"Huh! Sepertinya agak berbeda dari yang aku tahu."
Alunan nada piano nenek Gavin terdengar semakin lembut dan menenangkan. Desi awalnya terlihat bingung tapi kemudian senyum menghiasi wajahnya dan dia segera berlari ke arah kamar Gavin. Tanpa pikir panjang dia menembus pintu kamarnya dan berteriak kegirangan.
"Gavin!!! Aku tahu bagaimana membantumu."
Gavin yang sedang serius menulis aransemen lagu di bukunya sangat terkejut karena teriakan Desi.
"Desi.... Kamu bisa nggak ijin dulu kalau masuk."
Gavin menoleh ke arah Desi yang terlihat sangat senang.
"Aku bisa memberimu ide soal tugasmu..."
Awalnya Gavin terlihat serius tapi setelah mendengar perkataan Desi dia langsung tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha.... Kamu bantuin aku!"
"Aku serius!!!"
Melihat Desi yang terlihat menyeramkan karena diremehkan Gavin, Gavin segera menghentikan tawanya sambil mengusap airmata yang keluar karena saking kerasnya dia tertawa.
"Sudahlah... Kamu paling juga nggak paham sama tugas dari dosenku."
Desi semakin kesal karena diremehkan Gavin.
"Paling tidak dengar dulu apa ideku!!"
Gavin hanya mengibaskan tangannya mengusir Desi dan kembali fokus melihat bukunya.
Suara alunan piano nenek Gavin masih terdengar jelas. Desi yang sudah tidak sabar tiba-tiba tersenyum jahil dan memulai keisengannya.
Dia mencoba untuk masuk ke tubuh Gavin dan mulai mengontrol tubuh Gavin. Gavin yang kaget karena tubuhnya bergerak sendiri berteriak pada Desi.
"Hei!!!! Kamu apain tubuhku!!!"
Gavin masih tidak mendapat jawaban dari Desi. Sekuat tenaga dia berpegangan pada mejanya agar tidak ditarik keluar.
Desi yang ada didalam tubuh Gavin juga tidak mau kalah untuk menariknya. Melihat Gavin yang masih tidak bergerak keluar, Desi akhirnya keluar dari tubuh Gavin. Gavin yang merasakan Desi keluar dari tubuhnya langsung mendelik ke arah Desi.
"Kamu apa-apaan sih!!! Sudah ku bilang aku nggak mau."
Melihat Gavin yang sudah melepaskan pegangannya dari meja, Desi langsung masuk lagi ke tubuhnya dan menariknya keluar.
BRAAK
Suara keras terdengar dari balik pintu kamar Gavin.
"Heii!!! Kamu lupa aku manusia?"
Desi menoleh ke belakang dan melihat pintu kamar Gavin masih tertutup. Dia langsung tertawa mendengar suara keras dari dalam kamar akibat tubuh tinggi Gavin yang menabrak pintu.
Desi pun kembali ke kamar Gavin masih cekikikan karena melihat Gavin bersungut kesakitan.
"Sorry... Hi hi."
Gavin bersungut-sungut sambil mengusap dahinya.
"Awas saja kalau ternyata mengecewakan."
Desi bersemangat karena Gavin bersedia untuk mengikutinya. Karena Desi sangat bersemangat kembali dia menarik Gavin dengan sangat keras alhasil Gavin hampir terjungkal saat keluar dari kamarnya.
Gavin kemudian mendelik lagi ke arah Desi.
"Sorry..."
Gavin hanya mendengus kesal.
"Huh! Kamu mau menunjukkan apa!"
Desi berjingkat bahagia sambil menunjuk ke arah nenek yang masih memainkan pianonya.
Gavin kemudian mendekat tapi neneknya sudah usai memainkannya.
"Minta nenek buat mainin lagi."
Gavin menghela nafas mendengar permintaan Desi, dengan langkah gontai dia mendekati neneknya.
"Oooh Gavin... Nenek mengganggumu kah?"
Gavin menggelengkan kepalanya.
"Nek, boleh mainkan lagu yang barusan nenek mainkan?"
Neneknya tersenyum kemudian memainkan lagi pianonya. Alunan melodi yang familiar bagi Gavin mulai terdengar.
"Huh? Canon in D?"
Gavin memandang ke Desi yang masih serius mendengar suara piano itu. Jarinya terlihat bergerak-gerak mengikuti alunannya.
Gavin mendekatinya dan berbisik padanya.
"Kamu bercanda? Canon in D? Lagu sederhana itu?"
Desi menyuruh Gavin untuk diam dan mendengarkan sebentar.
"Sssst.... Diam dan dengarkan sebentar lagi!"
Gavin bersungut kembali tapi seketika ekspresinya berubah kaget saat melodi Canon in D yang dimainkan neneknya berubah menjadi lebih lembut dan menenangkan dari versi original. Nada original yang biasa lebih energik dimainkan dengan lembut oleh neneknya. Seolah dia mendengar seorang kekasih yang sedang bercerita pada pasangannya, begitu lembut dan menarik hati.
"Huh!"
Melihat wajah Gavin yang terkejut, Desi tersenyum lebar.
"Indah bukan? Kamu bisa ambil lagu 'sederhana' ini untuk tugasmu?"
Gavin masih terbengong mendengar alunan piano dari neneknya. Begitu neneknya selesai Gavin kemudian mendekati neneknya dan bertanya padanya.
"Nek! Superb.... Lagu sederhana itu bisa terdengar berbeda?"
Neneknya tertawa melihat Gavin terlalu bersemangat.
"Ha ha ha... Semua ini bisa terjadi karena kamu mengajari nenek nonton videomu... Nenek menemukan gubahan Canon in D dari Lee Galloway. Nenek suka, lalu nenek coba mainkan."
Gavin masih terlihat terkejut mendengar penjelasan neneknya.
"Gara-gara Gavin!"
"Ha ha ha... Indah bukan versi yang ini. Tidak kalah dari versi aslinya?"
Neneknya tertawa kembali.
"Indaaah!! Indaaah!!! Mainkan lagi!!!"
Bungsu berteriak dan meloncat-loncat mengitari nenek. Gramps dan Li hanya bertepuk tangan mendengar komentar Bungsu.
"Aaah lagu sederhana ini bisa terdengar semakin menarik."
Neneknya menatap Gavin dan berbicara lembut padanya.
"Nadanya berulang seiring lagunya diputar, semakin lama nadanya terus bertambah menjadi indah dan menarik. Seperti kita yang terus hidup dan merasakan perubahan sedikit demi sedikit dari hari ke hari. Bukan begitu Gavin?"
Gavin tersenyum mendengar kalimat neneknya. Desi dan teman-temannya mengangguk-angguk membenarkan perkataan neneknya.
"You are the best nek!"
"Ha ha ha... Nenek hanya mengutip dan belajar dari video online. Soalnya bulan depan nenek bakal buka kelas lagi. Sudah banyak murid nenek yang menanyakan."
Gavin menghela nafas mendengar semangat neneknya.
"Yang penting nenek sembuh dulu. Okey?"
Neneknya tersenyum kembali.
"Sekarang nenek ajarin aku aja ha ha ha. Seperti waktu kecil dulu. Aku sedang ada tugas nek."
Gavin kemudian menceritakan tugas yang diberikan dosennya pada neneknya.
"Oh... Kamu bisa kan sesuaikan dengan style kamu? Lagu ini sederhana tapi bisa kamu sesuaikan dengan style kamu."
Gavin melirik Desi yang mengangguk-angguk setuju pada ucapan nenek.
"Nenek akan ajari kalau ada yang tidak kamu pahami. Ha ha."
"Thank you nenek!!!"
Gavin dengan senang memeluk neneknya dan langsung kembali ke kamarnya untuk menyusun tugasnya.
Squad hantu yang penasaran mengikuti Gavin ke kamar.
"Semanghaaat Gavhiiin!"
Li memberi semangat pada Gavin, Gramps hanya memberikan dua jempol pada nya. Dan Bungsu tidak terlihat dimanapun.
"Band kamu punya aliran musik apa?"
Desi bertanya pada Gavin yang masih sibuk menulis sesuatu di bukunya.
"Rock? Dan jazz?"
Desi membaca tulisan Gavin yang ada di buku kemudian mendekati Gavin dan terus bertanya.
"Kamu yakin bisa mempelajarinya dalam waktu seminggu?"
Gavin menoleh dengan cepat ke arah Desi, membuat Gramps dan Li terkejut.
"Jangan remehkan kekuatan manusia biasa seperti aku!"
Ketiga hantu dewasa di kamar itu tergelak mendengar pengakuan Gavin. Gavin mengacuhkan mereka bertiga dan kembali fokus pada tugasnya.
Selama hampir dua hari dia tidak meladeni omelan dan ocehan Desi. Tidak pernah marah-marah saat para hantu itu berkumpul di kamarnya. Ataupun jika Bungsu meloncat-loncat di atas kasurnya.
Dia sangat fokus mempersiapkan tugasnya. Pulang dari kampus dia akan segera ke kamar. Dan akan keluar kamar kalau neneknya sedang main piano atau untuk menanyakan sesuatu pada neneknya.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
"G... Kamu udah dapat ide? Sudah hampir 3 hari ini."
Gavin menatap Chan dan memberikan senyum lebar padanya.
"Jangan khawatir.... Semuanya lancar!!"
Chan yang mengeluarkan bukunya dari tas mendadak berhenti karena curiga dengan senyum yang diberikan Gavin.
"Kamu nggak gila kan gara-gara mikirin tugas?"
Gavin hanya meringis pada Chan.
"Gavin?"
Desi yang sedari tadi di samping Gavin, menoleh mendengar suara yang memanggil Gavin.
"Inara... Ha.. Hai!!"
Inara duduk di depan Gavin. Yang lebih mengejutkan dia mengajak Gavin mengobrol hingga membuat Chan dan Desi terperangah dengan kemajuan hubungan mereka.
"Gimana tugas dari kelas Pak Henri? Semoga semua lancar.... Jangan terlalu dipikirkan."
Gavin terlihat sangat bahagia mendengar dukungan Inara.
"Wow.... Dia menyemangati mu Gavin!"
Desi tiba-tiba bersuara. Namun Gavin tidak merespon apa-apa karena dia masih fokus pada Inara.
"Thanks."
Gavin menjawab Inara dengan cengiran kuda di wajahnya.
"Kami tidak akan menyalahkanmu kalau kamu tidak bisa menyelesaikannya. Kamu sudah keren mau mengambil tantangannya."
Gavin tambah semakin melayang mendengarnya. Keberaniannya menggebu-gebu untuk bilang pada Inara kalau dia sudah lama mengaguminya. Chan yang mendengar pujian Inara pun seakan tak percaya.
"Aku juga menganggap kamu keren. Dan aku sudah lama su-...."
BRUUUK
Tumpukan buku Gavin jatuh menyebabkan kalimatnya terpotong. Pembicaraan mereka pun harus terhenti tak kala dosen Gavin masuk ke ruang kelas.
"Sssst.... Hei..."
Gavin memanggil Desi yang sedang serius memandang keluar pintu. Tapi segera berpaling saat mendengar suara Gavin.
Gavin menunjuk ke arah bukunya. Dan kemudian menuliskan sesuatu.
"Kamu kan yang menjatuhkan bukuku."
Desi kemudian mengalihkan matanya kembali ke arah pintu.
"Itu kan momen yang pas buat aku mengatakan kekagumanku padanya."
Desi kemudian menghela nafas dan menjelaskan pada Gavin.
"Kamu terlalu terburu-buru. Katanya mau menciptakan momen dan timing. Nyatanya kamu selalu tembak di tempat tanpa lihat situasi."
Gavin hanya mendengus mendengar pembelaan Desi.
"Hei... Gavin kamu pernah lihat anak laki-laki yang selalu ikut sama Inara nggak?"
Gavin bingung dengan pertanyaan Desi.
"Anak laki-laki? Temannya cewek semua."
Desi terlihat terkejut dan kembali melihat ke arah pintu.
"Itu... Dari kemarin aku lihat dia beberapa kali jalan sama Inara."
Gavin menoleh ke arah luar tapi tidak melihat apa-apa.
"Mana? Nggak ada siapapun."
Desi menoleh dan memang tidak melihat siapapun disana.
"Sudahlah mungkin kawan hantumu yang nggak sengaja sering lewat di sini."
Desi masih terlihat tidak puas tapi akhirnya memilih diam karena dia tidak bisa membuktikannya pada Gavin.
Kelas selama 1,5 jam itu terasa cepat berlalu bagi Gavin. Tak mau kehilangan kesempatan Gavin menawarkan untuk mengantar Inara pulang.
"Benar-benar cepat tanggap anak itu."
Desi mengangguk seperti setuju dengan ucapan Chan.
"Oh terima kasih tapi aku bawa mobil Gavin. Kita bareng aja ke parkiran."
Walaupun dia kecewa ditolak oleh Inara tapi dia masih bahagia karena dia akan punya waktu sebentar bersama Inara.
Triing Triing
Gavin melihat ponselnya, disitu ada pesan Chan yang menyuruhnya untuk duluan agar punya waktu mengobrol dengan Inara.
Gavin memandang penuh haru ke arah Chan yang lagi-lagi menolongnya. Dan mengiriminya pesan penuh emoji hati.
Gavin merasa gugup berjalan di samping Inara. Desi yang melihat itu sudah gemas dan memberi saran pada Gavin.
"Tanya padanya... Dia punya pacar atau cowok yang ditaksir? Kenapa dia pulang sendiri."
Gavin mendelik dan berbisik ke Desi yang berada di sampingnya.
"Dia nggak ada pacar!! Sssst."
Dengan gagap Gavin bertanya pada Inara.
"Ka... Ka ... Kamu balik sendiri tidak dijemput siapa-siapa?"
Inara tersenyum dan menjawab pertanyaan Gavin.
"Ha ha ha... Tidak ada yang menjemput."
Jawaban itu sukses membuat Gavin bahagia karena artinya Inara tidak punya pasangan.
"Lain kali aku bisa menumpang padamu saat pulang."
Kembali merasa keberaniannya terkumpul. Dia mengatakan perasaan sukanya pada Inara.
"Kalau kamu mau aku akan mengantarmu tiap hari karena... Karena aku suka kamu Inara."
Inara tertawa dan menepuk pundak Gavin dengan bersemangat.
"Ha ha ha.... Kamu memang teman yang bisa diandalkan... Aku senang cowok humoris seperti kamu."
Gavin melongo mendengar jawab Inara yang sudah melangkah menuju mobilnya.
"Aku duluan ya.... Sampai ketemu besok!"
Gavin masih mematung dan tak bisa berkata-kata.
"Ha ha ha....."
Suara tawa sangat keras terdengar dari arah belakang Gavin. Gavin seketika menoleh. Dan di sana dia melihat Chan memegangi perutnya sambil tertawa.
"Chan!!!"
Sedang Desi tidak bereaksi apa-apa tapi malah mematung memandang ke arah mobil Inara.
"Kamu kasihan sekali menembaknya tapi dia tidak paham sama sekali."
Chan masih tergelak melihat Gavin. Tahu sahabatnya akan mengejeknya terus-terusan dia kemudian meninggalkannya. Tanpa menunggunya dia masuk ke mobil langsung memacunya pulang ke rumah.
"Hei!!! G!!! Aku kan mau pulang bareng kamu!!!"
Dalam perjalanan Desi hanya diam saja. Dia yang biasanya ceria dan kelebihan kata-kata kini hanya terdiam.
Gavin penasaran dengan perubahan sikap Desi akhirnya buka suara.
"Kamu aneh sekali hari ini, dari tadi diam saja."
Desi masih tidak merespon kata-kata Gavin.
"Hello!!! Nona Desi."
Desi seketika menoleh saat Gavin dengan keras memanggilnya.
"Ah yaa... Kenapa?"
Gavin hanya mendengus dan kembali menyetir.
"Gavin... Kamu tadi lihat anak laki-laki yang pakai baju putih dengan rompi sweater biru. Celana jeans biru? Yang tadi lewat di samping Inara?"
Gavin berpikir sebentar.
"Aaah... Ya mungkin... Tapi aku tidak terlalu memperhatikan."
Desi masih terlihat berpikir tentang orang yang dia sebutkan tadi. Sepertinya dia penasaran dengan orang yang tadi dia temui.
Sampai di rumah pun Desi juga masih terlihat serius.
"Aneh banget dia. Biasanya dia nggak bisa diam."
Gavin pun juga merasa aneh dengan sikap Desi. Tapi dia tidak mau ambil pusing karena masih ada tugas yang harus dia kerjakan.
"Gaviiiin!!!! Hari ini kamu main piano lagi?"
Bungsu tiba-tiba berlari menghampirinya saat masuk rumah. Diikuti Gramps dan Li yang sepertinya penasaran.
"Yup... Aku sudah dapat contoh gubahannya. Aku akan latihan hari ini. Nenek yang akan mengawasi. Jadi lusa bisa kubuat videonya untuk dikumpul-.."
Tiba-tiba Gavin berhenti berbicara karena merasa aneh dengan dirinya sendiri.
"Ngapain juga aku jelasin rencanaku pada hantu-hantu ini."
Gavin menghela nafas dan menuju kamarnya. Dia masih sempat melirik Desi yang terlihat masih memikirkan sesuatu.
Tapi saat akan membuka pintu kamar Desi segera menghampiri Gavin.
"Gavin!!! Kamu mau latihan? Aku mau nonton ya!!"
Gavin hanya menggelengkan kepalanya dan berdecak.
"Sepertinya kamu sudah normal."
"Normal?"
Wajah Desi yang kebingungan membuat Gavin gemas.
"Huuh!! Kamu diam saja dari tadi seperti hantu saja. Tanpa suara sepanjang jalan, muka juga tanpa ekspresi."
"Tapi aku kan hantu."
Gavin seketika teringat kalau gadis mungil di depannya berbeda alam dengannya. Akhirnya karena salah tingkah dan malu, dia langsung masuk kamar.
Desi tetap mengikutinya dan kembali bicara.
"Hmm.... Ada yang aneh dengan Inara. Tapi aku belum bisa memastikannya."
Gavin langsung bereaksi mendengar nama Inara disebut.
"Yang aneh itu kamu... Bukan Inara."
Desi merengut dan menyilangkan kedua tangannya di dada mendengar tanggapan Gavin.
"Kamu juga gagal lagi nembak Inara."
Gavin mendelik ke arah Desi dan melontarkan kekesalannya.
"Lain kali aku pasti berhasil. Nanti setelah penyerahan tugas ini aku akan langsung bilang padanya lagi. Aku akan bawa bunga dan menembaknya lagi."
Gavin langsung keluar kamar dan langsung menuju piano neneknya. Desi menyusulnya dan sudah melihat Gavin di kelilingi sahabat hantunya.
Gavin mulai memainkan pianonya. Semuanya diam mendengarkan tak terkecuali Desi. Diawal lagu Desi masih mengikuti alunan piano Gavin dengan menggerakkan jarinya. Di menit kedua nadanya berubah menjadi keras dan semakin lantang.
Desi terpana melihat permainan Gavin. Dia tahu Gavin berlatih tanpa henti untuk tugasnya tapi dia belum pernah mengikutinya dari awal sampai akhir karena Gavin sering berhenti dan membuat catatan. Baru hari ini dia memainkan lagunya secara keseluruhan.
Alunan Canon in D versi Gavin kali ini lebih cepat dan lebih keras, berbeda dari nada lembut romantis yang neneknya mainkan.
"Rock."
Desi menggumam dan tersenyum melihat permainan Gavin. Setelah Gavin selesai para hantu memberinya tepuk tangan meriah. Nenek yang dari luar segera menghampirinya.
"Luar biasa... Kamu dapat contoh gubahan lain Gavin?"
Neneknya terlihat bersemangat bertanya pada Gavin.
"Iya nek... Ini adalah Canon in D versi..."
"Rock."
Desi melanjutkan perkataan Gavin tanpa ragu. Gavin refleks melirik Desi dan tersenyum pada neneknya.
"Versi Rock nek... Kayak bandku."
Neneknya menepuk-nepuk bahu Gavin dengan semangat. Dan ikut duduk di samping Gavin menemaninya latihan piano versi terakhir dari tugasnya.
"Sekarang kamu mau mainkan seperti apa?"
Gavin tersenyum lebar dan menjawab.
"Jazz akan asyik sepertinya."