"Mas.... Mas... Mas Gavin ini mana tali sama jimat di lemari ini?"
"Jimat?"
Gavin kemudian seperti teringat sesuatu.
"Oh tali itu Bu?"
Gavin menunjuk ke arah tali dan bungkusan kain itu. Bu Nur panik melihat tali dan bungkusan kain kecil itu sudah tergeletak di lantai.
"Mas Gavin.... Itu kok dilepas. Aduuh!!!"
Bu Nur menarik tangan Gavin untuk keluar gudang. Tapi angin dingin berhembus membuat Bu Nur ketakutan.
"Jangan ganggu kami... Jangan ganggu."
Gavin yang kasihan melihat Bu Nur langsung mendelik ke arah para hantu untuk menghentikan aksinya.
"Mas Gavin ayo kita keluar dulu biar ibu jelasin."
Gavin yang seperti mendapat kesempatan kabur, langsung menuruti Bu Nur. Tapi sia-sia karena mereka berempat mengikutinya keluar.
"Itu jimat buat ngunci pengganggu di sini. Kok dilepas?"
"Huh??"
'Ya mana aku tahu Bu...'
Gavin mengumpat sendiri karena tidak ada yang memperingatkan masalah ini padanya. Tapi kemudian Gavin seakan paham kejadian-kejadian aneh di gudang tadi. Apalagi saat dia melepas tali di pintu jati itu.
"Saya harus tanya dulu sama orang pintar yang memberi jimat dulu. Biar nggak ada kejadian aneh lagi."
"Kejadian aneh?"
Bu Nur terlihat celingak-celinguk melihat sekeliling. Tanpa dia sadari ada empat anggota tambahan yang sedang mendengarnya, tepat berada di belakang Gavin.
"Mas Gavin nggak tahu kalau semua yang kerja di sini sebelum ibu itu pada nggak betah?"
Gavin tahu cerita itu. Cuma dia tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya.
"Tahu sih Bu. Aku kira karena nggak cocok aja sih."
Bu Nur menggeleng dengan cepat.
"Mas Gavin salah..."
Gavin sepertinya tahu apa yang ingin dibicarakan oleh Bu Nur.
"Mereka diganggu sama penunggu rumah ini."
Keringat dingin muncul di kening Gavin namun dia masih mencoba untuk bersikap tenang. Senyum paksa terlihat di bibirnya sambil membatin.
'Aku sudah bertemu dan ngobrol santai dengan mereka.'
"Mas Gavin nggak papa kan? Dulu awal saya ke sini nggak ngerasain mas. Terus adalah godain tiap hari. Tapi nggak parah paling kursi geser, panci jatuh, kadang ada aja alat dapur diumpetin."
Gavin mendengarkan dengan seksama dan menyetujui satu hal. Mereka hantu yang sangat jahil.
"Para pekerja sebelumnya punya maksud buruk."
Desi tiba-tiba bicara. Spontan Gavin menoleh ke belakang. Melihat gelagat aneh Gavin, Bu Nur langsung menarik Gavin ke rumah. Sambil terus diikuti keempat hantu itu.
"Mas beneran nggak papa?"
Gavin tersenyum kecut dan mengangguk pelan. Mana mungkin dia tidak apa-apa, siapa yang tidak bingung terus dibuntuti hantu kemana-mana. Bukan cuma satu, ada empat hantu yang mengikutinya.
"Saya niatnya cuma sebentar di sini mas. Ambil barang yang ketinggalan."
Bu Nur kembali melihat keadaan sekitar.
"Tapi karena ada kejadian ini, saya di sini saja sampai nanti sore mas."
Gavin bernafas lega. Paling tidak dia nggak harus seharian di temani squad hantu itu saat di rumah.
"Nenek mana mas?"
"Di kebun Bu Nur."
Bu Nur mengajak Gavin untuk ke arah ruang makan dan mengajak berbincang sambil mempersiapkan makan malam. Desi ikut duduk bersama Gavin di meja makan. Li dengan santai berdiri di belakang Bu Nur. Dan Bungsu dia berlarian ke sana kemari seperti berada di rumahnya sendiri. Tak tampak Gramps di sana.
"Mas Gavin mungkin sudah tahu, kalau beberapa orang yang bekerja di sini sebelumnya tidak ada yang betah."
Gavin kembali mengangguk.
"Mereka semua diganggu dengan penunggu rumah ini mas. Ada yang kopernya dipindah keluar rumah. Ada yang lihat benda melayang-layang. Banyak pokoknya mas."
"Tapi Bu Nur. Nenek dan orang tua Gavin nggak pernah cerita."
Bu Nur menghela nafas panjang. Jari jemarinya yang bulat terlihat luwes dengan cepatnya memilah-milah bahan makanan didepannya.
"Haaah..... Nenek nggak percaya mas. Karena nenek nggak pernah di ganggu. Begitu juga ibu dan bapak."
Bu Nur terdiam sejenak untuk mengambil wadah di rak yang ada di depannya.
"Nenek malah menganggap mereka pelindung rumah ini. Ibu dan bapak malah bercanda kalau mereka pergi karena nenek terlalu galak."
Bu Nur kini terlihat tenggelam dalam aktivitas memasaknya.
"Pekerja itu nggak ada yang baik. Kecuali Bu Nur. Ada yang berniat mencuri, memanfaatkan kebaikan nenek untuk pinjam uang. Malah ada yang terang-terangan mau bawa pasangannya menginap di sini tanpa sepengetahuan nenek."
Gavin terkejut mendengar penjelasan Desi.
"Kami takut-takuti mereka saat mau mencuri, kami angkat-angkat bantal nenek. Kami juga menakuti pacar salah satu dari mereka hingga jatuh dari jendela. Eeeh... Malah bohong itu suara koper yang dibuang oleh kami. Fitnah itu namanya."
Jadi memang benar mereka pelindung rumah ini. Masih tidak mau meladeni Desi Gavin memilih untuk mengajak bicara Bu Nur.
"Tapi Bu Nur sepertinya nggak takut diganggu."
Tawa renyah terdengar di dapur itu.
"Mas... Mas.... Kalau nggak takut saya nggak bakal narik mas masuk ke rumah."
"Dia sudah lolos tes kelayakan. Lagian Li menjamin bahwa Bu Nur orang baik-baik."
Gavin menoleh ke arah Desi sambil memintanya untuk diam.
"Saya dulu ya sama digangguin. Saya malah sudah menelepon Bu Nadia minta berhenti nggak usah digaji nggak papa."
"Tapi kenapa ibu kembali?"
Bu Nur terlihat tersenyum.
"Nenek mas. Waktu saya mau minta pamit nenek bilang nggak papa. Tapi matanya kelihatan sedih. Walaupun saya nggak punya ibu mas, saya jadi trenyuh lihatnya...."
Gavin terdiam, neneknya selama ini sendirian di sini tentu dia bahagia jika ada yang menemaninya. Ibu dan ayah Gavin yang lokasi kerjanya jauh dari tempat itu memilih untuk membuat rumah sendiri. Dan yang pasti neneknya tidak mau kalau harus pindah dari rumah sana.
"Makanya saya minta ijin sama nenek mas, mau saya tanyakan ke orang pintar."
Gavin langsung fokus dengan cerita Bu Nur. Berharap akan menemukan titik terang untuk mengusir teman barunya itu. Melihat ekspresinya yang berubah serius, Desi merasa curiga Gavin punya rencana tidak bagus
"Kenalan suami saya mas. Pas saya bawa kesini dia cuma jalan aja mas. Ngajak ke gudang lalu ngikat lemari itu."
Bu Nur yang sudah selesai menyiapkan bahan makanannya berjalan menuju meja makan dan duduk menemani Gavin.
"Setelah itu nggak ada hal aneh lagi mas.... Haaah hari ini mas Gavin malah buka segelnya."
"Ya maaf Bu... Saya nggak tahu..."
Bu Nur kembali menghela nafas.
"Saya juga yang salah, nggak bilang. Tapi saya nggak mau mas takut. Jadi nunggu mas habis istirahat."
"Kamu nggak perlu minta maaf Gavin. Kamu kan yang membebaskan kami. Kamu tahu rasanya ditarik dari rumah ke arah gudang? Dan berimpit-impitan berempat di lemari sempit itu??? Haaah lega akhirnya kamu membebaskan kami."
Desi terus bicara tanpa diminta. Gavin benar-benar menganggap suara Desi hanya cuitan burung.
"Nanti malam biar saya tanyakan lagi padanya."
"NO!!"
"Janghaaan!!"
Desi tiba-tiba berteriak dan Li yang dari tadi terdiam tiba-tiba bersuara. Gavin tersenyum licik mendengar ucapan Bu Nur, dia seperti mendapat sebuah ide.
"Iya Bu.... Tanyakan ke orang itu lagi. Kalau perlu bawa dia ke sini ya Bu. Masalah bayarannya nanti biar aku yang urus."
Desi dan Li terlihat marah. Mata mereka berubah merah. Meja makan Gavin berderit dan tempat air yang ada di atasnya terlihat ikut bergetar.
"Bu Nur... Nggak perlu takut."
Gavin mencoba menenangkan Bu Nur walaupun dia sendiri terlihat sangat ketakutan. Melihat wajah ketakutan Gavin, Desi dan Li segera meredakan emosinya.
"Jangan pernah usir kami lagi.. Kami tidak pernah punya maksud jahat di tempat ini."
Bentak Desi yang hanya bisa di dengar oleh Gavin.
"Bu Nur... Besok ajak orangnya ke sini ya?"
"GAVIIIN!!"
Tempat minum di depan Gavin kembali bergetar sepertinya karena teriakan Desi.
"Si... Si... Siap mas."
Gavin benar-benar tidak mempedulikan lagi Desi dan kawan-kawannya. Dia seperti sudah menemukan cara untuk menghilangkan mereka.
"Eeeh Bu Nur... Kok sudah di sini?"
Suara nenek yang baru masuk rumah membuat mereka segera menghentikan pembicaraan mereka.
"Nek... Besok Bu Nur mau ajak temannya ke sini lihat-lihat rumah. Boleh ya?"
Nenek tersenyum dan seperti tahu siapa yang dimaksud dengan teman oleh Gavin.
"Bu Nur.... Gavin... Di sini nggak papa... Nggak ada yang perlu diusir."
Desi dan Li menyetujui ucapan nenek Gavin.
"Nggak papa nek... Bagus kalau nggak ada yang diusir kan... Cuma biar ngecek aja. Takutnya nenek jatuh juga karena diganggu."
"Hei!! Jangan menuduh ya. Justru karena nggak ada kami jadi nenek bisa jatuh."
Desi marah dan berdiri siap untuk memaki Gavin. Tapi Li dan Gramps yang entah kapan datangnya, tiba-tiba menghalangi Desi.
"Sudhaah... Biarkhaan!"
Desi terlihat tidak terima dengan ucapan temannya dan hanya bisa menurut.
Gavin terlihat semakin senang mendengar ucapan Li yang terkesan membelanya. Dia tak sabar untuk segera mengusir mereka.
Malam harinya ke empat hantu itu terus menerus mengikuti Gavin bahkan sampai di tempat tidur.
Tapi Gavin sepertinya sudah tidak punya rasa takut. Dia sama sekali tidak menghiraukan mereka. Bahkan saat Bungsu meloncat-loncat di kasurnya dan Li mencakar bantalnya dia tidak ambil pusing. Dia memilih pindah ke ruang tamu dan tidur di sana.
Desi dan Gramps hanya bisa mengamatinya dan pasrah dengan apa yang akan terjadi.
Paginya dia bangun dengan segarnya dan menunggu Bu Nur dengan ceria.
"Kamu benar-benar tidak bisa diajak kerja sama Gavin."
Gavin tidak mau menanggapi kemarahan Desi. Dia memilih diam dan menganggap mereka tidak ada. Hingga saat-saat yang dia tunggu tiba.
"Gavin, itu Bu Nur nyari kamu. Nenek mau siapin sarapan dulu."
Gavin dengan segera berlari keluar dan menemui Bu Nur tanpa diikuti oleh empat hantu itu.
"Bu Nur...."
Bu Nur tersenyum ketika melihat Gavin. Tapi pria disampingnya hanya menggelengkan kepalanya.
"Mas... Maaf ya? Yang buka segelnya mas?"
Gavin mengangguk pelan. Terlihat kecemasan di raut wajahnya.
"Bu... Saya boleh minta air putih?"
Bu Nur bergegas ke dapur dan mengambilkan air putih untuk bapak itu. Saat Bu Nur meninggalkan mereka. Bapak itu berpesan pada Gavin.
"Mas... Mereka sudah membuat perjanjian dengan mas. Saya tidak bisa mengurung mereka lagi."
"Huh!! Bapak kok bisa tahu?"
Bapak itu tersenyum dan menunjuk ke belakang Gavin.
"Mereka yang bilang."
Gavin menoleh dan melihat keempatnya sudah berdiri di belakangnya.
"Hah!!! Mereka selalu bikin kaget."
Bapak itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Mas sudah terikat dengan mereka. Takutnya kalau saya ikat di tempat lain sebelum janjinya dipenuhi akan membawa malapetaka pada mas."
Gavin terlihat kecewa. Tapi dia tidak mau menyerah.
"Akan saya bayar berapapun pak. Asal mereka pergi."
Bapak itu menggeleng.
"Mas... Pada dasarnya mereka itu nggak ganggu. Saya bisa ikat mereka itu juga karena mereka mau dan tidak mau merepotkan pemilik rumah ini."
"Huh? Gramps suka dengan bapak ini?"
Gramps berbisik pada Desi kembali. Desi yang selalu bicara tanpa diminta membuat Gavin berdecak kesal. Membuat bapak itu kembali tersenyum.
"Ayolah pak... Saya akan sediakan sebanyak yang bapak mau."
Bapak itu menggeleng dan masih menolak dengan halus.
"Mas sudah membuat perjanjian pada mereka, saya rasa asal mas mau mengikuti permainan mereka. Mereka akan melepas urusannya di sini."
"Gramps benar. Aku suka dengan bapak ini."
Mendengar ucapan Desi kembali membuat Gavin terlihat frustasi karena tidak menemukan cara bagaimana membujuk bapak itu.
Kemudian dia seperti mendapatkan sebuah ide.
"Aahhh begini saja... Bapak bisa hilangkan kemampuan saya melihat mereka. Biar saja mereka tidak mau pergi."
Bapak itu tersenyum tipis menanggapi Gavin.
"Mas seperti halnya panca indera. Kalau tiba-tiba saya menghilangkan penglihatan mas bagaimana?"
Gavin menelan ludahnya bersama kepahitan kenyataan yang dia terima. Hanya membatin dengan kecewa.
'Buta dong aku.'
"Apa dulu mas pernah mengalaminya?"
Gavin terdiam untuk berpikir. Dan Bu Nur dari dalam membawakan segelas air putih untuk bapak itu. Gavin merasa tenggorokannya kering karena tidak tahu harus berbuat apa.
"Bu Nur saya juga minta air. Tolong ambilkan ya."
Bu Nur terlihat kebingungan karena sepertinya dia sengaja dibuat pergi oleh mereka berdua.
"Sepertinya mas pernah berhubungan dengan mereka."
"Ah nggak pak. Ini nggak tahu kenapa tiba-tiba saya bisa lihat mereka."
"Sudah dibilang kami mau membantumu kok."
Gavin kembali berdecak mendengar komentar Desi.
"Mungkin ada maksudnya mas bisa melihat mereka. Saya cuma menyarankan itu tadi mas."
"Haaaah.... Jadi benar tidak bisa diapa-apain pak?"
Bapak itu menggeleng dan berpamitan pada Gavin.
"Maaf mas. Nggak bisa bantu. Saya permisi ya mas."
Bu Nur yang baru datang dari dapur bingung karena bapak itu minta pamit. Dan Gavin yang terlihat lunglai pasrah duduk di kursi
"Ingat pesan saya mas. Tepati saja janjinya."
"Yee... Yee... Gavin harus tepati janji. Tepati janji...."
Gavin hanya menghela nafas dan kembali menjatuhkan dirinya di kursi. Dia bahkan tidak punya tenaga menanggapi Bungsu.
"Mas kenapa? Nggak bisa ya?"
Tidak mau melihat Bu Nur ketakutan. Gavin berbohong.
"Ah nggak Bu. Cuma masih ada sedikit yang bermasalah. Ibu ada kenalan lain?"
Bu Nur mengangguk. Melihat itu Gavin tidak patah arang. Dia akan memulai misinya untuk pengusiran.
"Gavin... Gavin... Kontras sekali dengan penampilanmu. Ternyata kamu penakut. Ha ha ha."
Gavin yang tidak terima membentak Desi.
"Heh!!! Jangan asal ya!"
Bu Nur yang masih memberesi gelas di depan Gavin kaget karena dia tiba-tiba memarahinya.
"Ibu akan cari yang lebih ampuh mas. Te... Tenang.."
Gavin hanya meringis dan meminta maaf. Dan kembali memantapkan hatinya untuk melakukan pengusiran.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
"G!!!"
Gavin dengan malas mendongakkan kepalanya melihat siapa yang memanggilnya. Kantung matanya menghitam bukan karena efek eye shadow, mukanya kusut dan rambutnya acak-acakan.
"Woaaaa..... Kenapa matamu? Jangan bilang kamu bolos tiga hari gara-gara begadang bikin lagu?"
Gavin menggelengkan kepalanya.
"Sakit..."
Menjawab singkat Gavin kembali menjatuhkan kepalanya ke tasnya yang sengaja dia taruh di atas meja untuk dijadikan bantal.
Gavin malas untuk bercerita. Dia pasti akan ditertawakan oleh Chan jika mendengar ceritanya.
Selama tiga hari tidak tanggung-tanggung Gavin sudah mengundang 6 orang untuk mengusir squad hantu di rumah.
Mulai dari yang dikerjai para hantu itu sampai ada yang lari tunggang langgang keluar rumah. Kemudian ada juga yang dengan bangga bilang sudah mengurungnya di toples padahal nyatanya ke empat hantu itu masih dengan bebasnya beterbangan di rumah. Ada juga yang menyuruh Gavin melakukan ritual berendam bunga tengah malam. Dan malah membuat Gavin sakit sampai bolos kuliah. Yang terakhir malah cuma asal-asalan menyemburkan air ke semua perabot rumah neneknya hingga sukses membuat neneknya marah-marah.
"Hei! Hei! Jadi ini kampus ya? Luasnya.... Gavin! Gavin!"
Gavin kesal mendengar suara yang baru saja datang.
"Gavin.... Gavin! Kampus itu banyak orang keren ya?"
Gavin menutup telinganya agar tidak mendengar suara Desi.
"G? Kamu masih sakit ya?"
Gavin melambaikan tangannya agar Chan tidak perlu mengkhawatirkannya.
"Gavin! Ruang kelasmu luas juga ya?"
Gavin masih diam.
"Gavin!! Gavin!! Dia temanmu ya? Wah keren ya di kampus!"
Kekesalan Gavin sudah di puncak. Akhirnya dia berdiri dan membentak Desi yang berdiri di samping Chan.
"Kamu kayak nggak pernah lihat kampus aja!! Berisik tahu!!!"
Kelas yang telah terisi separuh itu hening seketika. Dan semua mahasiswa yang ada di sana menoleh ke arah Gavin yang terlihat kacau.
Desi yang tahu itu semua karena dirinya terlalu berisik hanya meringis menatap Gavin.
"Uups... Maaaaaf...."
Chan yang kaget dengan sikap aneh Gavin menghela nafas dan menjawab Gavin.
"G.... Kamu yang paling jarang ke kampus daripada aku. Jadi aku tahu kampus itu seperti apa?"
Chan terdiam sebentar.
"Dan maaf kalau berisik. Aku cuma khawatir kamu masih sakit."
Gavin sangat malu karena jadi pusat perhatian. Dia berdehem untuk menahan malu dan kembali duduk dengan tenang.
"Maaf... Aku tidak bermaksud membentakmu."
Chan menghela nafas.
"Kamu kalau sakit lebih baik pulang sa-..."
Chan tiba-tiba berhenti bicara dan menarik kepala Gavin, memutarnya untuk melihat ke arah pintu masuk.
Gavin langsung tersenyum seperti orang bodoh melihat sosok yang baru masuk ke kelas.
"Inara..."