus. Untuk ganti kepemilikan jadi punya orang tua gue," jelas Lynn terheran-heran, "Orang kaya yang bener tuh kaya gini. Gemar berbagi." tawa Lynn.
"Harta kan juga tanggung jawab di akhirat. Gimana? Lo mau nggak? Itu vila dan lain-lain kan dari nyokap gue. Bukan dari gue."
"Nanti mubahadzir gimana? Banyak banget."
"Disewa-sewain, dong!"
"Oh, iya." Lynn baru sadar, "Ya, udah.. nggak apa-apa. Gue mah ngikut aja."
Mata tenang Lynn mendadak beriak. Mulutnya menganga lebar. Lalu segera menutupnya. Ia tercekat saat baru saja memeriksa ponselnya. Mendapati sebuah notifikasi saldo yang masuk ke rekening dari Ale Omar.
"Ale!"
Ale hanya menanggapi santai sambil menyeruput kopi memandangi pepohonan taman apartemen.
"Ini baru permulaan kenapa lo udah kasi sebanyak ini?" Lynn menunjukkan riwayat pemasukannya sejumlah seratus juta rupiah. "Apa lo nggak kasih lagi nantinya?"
"Anggap aja itu DP. Lo udah bikin nyokap gue senang dengan pernikahan ini." terang Ale.
Lynn tak kuasa menahan senyumnya. Pipi mulai merona. Bibirnya berkedut. Ingin terus-terusan tersenyum saat pertama kali mendapatkan angka yang cukup fantastis di rekeningnya.
"Makasih, Ale." ungkap Lynn tersipu. Wajahnya sangat menggemaskan.
Cih! Ale berdecak sambil menatan tawa, "Gitu, doang?" tanyanya seolah ada pengharapan lain yang dibalas kerutan kening oleh Lynn.
"Sini, dong!" Ale menunjuk ke arah pipinya.
"Wooo!" Lynn cepat tanggap. Ia memperotes. Mendorong kaki Ale di bawah kolong meja. "Jangan mentang-mentang gue nggak bales pas akad nikah itu, Lo justru seenaknya! Apa perlu gue cincang? Hah?!" Hardikanya. "Lo nggak ingat kontrak kita?"
"Kalau waktu akad itu emang karena keadaan. Kalau sekarang kan gue minta izin dulu," Ale mengeluarkan segala macam bentuk alibinya, "Anggap aja take and give. Biar adil."
Selama Ale bercerocos, Lynn hanya memutar bola matanya malas sambil melipat kedua tangan di depan dada.
"Atau... Lo nggak mau disini," Ale menyentuh satu pipinya sendiri dengan satu jari, kemudian berpindah ke bibir, "—atau disini."
"Woi!" gertak Lynn sampai terdengar suara nyaring akibat piring dan sendok di atas meja yang saling bergesekan. Ale bahkan sampai memegangi dadanya karena terkejut.
Pada akhirnya perempuan berambut sebahu itu memejam untuk menetralkan pikiran dan emosinya yang saling bertempur. Menarik napas perlahan dan mengembuskannya agak kencang. Hhhh.. Lalu membuka mata dan menggerakkan jemarinya sebagai sebuah isyarat agar Ale mendekat.
Ale lantas bersemangat.
"Mau dimana?" bisik Lynn saat wajah keduanya saling condong berdekatan dan disambut jari telunjuk Ale yang mengarah ke bibir dan langsung memejamkan mata.
Perlahan, Lynn semakin mendekatkan diri pada Ale. Semakin dekat dan semakin dekat. Ale bahkan merasakan debaran tersendiri yang mengguncang jantungnya.
"Makan, tuh!"
"Akh!"
Brukk!
Alih-alih mencium suaminya, Lynn justru mendorong wajah Ale sampai ia tak terkendali dan terjatuh ke lantai dan berakhir meringis kesakitan.
"Gila! Kalau lo mau menerobos salah satu kontrak yang gue buat, berarti gue juga boleh mengingkari satu diantara kontrak yang lo tulis!"