"G...."
Laki-laki yang dipanggil G terlihat sedang sibuk mengedit video musiknya dan tak segera menoleh ke arah suara.
"G!"
Kali ini suara yang memanggilnya agak keras. Dia masih saja tak beranjak dari kursinya.
"Gavin Soebroto!!!!"
Laki-laki itu segera berdiri dan berlari ke bawah menemui wanita yang memanggilnya.
"Ibu!!! Jangan panggil pakai nama lengkapku."
Ibunya hanya menunjukkan wajah kesal. Gavin yang masih terengah-engah lari dari lantai atas rumahnya langsung duduk di sofa ruang tamunya.
Dari kamar kedua orang tuanya, tampak seorang pria keluar dan membawa dua koper besar.
"Tunggu ayah mau kemana? Kalian nggak lagi berantem kan?"
Gavin bertanya seraya menghampiri ayahnya. Dia bertambah panik manakala ayahnya mengeluarkan satu kopernya dan di bawa ke mobil.
Ibunya yang masih kesal dengannya hanya diam saja. Malah terlihat senang karena Gavin mulai panik.
"Ibu... Ini kenapa ayah bawa koper besar-besar keluar?"
Ayahnya sudah kembali lagi dan bersiap untuk menarik koper satunya keluar. Tapi Gavin dengan sekuat tenaga menahannya.
"G.... Ayah mau memasukkannya ke mobil."
Gavin semakin panik dan semakin menguatkan pegangannya.
"Ayah.... Aku tahu kalian sering berantem tapi kalian tidak pernah sampai pisah rumah seperti ini. Tunggu..."
Tampak ekspresi muka Gavin seperti melihat teror yang sangat menakutkan. Kemudian kedua tangannya dia letakkan di kepalanya tanda dia semakin bingung.
"KALIAN NGGAK BERMAKSUD BUAT CERAI KAN!"
Ayah Gavin yang melihat kesempatan, langsung menarik kopernya dan buru-buru meninggalkan Gavin.
"Bu.... Bilang sesuatu dong sama ayah... Dia udah serius mau pergi tuh! Ibu!!!"
Gavin yang tak mendapat respon apa-apa dari ibunya memilih berlari keluar mengejar ayahnya. Dan belum sampai pintu dia sudah dikagetkan oleh sosok ayahnya yang kembali masuk ke rumah.
"Oww.... Sepertinya G lebih memilihku. Ha ha ha."
Gavin yang masih panik dan bingung hanya bisa berdiri dan bergantian melirik ayah dan ibunya.
"Ha ha ha dasar drama king. Makanya kalau diajak ngobrol dengarkan baik-baik."
Tubuh ibunya berguncang-guncang karena tertawa terlalu keras.
"Ayolah masuk. Ada yang mau kita bicarakan."
Gavin masih terlihat kebingungan dan menuruti saja perkataan ayahnya.
Akhirnya mereka bertiga duduk di sofa ruang tamu dan membicarakan sesuatu.
"Tunggu! Kalian nggak akan menyuruhku untuk memilih tinggal dengan siapa kan?"
Ayahnya menghela nafas dan melirik ke arah ibunya.
"Gimana menurutmu Nadia?"
Adrenalin Gavin semakin terpacu melihat orang tuanya saling bertukar pandang dan terlihat sangat serius. Apalagi ayahnya memanggil ibunya dengan nama aslinya bukan dengan panggilan 'sayang' atau 'Bubu'.
"Gavin....."
Gavin tidak suka ketika ibunya memanggilnya seperti itu. Gavin tak sadar menelan ludahnya dan berusaha menenangkan jantungnya yang sedang konser musik rock.
"Kami mau memberitahukan bahwa kamu harus...."
Gavin segera berteriak memotong kalimat ibunya.
"NGGAAK..... Kalian nggak aku ijinkan untuk bercerai. Dan aku nggak mau memilih tinggal dengan siapa!!!"
"G..."
Gavin yang tidak mau mendengar penjelasan ayahnya menutup telinganya dan mulai menggelengkan kepalanya.
"Nggak.... Nggak...."
Kedua orang tuanya berpandangan dan kembali tertawa terbahak-bahak.
Gavin yang melihat keduanya tertawa membuka telinganya dan melihat mereka dengan muka kebingungan.
"G.. G.. Kamu nggak berubah dari dulu iya kan Yaya? Suka panik sendiri ha ha.. "
Gavin yang mendengar ibunya masih memanggil ayahnya dengan panggilan sayangnya menjadi semakin bingung.
"Kalian mau menipuku ya?"
Keduanya kembali berpandangan dan mulai tergelak kembali. Sampai-sampai meneteskan airmata karena terlalu keras tertawa.
"Haaah!! Sudahlah kalau kalian cuma mau tertawa aku mau balik ke atas."
Gavin sudah beranjak pergi dan bersiap menaiki tangga menuju lantai dua.
"Hei.... Kami ada berita penting buat kamu."
Gavin yang masih tidak yakin kedua orang tuanya serius punya masalah hanya meliriknya saja.
"Ayolah... Ini ada masalah dengan nenek."
Mendengar neneknya ada masalah, Gavin langsung menurut dan kembali duduk di sofa.
"Mas Hendra, kamu saja yang ngomong."
Gavin seperti punya firasat buruk. Saat ibunya memanggil ayahnya dengan sebutan 'Mas' pasti ada sesuatu yang harus dipaksakan pada Gavin.
"G..... Kamu tahu nenek sudah sepuh dan tinggal sendiri di rumahnya?"
Gavin teringat rumah neneknya dari sisi ibunya yang bergaya arsitektur Eropa seperti peninggalan Belanda. Waktu kecil dia suka sekali main petak umpet di sana dengan seorang anak laki-laki tapi dia sudah lupa dengan wajahnya.
Kakeknya sering menemaninya untuk membaca buku cerita yang ada di perpustakaan rumah itu saat dia tidak bekerja.
Neneknya selalu membuatkan cemilan berupa kue-kue kering yang selalu dia bagi dengan temannya tadi.
Memori ketika berada di rumah besar itu sangat indah bagi Gavin. Gavin yang sering ditinggal kedua orang tuanya untuk bekerja di luar kota sering dititipkan ke rumah kakek neneknya. Gavin menganggap setiap sudut rumah itu adalah tempat berlindungnya.
"G?"
Suara ayahnya membuyarkan ingatannya tentang rumah kakek neneknya.
"Ah ya ayah... Kenapa memangnya dengan rumah nenek."
Hendra terlihat sedikit bingung bagaimana dia harus menjelaskannya.
"Nenek habis jatuh di rumah dan kakinya terkilir."
Gavin terkejut mendengar berita yang disampaikan oleh ayahnya. Dia tahu semenjak kakeknya meninggal sepuluh tahun lalu neneknya tidak mau diajak ke rumah mereka. Dan memilih untuk tinggal sendiri di rumah besar itu.
Dulu pernah ada asisten rumah tangga yang menemani neneknya tapi entah kenapa tidak ada yang betah.
Dan akhirnya ada bu Nur yang bersedia untuk membantu nenek di sana tapi dia hanya datang di pagi dan sore hari.
"Kaki nenek terkilir tapi tidak apa-apa. Bu Nur yang menemani selama dua hari di sana. Dan nenek tidak mau mengabari kami. Kebetulan ayah ada proyek di sana dan datang berkunjung, jadi ayah tahu."
Gavin seperti teringat sesuatu.
"Aaah.... Itu sebabnya nenek tidak mau dijenguk tiga harian ini...."
Karena orang tua Hendra sudah meninggal, dia dan Nadia secara bergantian mengunjungi nenek Gavin. Biasanya tiga hari sekali dan di akhir pekan mereka akan menginap di sana.
Dulu Gavin sering ikut ke sana. Tapi saat beranjak remaja Gavin sudah tidak pernah ikut ke sana. Dan hanya mengunjungi neneknya saat ada libur panjang kedua orang tuanya.
"Iya... Nenek tidak mau merepotkan katanya. Jadi ibu malam ini mau ke sana dan menginap di sana."
Gavin masih terlihat bingung.
"Kalau cuma mama kenapa koper nya besar sekali dan ada dua?"
Nadia terlihat gugup saat akan menjawab pertanyaan Gavin. Berkali-kali dia melirik ke arah suaminya.
"Ehmm..... Gavin... Itu koper punya papa."
"Maksudnya?"
Berkali-kali Nadia menyenggol Hendra yang masih memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan ke anaknya.
"G.... Ingat proyek tempo hari yang papa bilang sama kamu?"
Gavin mengangguk, bagaimana dia bisa melupakannya. Ayahnya yang seorang arsitek sedang punya proyek pembangunan hotel di luar kota. Berhari-hari dia tidur larut malam menyelesaikannya dan berdiskusi dengan ibunya yang merupakan desainer interior.
"Ayah mulai besok akan on site selama kurang lebih enam bulan. Karena ini proyek besar dan ayah yang pegang langsung tim desainnya jadi akan lebih enak kalau ayah sementara tinggal di sana."
"Oh.... Lalu apa hubungannya dengan aku?"
Kini giliran Nadia bersiap menjelaskan.
"Kamu tahu kan ibu konsultan interior desain?"
Tentu saja Gavin sangat tahu itu. Hanya dia satu-satunya di rumah itu yang punya minat melenceng dari gen kedua orang tuanya.
"Tentulah bu...."
Nadia terlihat menenangkan dirinya sebelum kembali berucap.
"Klien baru ibu adalah proyek dari kantor ayah."
Melihat Gavin yang masih bingung dengan situasi kedua orang tuanya. Nadia melanjutkan lagi penjelasannya.
"Nenek kan sedang sakit. Terakhir kata ayah butuh sekitar 2 minggu untuk sembuh."
Nadia melirik Gavin seakan bersiap untuk kemungkinan terburuk.
"Dan ibu juga diharuskan on site."
Gavin kaget mendengarnya. Kalau kedua orang tuanya di luar kota, siapa yang akan mengurus neneknya yang sedang sakit.
"Tunggu, lalu siapa yang akan mengurus nenek?"
Nadia dan Hendra saling berpandangan.
"Ibu akan menginap di tempat nenek selama tiga hari. Karena jadwal on site ibu baru minggu depan."
Mendengar penjelasan ayahnya, Gavin punya perasaan tidak enak soal ini.
"Setelahnya ibu minta tolong kamu untuk tinggal di rumah nenek sementara. Mau kan?"
Gavin masih mencerna kalimat yang keluar dari mulut ibunya.
"Haaah????"
Nadia dan Hendra bersamaan menghela nafas karena sudah tahu akan seperti itu reaksi Gavin.
"Mana mungkin aku tinggal dan mengurus nenek. Kampus lebih dekat dari sini bu..."
Mendengar Gavin bicara soal kampus. Nadia dan Hendra tersenyum sinis sambil mengejek Gavin.
"Yang ibu tahu kamu ngampus cuma buat ketemu teman band mu."
Hendra juga tak mau kalah.
"Kamu juga jarang ada kegiatan kampus kecuali mengurus band kalian."
Gavin tidak bisa mengelak. Sebagai mahasiswa tahun kedua di jurusan seni musik. Dia malah memprioritaskan kegiatan band alternative rocknya daripada studinya.
"Tapi kan kami sudah ada fans loyal yah. Jadi kami harus totalitas menghasilkan karya."
Kedua orang tuanya tertawa kembali.
"Gavin.... Gavin..... 50 orang yang jadi subscriber mu itu adalah anggota keluarga dari personil band. Termasuk nenekmu."
Gavin masih ingat dia yang jarang bertemu neneknya. Tiba-tiba saja setiap akhir pekan selama sebulan ikut orang tuanya menginap di sana untuk mengajari neneknya melihat video unggahannya.
"G... Ayah sudah bicara dengan nenek. Dan dia sangat senang soal kedatanganmu."
"Tunggu aku kan belum setuju. Kenapa tidak aku kunjungi saja nenek tiap hari tanpa harus tinggal di sana."
Nadia dan Hendra tampak berpikir.
"Gavin.... Walaupun rumah nenek lebih jauh daripada berangkat dari sini tapi akan lebih mudah kalau kamu mau tinggal di rumah nenek."
"Tapi bu, kami kan latihan di sini."
Kali ini Hendra tersenyum ke arah Gavin.
"Ayah sudah bicarakan dengan nenek. G.... Kamu selama ini kesulitan cari tempat latihan kan?"
Gavin membenarkan perkataan ayahnya. Selama ini mereka latihan di garasi rumah Gavin. Tapi ibunya yang sering bekerja dari rumah merasa terganggu dengan aktivitas Gavin. Apalagi genre musiknya yang tidak terlalu bisa diterima Nadia. Seringnya mereka akan menunda latihan kalau Nadia sedang ada meeting.
"Nenek mengijinkan gudang di rumahnya untuk jadi homebase mu."
Nadia dan Gavin sama-sama berteriak.
"APA!!"
Gavin yang seperti mendapat angin segar kini tersenyum.
"Yaya... Aku tahu ibu lebih sayang padamu daripada aku yang putrinya sendiri. Tapi aku tidak tahu dia akan mengijinkan rumahnya dijadikan sarang anak metal."
Gavin segera mengoreksi perkataan mamanya.
"Kami band alternative rock ibu."
Nadia hanya membalas Gavin dengan decakan.
"Kamu juga pastinya bisa lebih bebas di sana. Tanpa ada gangguan atau teriakan untuk berhenti. Gimana G, tawaran ayah?"
Gavin berpikir untung rugi tawaran ayahnya. Iming-iming mendapat kebebasan dan dukungan penuh dari neneknya yang selalu menurutinya, belum lagi bonus gudang lama neneknya yang bisa dia pakai untuk tempat latihan bandnya tanpa ada gangguan.
Gavin berpikir jika dia bisa mendapat bonus-bonus itu akan membuat bandnya punya tempat latihan sendiri. Dan akan semakin membuatnya produktif dalam membuat video musik. Hal ini bisa membuatnya semakin dikenal.
Terutama dikenal oleh Inara, gadis cantik di kampusnya yang sudah membuat Gavin jatuh cinta di awal masa kuliahnya.
"Gimana G? Ibu akan membatalkan kontrak ibu dengan kantor ayah kalau kamu tidak bisa."
Melihat ibunya yang rela membatalkan kontrak besarnya, Gavin menjadi bersalah.
"Ibu tidak perlu batalin. Aku bakal temani nenek selama kalian on site."
Kedua orang tuanya tersenyum lega dan berterima kasih pada Gavin.
"Tiga hari lagi kamu pindah ke sana. Ibu biar menginap dulu di sana. Biar kamu juga bisa siap-siap."
"Siap Bubu dan Yaya.... Aku juga bakal info ke anak-anak band."
Gavin meninggalkan orang tuanya dan menuju kamarnya di lantai dua. Senyum masih tersungging di bibirnya. Dia kemudian mencari-cari ponselnya untuk memberi pengumuman untuk personil band-nya di grup mereka.
'Untuk semua personil band.
Kita menemukan home base baru.
Detailnya akan kita bicarakan besok.'