Chereads / (IN) My Cupid is Cute Ghost / Chapter 10 - 10. Aku Terima

Chapter 10 - 10. Aku Terima

Tak terasa tugas Gavin akan dipresentasikan besok. Dia semakin mengebut pengerjaan tugasnya.

"Nek hari ini aku pinjam piano nenek agak lama, karena mau buat video tugas buat besok."

Gavin meminta ijin pada neneknya untuk memakai pianonya. Nenek Gavin mengangguk dan mempersilahkan Gavin memakai pianonya.

Gavin segera mempersiapkan segala keperluannya untuk menyelesaikan tugasnya. Desi dan teman hantunya hanya mengamati Gavin yang sedang mempersiapkan keperluannya.

Mereka sama sekali tidak berani berbicara pada Gavin karena mereka sudah diperingatkan bahwa Gavin sedang sibuk dan mau fokus mengerjakan tugas. Hanya Bungsu yang dengan setia mengekor pada Gavin.

"Kamera di sebelah sana sudah on... Piano sudah siap..... Okey... Saatnya beraksi."

Saat Gavin akan duduk di depan pianonya Desi dengan cepat berteriak.

"Tunggu!!! Kamu akan main piano dengan kaos hitam buluk, dan juga rambut acak-acakan seperti itu?"

Gavin yang tersinggung dengan kata-kata Desi langsung menatapnya dengan tajam.

"Apa kamu bilang? Kaos hitam buluk? Ini adalah kaos yang menunjukkan jati diri rocker. Rambut acak-acakan ini juga menunjukkan ciri khas seorang rocker."

Desi menyeringai mendengar kata-kata Gavin. Gavin yang melihat Desi kembali meremehkannya terlihat semakin geram.

"Gavin..... Konsep rocker mu itu terlalu konvensional. Lagian kamu mau main piano untuk tugas kuliahmu bukan mau konser musik rock!"

Gavin mendengus kencang mendengar jawaban Desi. Selama ini tidak ada yang protes dengan penampilannya, bahkan orang tuanya biasa saja dengan penampilan Gavin.

"Kayak kamu tahu para musisi rock saja!"

Desi mau membantah tapi dia urung mengatakannya. Gavin masih saja mengomeli Desi yang berani mengkritik penampilannya. Melihat Gavin kembali memarahi Desi, Gramps dan Li diam ketakutan. Bungsu yang sedari tadi mengekor Gavin langsung berlari ke belakang Desi karena takut membuat Gavin semakin marah.

"Huh! Kamu tidak tahu kan? Lagian Inara juga nggak protes. Kenapa aku harus mendengarkan omelanmu?"

Mendengar Gavin kembali mengejeknya dan juga membandingkan dengan Inara. Desi sepertinya sudah sangat kesal dengan kata-kata Gavin. Alih-alih marah atau mengancam Gavin seperti biasanya, Desi tersenyum licik dan berujar pada Gavin.

"Ah... Inara yaaa? Memang dia tidak protes tapi bukan berarti dia suka dengan penampilanmu."

Gavin langsung melotot ke arah Desi seolah membenarkan kata-kata Desi. Tapi harga dirinya terlalu tinggi untuk menyetujui kata-kata Desi.

Melihat Gavin terdiam Desi kembali menggodanya.

"Hmm.... Gavin.... Gavin....."

Suara Desi yang terdengar sarkas membuat Gavin merasa terpojok.

"Jangan bilang kamu nggak tahu, tipe pria idaman Inara? Ha ha ha ha..."

Desi sebenarnya hanya ingin menggoda Gavin. Tak disangka Gavin langsung terdiam dan kekesalan menghiasi wajahnya tanpa mampu membantah perkataan Desi.

Bungsu yang merasa Desi lebih kuat dari Gavin. Dengan riangnya mengejek Gavin sambil mengitarinya.

"Weeee... Weeee.... Gavin tidak tahu.... Weeee... Weeee.... Gavin tidak tahu...."

Desi mengira Gavin akan meledak dan memarahi mereka habis-habisan apalagi Gramps dan Li sudah bersiap bersembunyi dibalik badan mungil Desi.

Ternyata perkiraan Desi salah, Gavin diam sebentar kemudian menarik nafas dalam-dalam. Gramps dan Li terlihat ketakutan. Bungsu yang mengitarinya berhenti mendadak dan langsung bergabung dengan Desi.

"Haaaaah.... Iya aku nggak tahu seperti apa tipe pria idaman Inara. Puas kamu!"

Desi yang melihat Gavin kecewa akhirnya merasa bersalah.

"Sorry...."

Gavin kembali menghela nafas mendengar permintaan maaf Desi. Gavin merasa kalau dirinya juga sudah keterlaluan.

"Sudahlah... Aku mau mulai... Kalian diam ya jangan berisik."

Desi masih belum puas dan terus berujar.

"Aku bukan mengkritik penampilanmu. Hanya saja kali ini kan bisa kamu sedikit rapi. Siapa tahu Inara akan semakin memperhatikanmu."

Desi lagi-lagi, bersiap untuk menghadapi kemarahan Gavin. Tapi kali ini Gavin malah terlihat bahagia.

"Kamu kali ini benar Desi!! Mungkin aku bisa sedikit merapikan diri!!! Okey aku akan ganti kemeja."

Mata Gavin berbinar-binar dan dia mulai terlihat sangat bersemangat.

"Mudah sekali membujuknya jika menyangkut masalah Inara."

Gramps yang biasa tidak bersuara kali ini berbicara. Li menatap ke arah Desi yang masih menatap ke arah pintu kamar Gavin.

"Khamuu... Nggak... Phapha?"

Desi masih terdiam dan Bungsu dengan lembut menepuk-nepuk lengan Desi seolah memberinya semangat.

"Sepertinya tidak ada tempat lagi di hatinya untuk orang lain."

Itu kata terakhir Desi sebelum Gavin keluar dari kamarnya memakai kemeja hitam menyisir rambutnya ke belakang sehingga wajah tampannya terlihat. Dia juga memakai dasi warna putih sebagai pelengkap tampilannya.

Walau dia masih memakai celana jeans hitam dan juga ankle bootnya. Secara keseluruhan tampilannya jauh lebih rapi dan formal. Senyum lebarnya seperti menular, Desi yang tadi terlihat murung kini juga ikut tersenyum melihat Gavin. Gramps, Li dan Bungsu yang melihat itu hanya menghela nafas.

"Sempurna....."

Gavin terlihat bangga dengan pujian Desi. Senyuman kembali dia berikan untuk Desi.

"Okey.... Aku akan bersemangat kali ini."

Gavin langsung menuju pianonya dan mulai memainkannya. Dia menarik nafas dalam-dalam dan berusaha berkonsentrasi pada note musik dihadapannya. Desi yang melihat Gavin sedikit gugup memberi semangat pada Gavin.

"Kamu bisa melakukannya Gavin, kami akan memberimu semangat dari sini."

Untuk pembuka dia memainkan versi Jazz. Alunan nada yang ceria membuat Gramps dan Li menggoyangkan kepalanya mengikuti alunan musik. Bungsu juga tidak kalah menikmatinya. Dia menggerakkan jari telunjuknya ke kiri dan kanan seperti konduktor musik memimpin lagu.

Senyum terlihat di wajah Desi, jari lentiknya lagi-lagi bergerak-gerak seakan mengikuti gerakan jari Gavin.

Masuk ke bagian kedua kali ini Gavin memainkan versi Rock dari Canon in D. Semua hantu terlihat bersemangat Li memutar kepalanya mirip musisi rock ketika melakukan headbanging hingga rambutnya menutupi seluruh wajahnya kembali. Gramps meniru gerakan khas dari para gitaris rocker saat melakukan pertunjukkan solo. Bungsu juga asyik berjingkrak-jingkrak sedang Desi masih mengikuti gerakan jari Gavin.

Pada bagian ketiga Gavin memainkan versi Lee Galloway dengan apik. Membuat squad hantu yang semula kelebihan energi menjadi jinak kembali dan mengangkat tangannya ke atas mengayun ke kanan dan ke kiri seperti penonton konser melihat idola mereka menyanyikan lagu cinta.

Ketika lagu selesai squad hantu langsung memberikan tepuk tangan meriah untuk Gavin. Gavin yang terharu dengan riuhnya squad hantu yang menyemangatinya seketika berdiri menghadap mereka dan membungkuk sebagai ucapan terima kasih.

"Gavin kereeeennnnnn..... Yeeeeee..."

Bungsu berputar-putar mengelilingi Gavin. Desi, Gramps dan Li masih terus bertepuk tangan untuknya.

"Waaah... Nenek dengar dari luar permainanmu sangat bagus."

Melihat neneknya masuk ke rumah, Gavin bergegas mematikan kamera yang merekam penampilannya. Dan segera menghadap neneknya.

"Terima kasih nek."

Neneknya sedikit tertegun melihat penampilan Gavin.

"Kamu ganteng dan keren kalau begini. Kamu kelihatan rapi."

Gavin menoleh ke arah Desi yang seperti membisikkan sesuatu.

"Sudah kubilang kan?"

Gavin hanya tersenyum. Dia kemudian segera membereskan perlengkapannya dan bersiap mengedit videonya agar bisa segera selesai.

Saat mengedit videonya Gavin sedikit terkejut karena pertengkarannya dengan Desi terekam. Tapi disitu dia hanya terlihat sedang marah-marah sendiri.

"Memang... Aku seperti orang gila."

"Siapa?"

Desi yang sedang bersantai dengan squad hantu di kamar Gavin mendengar Gavin menggumam.

"Oh... Tidak."

Gavin tidak mau memberitahu Desi apa yang tadi dia ucapkan. Gavin kembali menyelesaikan pekerjaan editing-nya.

"Ehmm.... Sepertinya file originalnya aku simpan saja."

Tak berapa lama dia sudah selesai mengerjakan editing videonya. Gavin kemudian memindahkan file yang sudah dia edit ke flashdisk-nya.

Saking fokusnya dia tidak menyadari bahwa sudah larut malam. Ketika menoleh ke belakang pun para hantu sudah tidak ada kamarnya.

"Haaah.... Dasar hantu... Datang nggak ada suara, pergi juga nggak pamit."

Gavin memilih untuk tidur dan berharap semoga besok lancar.

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

"G.... Kamu berani sekali masuk hari ini!"

Chan terlihat terkejut melihat Gavin yang sudah bersiap di kelasnya pagi-pagi.

"Gavin... Kamu tidak terlihat meyakinkan bisa menyelesaikan tugas itu sepertinya."

Gavin langsung melirik ke arah Desi menyuruhnya untuk diam.

"Kamu udah siap dengan tugas kamu?"

Dengan percaya diri Gavin menunjukkan flashdisk-nya.

"Waaaah.... Kamu yakin itu bukan video palsu kan?"

Gavin terlihat kesal karena Chan tidak mempercayainya.

"Kamu meragukanku?"

Chan hanya meringis menjawab Gavin. Dan Desi terlihat cekikikan karena Gavin kesal.

"Gavin?"

Dia mengenal suara itu dan dengan cepat menoleh ke asal suara. Dan dia tersenyum lebar melihat sosok yang mendekatinya.

"Kamu sudah selesai dengan tugas profesor?"

Gavin mengangguk sambil masih menyunggingkan senyum bodohnya.

"Waaaah... Keren sekali...."

"Pfftt....."

Chan dan Desi mencoba untuk menahan tawa mereka. Gavin langsung mendelik ke arah mereka berdua.

Tak berapa lama kelas mereka dimulai.

"Gavin...."

Profesor memanggil nama Gavin sambil menyeringai.

"Sepertinya kamu sudah menyelesaikan tugasmu? Buktinya kamu berani masuk hari ini?"

Gavin segera maju ke depan memberikan flashdisk-nya. Setelah memberitahukan apa nama filenya. Gavin kembali ke tempat duduknya.

"Baiklah... Kita akan lihat dan saya minta kalian nilai karya Gavin."

Gavin menelan ludahnya untuk mengurangi rasa gugupnya.

"Penampilanmu bagus. Jangan khawatir mereka pasti akan menyukainya."

Lagi-lagi Gavin menelan ludahnya mendengar perkataan Desi. Gavin melirik ke arah Chan yang juga sama cemasnya seperti Gavin.

Profesor kemudian memutar video di flashdisk Gavin. Saat musik di mulai semua mahasiswa berbisik-bisik. Hanya profesor yang terlihat tersenyum tipis.

"Canon in D? G... Are you sure?"

Pertanyaan Chan membuat Gavin melirik ke arah Desi.

"Jangan khawatir..."

Entah kenapa wajah Gavin terlihat lega mendengar ucapan Desi.

Setelah menit kedua suara bisik-bisik di kelasnya langsung berhenti. Canon in D dengan melodi jazz sukses membuat temannya Gavin diam. Senyum masih terpasang di wajah profesornya. Sampai pada bagian kedua kelas menjadi riuh oleh suara suitan dan pujian dari teman sekelasnya. Suasana kelas terdengar hidup hingga di bagian ketiga kelas menjadi sunyi kembali.

Alunan lembut dari video Gavin membuat teman kelas Gavin terbawa suasana. Apalagi profesor yang sampai memejamkan matanya menghayati alunan piano Gavin.

"Sudah kubilang... Mereka suka bukan?"

Senyum lebar Desi membuat Gavin hanya mengangguk setuju. Gavin yang penasaran dengan reaksi Chan, meliriknya dan sangat terkejut saat tahu Chan sangat menghayati permainan pianonya. Tangannya tertangkup di depan dadanya, matanya tak lepas dari video di depan mereka.

Sampai akhirnya video selesai, kelas hening beberapa saat. Tapi kemudian tepuk tangan riuh menggema di kelas. Membuat Gavin salah tingkah, apalagi Inara menjabat tangannya dan memberi pujian padanya.

"Kamu sangat keren..... Permainanmu bagus.... Suka sekali...."

Gavin kembali terbang melayang, Chan yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya.

"Sepertinya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.... Permainanmu bagus sekali.... Jadi kita tidak perlu adakan ujian. Marvelous Gavin.... Good Job."

Rasa percaya diri Gavin semakin meningkat dan membuat keputusan yang mengejutkan Desi. Dia menuliskan sesuatu di mejanya.

"Aku akan menembak Inara lagi nanti setelah kelas."

Desi hanya menghela nafas dan tidak mau melarang Gavin. Rasanya akan percuma untuk melarang Gavin.

Kelas berjalan begitu lambat bagi Gavin dia ingin secepatnya mengungkapkan perasaannya pada Inara.

"Okey.... Kelas hari ini berakhir. Karena bantuan saudara Gavin kalian nggak perlu ujian. Bisa sampaikan rasa terima kasih kalian pada Gavin?"

Seluruh kelas mengucapkan terima kasih pada Gavin bersamaan. Gavin malu-malu dan salah tingkah apalagi mendengar ucapan Chan.

"Penampilan kamu keren apalagi kamu seperti habis di make over kalau sedikit rapi ha ha ha."

Chan tertawa begitu keras.

"Sudah kubilang kan?"

Desi kembali menyeringai ke arah Gavin. Gavin yang tidak mau mengakuinya memilih untuk diam saja.

Segera setelah kelas berakhir Gavin segera mencegat Inara ketika melihat sudah banyak mahasiswa yang keluar.

"Inara ada yang mau aku bicarakan, sebentar saja di sini...."

Gavin dengan gugup meminta waktu Inara.

"Oh... Oke..."

Inara memberitahu temannya untuk pergi terlebih dulu. Ketika dua teman Inara sudah keluar Gavin terlihat semakin gugup.

Desi yang berdiri di sampingnya hanya menghela nafas melihat Gavin. Dan Chan yang mengintip dari luar pintu tak kalah gugup dari Gavin.

Mengumpulkan keberaniannya Gavin mulai mengutarakan maksudnya.

"Inara.... Aku menyukaimu."

Inara tersenyum dan membalas ucapan Gavin. Desi yang tadi serius dengan Gavin kini mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Dia menatap tajam ke arah Chan.

"Terima kasih..."

Gavin kembali melanjutkan kata-katanya.

"Maukah kamu jadi pacarku?"

Inara terlihat terkejut dengan pernyataan Gavin. Dia tampak tak bisa berkata apa-apa. Apalagi melihat Gavin yang sangat gugup.

"Hah!!!"

Desi segera mendelik ke arah suara dan melihat seorang pemuda yang berteriak itu. Gavin yang kaget mendengar suara itu spontan menoleh. Chan segera bersembunyi di balik pintu.

"Gavin.... "

Suara Inara membuatnya segera mengalihkan pandangannya.

"Aku sedikit kaget. Karena baru akhir-akhir ini kita mengobrol. Jadi aku kira suka yang kamu maksud adalah suka menjadi temanku."

Gavin seperti menebak apa yang akan dikatakan Inara melihat dari wajah cemas dan bingungnya. Di samping Gavin Desi masih terus mengamati pemuda yang masih berdiri di depan pintu kelas itu tanpa berniat untuk bersembunyi. Wajahnya terlihat penasaran dan cemas.

"Aku sangat berterimakasih. Tapi aku hanya menganggapmu teman. Maaf Gavin."

Melihat wajah Inara yang cemas dan khawatir Gavin merasa bersalah. Tentu dia kecewa dengan penolakan Inara. Tapi melihat Inara yang kebingungan membuat Gavin lebih kecewa karena sudah menyulitkan gadis yang disukainya. Menarik nafas dalam Gavin kemudian tertawa.

"Ha ha ha ..... Nggak papa Inara. Aku lega karena aku sudah bilang padamu. Kamu jangan khawatir ya....."

Inara masih terlihat cemas. Tapi lagi-lagi Gavin mencoba tersenyum dengan ramah.

"Kita masih bisa berteman kan?"

Segera Inara mengangguk dengan semangat menjawab pertanyaan Gavin.

"Aku akan dengan senang hati berteman denganmu."

Gavin tersenyum menutupi rasa kecewanya. Dia merasa ingin menghilang dari tempat itu sesegera mungkin.

Riiing Riiing

Beruntung ponsel Inara berbunyi.

"Ah sorry... Temanku sudah memanggil... Mau bareng ke tempat parkir?"

Gavin menggeleng.

"Oh okey... Aku permisi ya... Ingat yaa kita akan terus berteman."

Gavin mengangguk dan masih terus tersenyum hingga Inara pergi dari kelas.

Pemuda yang tadi berteriak mengikuti Inara dari belakang. Desi benar-benar merasa aneh dengan pemuda itu. Akhirnya dia mengikuti pemuda itu dan Inara.

"Okey... Aku terima...."

Suara Gavin pelan berusaha berbicara dengan Desi. Chan yang melihat Gavin sendirian akhirnya menghampirinya.

"Aku bilang aku akan menerimanya!"

Chan kaget mendengar Gavin tiba-tiba berteriak. Gavin yang tak mendapat respon akhirnya menoleh ke arah Desi. Tapi bukan Desi yang dia dapati tapi Chan yang terbengong melihat Gavin.

"G... Kamu nggak papa?"

Gavin yang bingung tiba-tiba ada Chan segera melihat ke sekeliling kelas tapi tidak menemukan Desi dimanapun.

"G? Kamu terlalu shock jadi linglung ya?"

Chan terlihat khawatir dan mengguncang-guncang tubuh Gavin. Gavin kemudian tertawa melihat wajah panik Chan tapi Chan malah terlihat semakin panik.

"Kamu nggak gila kan? Kamu bilang kamu sudah menerima kenyataan ini tapi kenapa jadi gila gini?"

Gavin malah semakin tertawa. Saat dia sudah mulai tenang Gavin kemudian menjelaskan semuanya.

"Aku kecewa sekali. Tapi paling nggak Inara masih mau berteman denganku. Berarti aku masih ada kesempatan dong. Aku harus menerima tantangan ini dan berusaha mendapatkan hati Inara."

Chan menepuk dahinya kencang.

"Kamu sudah benar-benar gila G...."

Gavin hanya tertawa kecil dan masih mencari dimana sosok Desi berada.

"Ayolah pulang. Kita bareng ke parkiran."

Gavin menyetujui usul Chan dan langsung bergegas di parkiran. Kali ini Chan tidak pulang bersama Gavin karena membawa kendaraan sendiri.

"Kamu celingak-celinguk cari apa sih? Dari tadi kayak mencari sesuatu? Cari Inara?"

Gavin sedikit kaget dengan pernyataan Chan. Yang dia cari bukanlah Inara melainkan Desi. Dan dia hanya menimpali pertanyaan Chan dengan senyuman.

"Ya udah aku balik dulu ya G. Hati-hati!!"

Chan segera menuju mobilnya begitu juga dengan Gavin. Tapi saat membuka pintu mobilnya dia terkejut.

"Desi!!!!! Kemana aja kamu?"

Desi diam saja tanpa ekspresi dan masih menatap ke depan.

Gavin segera masuk ke mobilnya dan menyalakan mesin mobilnya.

"Hei... Aku akan menerima tawaran kalian untuk membantuku."