Chereads / Setahun / Chapter 32 - 32. Chapter 32: Persiapan Bulan Madu

Chapter 32 - 32. Chapter 32: Persiapan Bulan Madu

Sakit hati.

Satu kata yang sedang dirasakan betul oleh Fannan. Rasanya menyiksa, meski tak dapat dilihat oleh kasat mata. Jantungya terus berdenyut tak keruan. Pikiran mengembara antah berantah. Bukannya belum ikhlas. Ia hanya sedang dilema.

Benarkah Lynn dan Ale hanya menikah untuk satu tahun kedepan? Bahkan pertanyaan itu yang menggangu hidupnya belakangan ini. Dan dalam pikiran yang terganggu, ia berusaha untuk fokus untuk mencapai segala harap. Tetapi, membaca surat dari Ale dan melihat pernikahan keduanya tempo hari membuatnya semakin bingung.

Ale tampak tulus. Apa mungkin hanya akan menikah kontrak?

Jadi, sekarang yang dirasakan Fannan memang abstrak. Andai ia tak menemukan selembar kontrak yang tak jelas itu, mungkin dirinya berusaha semaksimal mungkin untuk melepas dengan ikhlas.

Fannan butuh penjelasan.

Jauh-jauh ia datang ke Jakarta. Marion Hotel—sebuah hotel bintang lima yang identik dengan bangunan-bangunan klasik Eropa-Modern—tempat Ale bekerja. Buru-buru keluar dari mobil dan menemui bagian penerimaan tamu.

"Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" sambut salah satu petugas resepsionis.

"Ah~ saya mau bertemu Pak Ale bisa?"

"Oh. Mas-nya sudah punya janji?" mereka memastikan.

Fannan menggeleng pelan, "Belum."

"Kebetulan Pak Ale lagi cuti pernikahan."

Fannan mengangguk, menampilkan mimik terkejut karena baru sadar akan situasi, "Kalau gitu, kapan cutinya selesai?"

"Pak Ale dijadwalkan akan pergi bulan madu dengan istrinya ke luar kota. Kira-kira beliau ambil cuti selama seminggu."

"B-bulan madu?" Fannan memastikan.

"Iya, Mas."

Rasanya Fannan masih tidak ingin mempercayai bahwa mereka benar-benar sudah menjadi pasangan suami-istri.

"Kalau boleh tau, ke luar kota mana, ya?" Entah dorongan mana yang membuat Fannan begitu penasaran.

"Ke---"

^^^

"Bali?"

Lynn mengerjap saat Ale memberikan tiket pesawat padanya. Bahkan perempuan itu sampai menghentikan aktifitas makan seblaknya.

"Uhmm." sahut Ale mengambil segelas air mineral dan diletakkannya di depan sang istri, "Minum air putih yang banyak. Makan seblak mulu dari kemarin! Nggak sehat, tau!"

Lynn hanya mengerucutkan bibirnya sambil menggerutu memandangi Ale yang kembali ke luar kamar, "Besok banget ke Bali-nya?"

"Iya!" lantas Ale berdiri di ambang pintu, "Makanya jangan banyak makan-makanan kaya gitu."

"Iya, iya."

"Gue serius, loh!"

"Iya! Gue juga jawabnya serius!" balas Lynn penuh penekanan.

"Lo dari kemarin pesan seblak mana merah banget kuahnya. Kalau sering-sering--"

"Iya!" sentak Lynn.

Ale memberikan tatapan mengintimidasi, "Gue ini suami lo, loh. Nggak boleh marah-marah. Masa suaminya dimarahin, ditendang. Nih, masih sakit pinggang gue!" keluhnya.

"Iya, maaf, suamiku. Aku juga nggak akan makan seblak lagi. Kalau nggak ingat." kata Lynn penuh keterpaksaan yang memicu gelak tawa Ale, "Puas?!" tegas perempuan itu lagi.

Ale menampilkan senyuman innocent, "Makanya, kamu nurut-nurut sama suami. Makanan kaya gitu tuh ngundang penyakit. Aku mau istriku berumur panjang."

Alih-alih segera merespon, Lynn terus melekatkan tatapan belati pada Ale sambil menahan amarah yang ingin meluap, "Apa gue harus nurut sama lo?"

Lynn menopang kaki kanan di atas kaki kirinya sambil bersedekap, "Apa para istri yang akhirnya menjanda itu akan tetap menurut dengan suaminya, kalau pada akhirnya mereka diceraikan?"

Pria tampan yang memiliki sorot menawan itu seolah tertampar dengan kata-kata Lynn. Tercenung sejenak sambil terus menatap mata mungil sang istri. Pikirannya mengembara. Tak tentu arah. Hatinya membisik banyak kata yang membuatnya hanya berakhir terus menatap Lynn.

"Lo nggak beresin barang?"

Sebuah pertanyaan yang sejatinya tak ingin ditanyakan oleh Ale yang langsung berbalik ke arah ruang tengah.

Lynn tercengang, lalu terkekeh kecil, "Dia nggak butuh jawaban?" perempuan tersebut bangkit dari kursi dan mengejar Ale. Berdri di ambang pintu kamar, "Dalam rangka apa kita ke Bali?"

"Bulan madu." jawab Ale singkat sambil berkutat pada laptop.

"What?!" jerit Lynn.

Ale langsung menutup telinganya, "Apa harus teriak juga?"

"Ya, lo pikir aja.. apa perlu kita acara honey moon?!"

Ale menghentikan aktifitasnya, "Perlu! Nanti orang tua kita nanyain. Masa kita nggak kemana-mana!"

"Anggap aja ini liburan juga buat lo. Nggak pernah ke Bali juga, kan?"

Tampak hidung Lynn yang sedang mengembang-mengempis membuat pernapasan yang bagus, "Iya, emang. Tapi---" mendadak ia kehilangan kata-katanya saat kedua mata mereka saling bertatap dari kejauhan. "Tau, ah!"

Lynn lantas memilih untuk mempersiapkan barang-barangnya yang akan dibawa ke Bali dari pada harus terus bercerocos di depan suaminya untuk memperotes segala-galanya. Mulai dari mengambil koper dan baju-baju yang akan dikenakan disana.

"Karena lima hari di Bali..." Lynn mengulum bibir sejenak sebelum memilih potongan baju, "Ah! dress ini cucok banget buat mantai."

"Trus sunscreen gue ada di tas."

Namun, satu pandangan membuat fokusnya terpecah saat membuka tasnya. Menemukan kotak berisikan medali emas pemberian Fannan. Ia tercenung memandanginya begitu lekat. Masih ada sesuatu yang mengganjal.

Kenapa Fannan hanya menitipkan medali itu tanpa kata-kata? Bahkan tanpa ucapan selamat menempuh hidup baru baginya sang pengantin? Apa sebegitu kecewa pria manis itu padanya? Ataukah sebesar itu perasaannya yang terpendam?

Sejak kejadian tinju-meninju yang dilayangkan Fannan pada Ale tempo hari, Lynn benar-benar tidak pernah menghubungi Fannan. Begitu juga dengan sebaliknya.

Rasa haru juga masih menyelimuti Lynn bahwa Fannan tak mengingkari janji. Menyadari fakta bahwa Lynn pernah memendam rasa pada pria bertanggung jawab seperti Fannan.

Ya, pernah. Entah engapa untuk saat ini yang ada hanyalah rasa haru dan tidak enak karena sudah membuatnya kecewa. Hati Lynn benar-benar abstrak.

"Aku harus ketemu A Fannan." Lynn meyakinkan diri, "Apa aku pantas untuk mendapatkan medali ini?"

"Uhmm.. mungkin kalau Ale sudah masuk kantor dan beraktifitas, Gue bisa ketemu A Fannan." Sambungnya lagi, lalu mengembalikan medali tersebut ke tempat semula.

Lynn berkacak pinggang memandangi seluruh barang-barang yang sebagian sudah ditata di dalam koper dan sebagian lagi masih di luar. Menyadari satu hal.

"Punya Ale mana?"

Lynn keluar kamar, "Le baju lo mana yang mau dibaw---" kalimatnya terhenti saat melihat Ale meringkuk di sofa panjang dengan layar laptop yang menyala.

Lynn mengembuskan satu napas pelan, lalu mendekat ke arah sang suami. Sempat tercenung di depan laptop. Ia menerka, "Panti Al-Hikmah?"

Itu semakin membuat Lynn penasaran. Tampak sebuah tabel berisikan semacam pemasukan dan pengeluaran uang. Lalu di sampingnya ada tablet yang berisikan catatan yang serupa—hanya saja lebih berantakan karena ditulis langsung dengan perantara stylush. Dan juga ada beberapa buku tabungan di sampingnya.

"Dia mengelola yayasan juga kali." celetuk Lynn, lalu segera menyimpan file penting tersebut dan mematikan berbagai gawai yang ada.

Lynn tak langsung beranjak begitu saja, ia seolah terbius oleh posisi Ale yang tertidur. Lantas mengambilkan selimut dan membentangkannya.

"Bisa aja gue gendong lo, tapi gue nggak mau lo bangun." kata Lynn lantas berjongkok di depan Ale yang terpejam.

Entah dorongan dari mana yang membuat perempuan pemilik bulu mata lentik alami itu untuk terus memandangi suaminya. Semakin lama dan semakin lekat cara pandangnya. Terbukti mata indah dan teduh milik Ale memang membius. Entah dalam keadaan terpejam atau terbuka.

Kedua sudut bibir Lynn perlahan terangkat tanpa sadar. Membuat senyuman tipis yang mengandung makna cukup dalam. Matanya berbinar.

"Waktu benar-benar berputar cepat. Tiba-tiba ketemu Ale lagi, tiba-tiba jadi istri kontraknya." ucap Lynn sambil mengulas memori dan tertawa kecil. "Lo keren tau!" ia terbayang momen dimana Ale menjadi satu-satunya orang yang berdiri di depan Lynn saat hendak dikeluarkan dari sekolah.

Perlahan tangan mungil Lynn mengarah pada pelipis Ale. Memberikan usapan lembut. pun senyumnya tak memudar. Sebelum akhirnya terperanjat. Jantung hendak melompat saat tangannya tertahan.

Tangan hangat Ale tiba-tiba menggenggam tangan Lynn yang masih berada di sekitar pelipis, namun masih tetap memejam.

Apakah dia hanya berpura-pura tidur?

Lynn tercekat. Kaget bukan main.