"Hei.... hei.... Jadi kapan kamu akan menembak Inara?"
Gavin yang akan bersiap-siap berangkat ke kampus harus mendengarkan ocehan Desi. Sepertinya dia sudah tidak mau ambil pusing dengan kecerewetan Desi.
Sambil membetulkan tali sepatunya Gavin menjawab pertanyaan Desi.
"Aku kan harus cari momen yang tepat. Kamu tahu apa itu timing?"
Desi tidak segera menjawab pertanyaan Gavin.
"Kamu mau bantu tapi kamu nggak paham masalah timing."
Dengan menyeringai dia mengejek Desi.
"Heeee..... Jangan-jangan kamu belum pernah pacaran."
Desi terlihat terkejut tapi kemudian membantah ucapan Gavin.
"Tapi kemarin aku membantumu menciptakan momen kak? Nggak ada hubungannya dengan pernah pacaran atau tidak."
Gavin yang malas mendengarkan omelan Desi keluar dari kamarnya dengan cuek.
"Hei!! Hei!!! Tunggu dulu. Lihat saja nanti kamu pasti akan minta tolong padaku."
Desi marah-marah sambil mengacungkan buket bunga di tangannya.
Gavin hanya membalasnya dengan menutup pintu tepat di depan Desi.
BRAAKK.
Desi segera menembus pintu di depannya dan kembali menguntit Gavin yang kini tengah bersiap untuk sarapan. Bu Nur sedang menyiapkan sarapan di dapur sendirian. Seperti biasa Li sudah mematung di sampingnya untuk mengawasi Bu Nur.
"Pagi Bu Nur?"
Bu Nur tersenyum mendengar sapaan Gavin dan segera menyiapkan makanan untuk Gavin.
"Nenek masih siap-siap di kamar."
Gavin mengamati seluruh ruangan. Di situ hanya ada dua manusia dan dua hantu. Dia terlihat berpikir.
"Hmmm... Ssssst...."
Dia memanggil Desi yang berdiri dengan muka masam di sebelah Gavin.
"Apa!"
Gavin sedikit terkejut dengan bentakan Desi.
'Mungkin hantu juga mengalami PMS ya?'
Pikiran konyol itu terbersit di kepala Gavin saat melihat Desi yang biasa senang saat dia ajak bicara tiba-tiba mengamuk.
"Hei... Kalian bukannya tak terpisahkan kenapa yang selalu mengikuti kamu? Dan sisanya jarang aku lihat."
Gavin berbisik sambil terus melihat ke sekeliling. Desi sekarang menyeringai dia sangat ingin membalas ejekan Gavin.
"Kamu penasaran kan?"
Gavin mengangguk dengan semangat.
"Kamu mau tahu?"
Kembali Gavin mengangguk kali ini disertai mata penuh harap menanti jawaban.
"Kalau begitu....."
Gavin sudah siap mendengarkan cerita Desi dengan serius.
"Tanya mereka sendiri!!"
Gavin melongo mendengar jawaban Desi. Dia akan memarahinya tapi Bu Nur sudah di depannya sembari membawa sarapan untuk mereka.
"Mas Gavin kenapa? Kelihatannya kesal sekali?"
Gavin dengan kesal menjawab pertanyaan Bu Nur.
"Ooh... Ada tikus Bu... Buat kesal dia suka bikin rusuh di kamar."
Desi kembali kesal mendengar dirinya disebut tikus oleh Gavin.
"SUDAH KU KATAKAN AKU BUKAN TIKUS!!!"
Angin kencang entah dari mana datang membuat taplak meja makan Gavin berkelebat. Dan tentu saja membuat Bu Nur ketakutan. Karena tidak ada pintu atau jendela yang terbuka.
"Mas Gavin.... Aneh banget ini kok sering tiba-tiba ada angin di sini."
Gavin hanya mengangkat pundaknya sambil tertawa.
Tak lama kemudian neneknya keluar dari kamar. Dari belakangnya ada Gramps dengan wajah datarnya ikut menuju meja makan. Gavin memandang dengan aneh ke Gramps. Dia tidak tahu detail tentang cerita para hantu di rumahnya. Satu hal yang dia tahu mereka terikat sesuatu di sana dan masih punya keinginan yang belum terselesaikan.
"Makaaaaan!!!!! Makaaaaan!!!!!"
Dari kamar Gavin, Bungsu berlari menuju meja makan. Karena kaget Gavin sontak bertanya pada Bungsu.
"Heh darimana saja kamu?"
Tapi karena Bu Nur dan nenek juga mendengar pertanyaannya. Mereka bersama Bungsu berbarengan menjawab pertanyaan Gavin.
"Nenek dari kamar."
Neneknya menyahut dan langsung duduk di depan Gavin.
"Aku kan dari tadi di kamar sama kalian Gavin."
Bungsu tak mau ketinggalan langsung duduk di sebelah Gavin sambil terus mengayunkan kakinya.
"Lah kan saya dari tadi siapin sarapan sama Mas Gavin."
Bu Nur yang ikut bingung hanya mematung masih membawa sayur untuk sarapan Gavin.
"He he he.... Maaf.... Nggak seru kalau cuma sarapan sendiri."
Sambil cengengesan Gavin mencoba mencairkan suasana. Tapi dia masih bingung dengan jawaban Bungsu. Karena sedari tadi dia tidak melihatnya di kamar.
Gavin melihat sekeliling dan sepertinya sedikit puas karena sekarang sudah lengkap semua squad hantu itu. Tak butuh waktu lama dia segera menyelesaikan sarapannya.
"Nek. Mungkin minggu depan anak-anak bakal kesini bersihin gudang. Minggu ini adik kelasku masih ada jadwal tes jadi baru bisa beresin gudang minggu depan."
Semua hantu di ruangan itu langsung menoleh ke arah Gavin. Memang kepala mereka tidak berputar 180 derajat atau seperti kebiasaan mereka saat marah matanya berubah merah. Tapi tatapan tajam mereka sukses membuat Gavin merinding.
"Waaah.... Pasti akan ramai ya... Bu Nur kita bikin kue ya."
Mengurangi ketakutannya Gavin meringis dan setenang mungkin menjawab neneknya.
"Ha ha.... Nggak perlu repot-repot nek. Kami cuma mau menata gudang aja, dan cek alat di sana."
Tiba-tiba saja bungsu dengan semangat naik ke kursi dan berdiri.
"Kamu mau nyanyi!!!"
Gavin menelan ludahnya untuk mengeluarkan suaranya yang seperti tertahan di tenggorokan karena melihat wajah para hantu dewasa yang masih tanpa ekspresi.
"Kalau memungkinkan nanti bakal latihan sebentar nek."
Gavin menjawab bungsu dengan pura-pura memberitahu neneknya.
Gavin masih menunggu respon dari para hantu itu kalau-kalau mereka akan marah. Tapi bak mentari yang tiba-tiba bersinar setelah hujan badai.
Wajah mereka langsung berubah menjadi ramah. Bahkan Gramps dan Li yang susah ditebak ekspresinya terlihat ramah.
"Teman!!! Kita akan lihat Gavin nyanyi!!!! Hore!!!"
Bungsu berjingkrak kegirangan dan di sambut dengan sorakan dari hantu yang lain. Gavin bernafas lega melihat respon baik dari para hantu itu. Dan kembali dia melontarkan kalimat yang dijawab kompak oleh penghuni ruangan itu.
"Segitu senangnya ada orang kemari!"
Seluruh penghuni ruangan beda alam itu menoleh ke arah Gavin dan dengan ceria mereka menjawab.
"Tentu saja!!!"
Gavin yang kaget hanya bisa melongo dan segera menyelesaikan sarapannya.
Setelah dia membersihkan semua sajian di meja makan. Dia pamit pada neneknya untuk ke kampus.
Orang awam pasti hanya melihat neneknya dan Bu Nur yang mengantar Gavin ke depan. Tapi di mata Gavin ada serombongan orang melepas kepergiannya.
"Haaah.... Ternyata rumah ramai juga ya..."
Desi sepertinya sudah kembali ceria, dia menjawab Gavin dengan senyuman lebar. Sepanjang perjalanan pun dia heboh melihat jalanan.
"Kamu mau duduk di depan?"
Desi memandang aneh ke Gavin.
"Ah aku bisa duduk di atap kalau kamu merasa aku berisik."
Gavin seperti menyadari kesalahannya.
"Tentu saja kamu bisa melayang di luar..."
Desi kembali terlihat bingung.
"Huh?"
Gavin hanya tersenyum dan kembali menjawab Desi.
"Kamu bisa melihat dengan jelas kalau duduk di depan dan tentunya masih di dalam mobil seperti manusia."
Desi terlihat sangat senang dengan tawaran Gavin. Tanpa buang waktu dia segera berpindah ke depan. Dan dengan penasaran melihat jalanan yang mereka lalui.
"Setidaknya kamu dalam mode senyap saat asyik melihat pemandangan ha ha ha."
Desi tak mengomentari lagi ucapan Gavin karena terlalu hanyut menikmati pemandangan di depannya. Sesampainya di kampus dia langsung menuju ke kelasnya. Di sana sudah ada Chan yang menunjuk ke arah kursi di sampingnya. Dan betapa terkejutnya dia ketika tahu yang duduk di depannya adalah Inara.
"Hei... Kamu benar-benar teman sejati."
Chan mengusap rambutnya yang terikat ke belakang dengan sombong.
"Tentu saja aku harus memanfaatkan kesempatan ini untuk menolong temanku."
Gavin terus memandangi Inara sepanjang kelas. Tapi bukan Desi kalau tidak mengganggunya.
"Daripada melamun sebaiknya kamu menulis materi kelasmu."
Gavin mendengus dan mencatat sesuatu.
"Kamu akan mencatat materi kelas?"
Alih-alih mencatat materi di kelasnya dia malah mencatat sesuatu yang membuat Desi terlihat penasaran.
"Grand Plan Mendapatkan Cinta Inara."
Desi yang penasaran, berjongkok dan menempelkan kepalanya di meja Gavin. Melihat tulisan apa yang dibuat Gavin.
"Satu mengirimkan surat pernyataan cinta padanya."
Baru poin pertama Desi sudah tertawa terbahak-bahak.
"Kamu kuno sekali..... Tinggal kamu bilang di depannya langsung kan? Selesai perkara."
Gavin langsung mencoret tebal-tebal tulisannya. Dan dengan marah dia menuliskan rencana keduanya.
"Mengajaknya mengobrol dan mencari momen baru menembaknya."
Kembali Desi tertawa.
"Kamu sekarang sudah sangat dekat dengannya kenapa kamu tidak menembaknya sekarang!"
Gavin kembali mencoret rencananya. Dan menuliskan poin ketiganya.
"Memberikan bunga mawar dan menembaknya di tempat romantis."
Kembali Desi menyindirnya.
"Kamu pasti akan langsung ditolak."
Dengan marah Gavin akhirnya menuliskan pertanyaan pada Desi.
"Kalau semua rencanaku kamu bilang gagal. Kamu nona jomblo punya rencana apa buatku?"
Melihat tulisan Gavin, Desi terlihat kesal tapi dia mencoba untuk meredam emosinya.
"Nona jomblo ini mau menjawabnya kalau kamu mau menerima bantuan kami."
Gavin langsung menulis penolakannya dengan cepat. Belum selesai Gavin menulis Desi langsung menjawabnya.
"Aku tahu kamu akan menolaknya. Dan bilang kalau kamu tidak butuh bantuan. Kalau begitu tunjukkan Gran Plan mu itu berhasil padaku. Kayak rencanamu bagus aja!"
Mendengar jawaban ketus dari Desi, Gavin tanpa sadar menggebrak mejanya.
BRAAKK....
"Oke!!! Siapa takut!!!"
Teman-teman sekelasnya menoleh ke arah Gavin tak terkecuali Inara. Chan memukul dahinya dengan keras dan hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Kamu benar-benar bunuh diri G."
Gavin terlihat malu saat tahu dirinya berbicara dengan keras. Tapi sangat kaget ketika dosennya memberikan tepuk tangan pada Gavin.
"Wah!!! Benar-benar anak muda yang berani mengambil tantangan. Bapak mengapresiasi sekali kemauanmu."
Gavin terlihat bingung dan bertanya-tanya setengah berbisik pada Chan.
"Ngapain aku sampai dapat tepuk tangan meriah dari anak-anak?"
Chan menggelengkan kepalanya dan menjelaskan pada Gavin yang masih berdiri menunggu riuh kelas berhenti.
"Kamu sudah terima tantangan dari Profesor. Dia akan membebaskan kita tidak ada ujian minggu delan kalau ada yang berani mengambil tantangannya."
Gavin mengeluarkan keringat dingin mencoba mendelik ke arah Desi yang masih cengengesan melihatnya.
"Dan tantangannya adalah?"
Belum sempat Gavin menjawab, dosennya sudah menjawab keingintahuannya.
"Selamat ya anak-anak kalian hanya perlu berterima kasih pada?"
Dosennya melirik padanya untuk tahu siapa namanya.
"Ga... Gavin."
Gavin tergagap menjawab dosennya.
"Yah.... Gavin... Kamu minggu depan akan memberi contoh aransemen lagu atau instrumen menjadi tiga genre musik. Saya minta contohnya musik klasik. Kamu aransemen dengan satu alat musik saja. Gubah menjadi tiga genre musik."
Gavin hampir terduduk lemas mendengarnya. Dan dengan muka pucat menoleh ke arah Chan.
"Musik klasik? Tiga gubahan?"
Chan hanya mengangguk lemas.
"Tepuk tangan lagi untuk Gavin. Kamu benar-benar risk taker. Berikan tepuk tangan pada Gavin!"
Riuh kembali terdengar mulai dari siulan, tepuk tangan sampai ucapan terimakasih. Dan yang paling keras adalah dari Desi. Dia dengan wajah tanpa dosa ikut bergembira dengan teman sekelasnya.
"Wohoooo.... Kamu keren Gavin."
Gavin melotot tajam padanya. Tapi seketika melunak saat Inara menoleh padanya.
"Kamu benar-benar berani. I like that! Thanks ya! Kamu sudah menyelamatkan kami."
Gavin seperti melayang mendengar ucapan Inara. Tapi langsung jatuh tersungkur saat dosennya kembali berbicara.
"Ingat ya minggu depan. Kalau kamu tidak bisa bawa alatnya boleh kamu buat videonya buat kita tonton."
Dan akhirnya dia terduduk lemas di kursinya. Kuliah berakhir dengan menyenangkan bagi temannya tapi menyebalkan bagi Gavin.
Semua yang di kelas memberinya ucapan terima kasih. Termasuk Inara yang menghampirinya saat kelas selesai.
"Gavin... Kamu benar-benar keren."
Seperti yakin dia mempunyai kesempatan. Gavin kembali mengungkapkan perasaannya pada Inara.
"Aku suka kamu Inara."
Inara tersenyum dengan manis. Gavin melirik ke arah Desi merasa dirinya sudah menang. Desi terlihat kaget dengan adegan di depannya.
"Terima kasih aku juga suka punya teman seperti kamu."
Perasaan bangganya runtuh mendengar tanggapan Inara.
"Hah? Maksudku suka yang...."
Dari luar teman Inara memanggilnya. Terburu-buru dia pamit pada Gavin dan Chan yang sedang menahan tawanya.
"Suka sebagai teman? Ha ha ha ....."
Gavin melotot ke arah Chan.
"Ha ha ha ha... Keren sekali jawaban Inara."
Kini Gavin mendelik ke arah Desi. Sepertinya dia bertekad akan memarahi Desi habis-habisan saat pulang nanti.
"Sudahlah fokus sama tugas penyelamatan duniamu dulu. Kamu sudah ada rencana? Tapi beneran bro... Kamu keren sekali tadi."
Gavin ingin berteriak dan bilang kalau itu bukan kemauannya. Dan itu semua adalah ulah hantu cerewet di sampingnya.
"Nggak tahu... Dan tiga genre satu lagu? Memang terlalu profesor kita."
Gavin mendelik ke arah Desi yang terlihat sedikit ketakutan.
"Iya... Dia kan terkenal suka aneh-aneh kalau bikin tugas. Kalau butuh bantuan kamu bisa bilang."
Gavin terharu mendengar kata-kata Chan.
"Terima kasih, terima kasih. Kalau begitu kerjakan tugasnya yaa...."
Chan memukul punggung Gavin dan memarahinya.
"Enak aja kamu yang ambil tugasnya kenapa aku yang kerjakan."
"Hah... Iya kamu sudah baik mau membantuku. Beda dengan seseorang yang bikin masalah tapi nggak merasa berdosa sama sekali."
Gavin melihat Desi yang terlihat merasa bersalah.
"Aku bisa membantumu. Aku akan pikirkan caranya."
Gavin pergi meninggalkan Desi dan keluar bersama Chan.
"G... Bareng ya pulangnya. Mobil masuk bengkel. Motorku dibawa bapakku buat ngantor."
Gavin mengangguk dan menoleh ke belakang melihat Desi yang tampak menunduk sedih. Gavin sama sekali tidak menghiraukan Desi yang minta maaf selama perjalanan menuju tempat parkir.
Desi yang akan masuk ke mobil bagian depan segera berhenti karena Chan segera menyerobot untuk membuka pintu mobil.
Desi dengan sedih memilih duduk di belakang. Gavin yang melihatnya menjadi sedikit tidak tega.
"Aaah... Kamu kayaknya lebih baik pindah ke belakang deh Chan. Tadi pas buka pintu aku lihat ada kotoran tikus di situ. Belum sempat aku cuci."
Desi yang mendengarnya akan marah. Tapi mengingat Gavin masih kesal padanya dia menahan amarahnya dan kembali menunduk.
"Heiiiii!!! Nggak bilang dari tadi."
Chan melompat keluar dengan cepat dan segera duduk di belakang. Gavin kembali berkomentar.
"Bagus, duduk di belakang saja. Soalnya dia suka di depan. Yaaah siapa tahu dia balik lagi ke depan?"
Desi mendongak dan menatap Gavin dari kaca spion. Terlihat Gavin meliriknya dan menyuruhnya untuk duduk di depan.
"Aku nggak bakal duduk di depan lagi!!!"
Chan berteriak kesal. Desi mencondongkan badannya ke depan ke arah kursi Gavin. Dan bertanya kepada Gavin.
"Aku boleh duduk di depan?"
Gavin tertawa kecil dan menjawab pertanyaan Desi.
"Nggak papa duduk di depan kalau mau."
Chan yang tidak tahu Gavin bicara pada Desi menimpalinya lagi dengan keras.
"Nggak!!!"
Desi terlihat bahagia dan langsung duduk di kursi depan.
"Maaf aku selalu buat masalah."
Sambil menghela nafas Gavin memperingatkan Desi setengah berbisik.
"Haaaah.... Bantu aku menyelesaikan tugas kalau begitu."
Desi mengangguk dengan gembira. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan pulang.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
"Jadi kamu mau membantunya menyelesaikan tugasnya?"
Bungsu bertanya pada Desi sambil terus loncat-loncat di kasur Gavin.
"He em..."
Gramps yang berdiri di sudut kamar membuka-buka catatan Gavin yang dia geletakkan begitu saja di atas meja.
"Kamhu... Banthuuu.... Gimanhaa..."
"Aku juga masih bingung."
Li merasa penasaran bagaimana Desi mau membantu Gavin menyelesaikan tugasnya. Gramps melambaikan tangannya pada Bungsu untuk mendekat ke arahnya.
Bungsu menurutinya dan melihat buku-buku milik Gavin. Sekarang terlihat buku-buku itu seperti berbalik sendiri.
Tiba-tiba aktivitas mereka berhenti saat Gavin masuk ke kamarnya. Dan terkejut squad hantu tengah menjadikan kamarnya sebagai markas mereka.
"Haaaah... Kalian pindah markas ke sini sekarang?"
Dan melihat-lihat kamarnya, seprainya terlihat sedikit kusut dengan beberapa mainan kertas berserakan di atasnya. Bukunya yang memang sudah berantakan terlihat semakin acak adut karena sudah dibuka buka.
"Kalian harus diajari menjaga privasi sepertinya. Sudah kalian keluar saja ya... Aku mau planning tugas dari dosen."
Desi segera menjawabnya.
"Aku kan mau bantu kamu."
Gavin tertawa mendengar keteguhan hati Desi.
"Ha ha bagaimana kamu mau bantu.... Kalian tidak berisik saja sudah sangat membantu."
Desi dan teman-temannya memilih keluar. Diluar tampak nenek sedang bersiap untuk memainkan pianonya.
Gramps terlihat senang dan duduk di samping nenek. Desi dan Li berdiri di samping piano nenek. Bungsu dengan gembira berdiri di samping nenek sambil antusias menanti agar piano itu dimainkan.
Saat nenek memainkan pianonya Desi terlihat menikmatinya. Jarinya ikut bergerak mengiringi irama piano yang mengalun seakan dia tahu setiap nada yang dimainkan oleh nenek.
Li tak kalah menghayati alunan piano nenek. Wajahnya yang tampak separuh terlihat tersenyum dan kepalanya mengangguk mengikuti melodi lagu.
Gramps dan Bungsu pun terlihat bahagia mendampingi nenek memainkan pianonya.
Saat semua menikmati lagu yang dibawakan nenek, di tengah-tengah lagu Desi terlihat terkejut dan jarinya tiba-tiba berhenti.
"Huh! Kenapa berubah?"