"Inara...."
Dia tersenyum seperti orang gila melihat Inara yang memasuki kelas itu. Mencari-cari bangku kosong, dia akhirnya memilih duduk di depan Gavin.
"Pagi?"
Sebelum duduk dia juga sempat menyapa Gavin. Yang membuatnya semakin mirip orang gila karena suka tersenyum sendiri.
"Pa... Pagi..."
Tiba-tiba angin berhembus agak kencang membuat kertas di meja Inara jatuh ke bawah.
Gavin bergegas segera mengambilnya dan mengembalikannya ke Inara.
"Terima kasih."
Gavin merasakan tubuhnya seperti melayang di udara. Dan seketika tersadar ketika suara Desi memanggilnya.
"Itu Inara?"
Gavin menoleh ke arah Desi yang masih melayang di hadapannya. Lalu tersadar sesuatu.
"Tadi kamu yang lakuin!!"
Desi hanya membentuk tanda 'peace' dengan jarinya.
Chan yang merasa diajak bicara oleh Gavin bingung tidak paham akan maksudnya.
"Lakuin apa?"
Gavin hanya cengengesan tanpa menjawab pertanyaan Chan.
"Aku berguna kan? Sudah terima saja bantuan kami."
Gavin tanpa sadar memarahi Desi dengan keras.
"Diam dulu bisa nggak!"
Chan kembali menoleh dan sedikit kesal dengan Gavin.
"Aku dari tadi diam kamu yang ngajak ngomong terus."
"Sorry Chan.... Kayaknya kepalaku berdengung jadi aku pusing karena berisik."
Chan kembali menggelengkan kepalanya.
"Kamu mau balik aja? Aku antar. Mumpung dosennya belum datang."
"Nggak usah Chan. Kapan lagi bisa dapat kesempatan emas."
Balas Gavin kembali dengan senyum bodohnya sembari menatap punggung Inara dengan tajam.
Bagi Gavin kelas hari itu sangat menyenangkan. Materi yang diberikan dosennya seperti alunan musik mengiringi senyum Gavin.
Desi hanya memandangi Gavin dengan rasa kasihan.
"Jadi kapan kamu mau mengungkapkan perasaanmu ke dia?"
Gavin akan menjawab pertanyaan Desi tapi ketika dia ingat kalau temannya itu tidak terlihat. Akhirnya dia hanya bisa menuliskan kata-katanya.
'Tunggu... Aku kan belum punya kesempatan yang pas.'
"Bukannya kamu sudah biasa langsung tembak di tempat?"
Gavin mendelik ke arah Desi yang malah santai duduk dipinggir mejanya.
"Ah kamu tanya darimana aku tahu?"
Gavin kembali menuliskan sesuatu di bukunya.
'Iya.'
Desi tertawa kecil.
"Dari Nadia lah... Saat dia ambil mobil di gudang sama papamu. Dia pernah mendengarmu curhat dengan temanmu ini sepertinya."
Desi menunjuk Chan.
"Dia bilang karena kamu udah benar-benar kepingin punya pacar. Waktu kelulusan SMP kamu asal tembak aja cewek-cewek di sekolahmu. Lalu saat SMA kamu juga langsung ungkapkan perasaanmu saat suka sama cewek. Tanpa melihat tempat dan waktu. "
Gavin meremas ujung bukunya mendengar bahwa ibunya suka menggosipkan dia di belakangnya.
"Jadi apa yang kamu tunggu lagi?"
Gavin kini terlihat dengan ganasnya menulis di bukunya.
'Kamu pikir aku tidak mencobanya?'
Desi terlihat penasaran dan mendekat melihat tulisan Gavin.
"G.... Tumben kamu rajin mencatat."
Desi dan Gavin langsung menoleh ke arah Chan yang ternyata dari tadi memperhatikannya.
"Ha ha... Aku sudah tiga hari nggak masuk. Mau coba jadi anak rajin."
Gavin kembali menuliskan jawabannya.
'Aku sudah coba dulu. Belum sampai aku mengobrol dengannya, selalu ada saja yang mengganggu. Entah tiba-tiba ada yang menyapanya, ada yang meneleponnya, ada dosen yang memanggilku atau yang paling parah dia tidak jadi masuk kelas yang sama padahal aku beranikan diri mengikuti kelas dosen killer itu. Haaah banyak deh pokoknya.'
Mulut Desi membentuk huruf 'O' tanpa mengeluarkan suara apapun.
"Kami siap bantu kok."
Kembali Gavin menulis sesuatu.
'Sudah kubilang kan! Aku bisa sendiri.'
Sepanjang kelas berlangsung Gavin dan Desi hanya sibuk berdebat, sampai-sampai dia menghabiskan dua lembar kertas di bukunya.
"G... Pinjam catatanmu ya?"
Gavin menoleh ke arah Chan yang sudah mengulurkan tangannya untuk meminjam bukunya.
"Catatan apaan?"
Chan yang tidak sabar sudah menarik tas Gavin yang dari tadi di dekapnya.
"Materi dosen tadi lah? Ngomongnya cepat banget tahu. Aku ketinggalan banyak. Pinjam ya?"
Gavin bingung apa yang harus dia berikan karena dia sama sekali tidak mencatat materi dari dosen itu. Melainkan menulis perdebatannya dengan Desi.
"Aku nggak nyatat apa-apa, he he he...."
"Lah!!"
Desi tiba-tiba menarik baju Gavin hingga dia jatuh dari kursi.
BRUUK
"G... Kamu nggak papa?"
Untung kelas sudah sepi dan hanya ada beberapa orang karena sebagian besar sudah pindah kelas.
Gavin mendelik ke arah Desi dan bersiap akan memarahinya. Tapi melihat wajah memelas Desi yang minta maaf, dia tidak tega untuk memarahinya.
"Haah... Mungkin aku masih ngantuk."
Dan kembali mendelik ke arah Desi yang menunjuk-nunjuk ke pintu. Gavin menaikkan salah satu alisnya seolah bertanya kenapa Desi menariknya.
"Inara sudah keluar... Ayo kita susul."
Mendengar nama Inara disebut dia langsung bergegas menyusulnya keluar kelas. Diikuti oleh Chan yang masih merasa aneh dengan perilaku temannya hari ini.
Gavin langsung mengambil posisi duduk di sebelah Inara. Dan lagi-lagi dia tenggelam di dunia khayalannya hingga kelas usai. Chan yang ingin mengajaknya keluar tidak dia gubris sama sekali. Dan masih saja tersenyum seperti orang bodoh.
"Inara... Aku suka deh."
Inara yang masih mengobrol dengan temannya langsung menoleh ke arah Gavin. Desi yang sedari tadi ikut bergabung dengan Inara dan temannya kaget mendengar kata-kata Gavin.Tentu saja Gavin yang sadar akan kesalahannya langsung panik dan merasa kikuk. Tapi apa yang dikatakan Inara padanya membuat senyumnya melebar.
"Aku juga suka!!"
Desi langsung membelalakkan kedua matanya, tidak percaya akan apa yang dia dengar.
"Kamu juga suka a-..."
Gavin belum selesai melanjutkan ucapannya tapi Inara sudah memberondongnya dengan berbagai macam cerita.
"Suka dengan penyanyi ini. Lihat videonya saat membawakan sountrack drama yang sedang populer sekarang."
"Hmph... Ha ha ha!!!!!"
Suara tawa Desi yang keras membuat Gavin langsung mendelik ke arahnya. Memintanya untuk tidak menertawakannya.
Gavin kemudian melihat video seorang penyanyi terkenal sedang membawakan sebuah lagu di ponsel Inara. Dia terlihat lemas karena tahu 'suka' yang dimaksud Inara adalah 'suka' dengan seorang penyanyi.
"Kamu fans dia ya? Ada seorang yang kukenal baik sangat menyukai penyanyi ini."
Inara tersenyum tipis sambil terus mengamati video di ponselnya. Membuat Gavin kembali terbang melayang.
"Bilang ya! Bilang ya, kamu juga penyanyi itu."
Bisikan Desi seperti menariknya ke dunia nyata. Dan reflek membuatnya berkata seperti apa yang dikatakan Desi.
"Eh... Ya!"
Terlihat teman-teman Inara kaget dan tidak percaya mendengar ucapan Gavin.
"Waah... Kukira kamu hanya suka musik rock."
Gavin dengan keras menggelengkan kepalanya. Dia tidak ingin melewatkan kesempatan mengobrol dengan gadis pujaannya.
Melihat respon baik dari Inara dia seperti mendapat sebuah keberanian untuk mengungkapkan perasaannya.
"Kita harus banyak mengenal berbagai macam genre musik bukan?"
Inara menjawabnya dengan sebuah senyuman.
"Oh ya, kita sekelas ya?"
Gavin sedikit bingung dengan pertanyaan Inara.
"Huh? Yaa.... Kita kan sering sekelas bareng."
Wajah Inara terlihat kaget.
"Hah? Wah maaf aku tidak terlalu memperhatikan."
Gavin terlihat kaget dan terus menggerutu.
'Jadi selama ini dia tidak tahu aku selalu ambil kelas yang sama dengannya?'
Desi yang melihat kekonyolan Gavin hanya cekikikan di samping Inara. Gavin kembali melotot ke arah Desi. Tanpa diduga temannya ketakutan melihat wajah kesal Gavin dan memilih pergi lebih dulu.
"Inara kami balik dulu ya!"
Teman-teman Inara dengan terburu-buru lari keluar kelas. Dan hanya dibalas anggukan oleh Inara.
Melihat kelas yang sudah sepi dan hanya tinggal mereka berdua. Itu akan menjadi kesempatan bagus untuk mengungkapkan cintanya pada Inara.
"Mmm.... Tunggu nama kamu? Kamu Gery kan?"
Desi terlihat menahan tawanya agar dia tidak kena marah lagi.
"Ga...."
Belum sempat Gavin memberi tahu namanya, Inara mengangkat tangannya meminta dia untuk berhenti menjawab.
"Biar aku tebak!"
Gavin kembali diam. Selama 1 tahunan dia selalu ambil kelas yang sama dengan Inara sepertinya tidak ada artinya. Inara bahkan tidak tahu siapa namanya.
"Ga.... Ga..."
Mendengar namanya akan disebut Gavin terlihat bahagia.
"Gading ya!!!"
Tapi seketika luntur saat tahu dia salah lagi menebak namanya. Wajahnya terlihat kecewa dan sedih. Desi masih menahan tawa hingga membuat tubuh mungilnya berguncang.
Tahu Gavin kecewa Inara mencoba menghiburnya.
"Tapi aku tahu kamu teman satu band Cahyo."
Bak disambar petir kini Gavin terlihat lebih kecewa lagi. Ternyata Inara lebih kenal Chan daripada dirinya.
Inara yang merasa bersalah kemudian meminta maaf pada Gavin.
"Maaf ya... Aku memang susah mengingat nama."
Mendengar permintaan maaf Inara, Gavin terlihat kembali ceria.
"Ah nggak masalah, mungkin karena Chan selalu memanggilku G jadi kamu tidak tahu namanya panjangku."
"Chan? G?"
Desi yang sudah mulai tenang ikut penasaran kenapa Gavin selalu dipanggil G dan kenapa nama temannya bisa berubah menjadi Chan.
"Oh itu... Nama panggung. Cahyo Handoyo disingkat Chan. Dan aku Gavin dengan G."
Inara terlihat mengangguk-angguk mendengar penjelasan Gavin. Tapi berbeda dengan Desi yang sudah terkekeh kembali mendengar sejarah nama mereka.
"Gavin ya?"
Gavin tersenyum mengiyakan pertanyaan Inara.
"Kemarin aku diajak Eka."
Gavin dengan serius mendengar Inara. Tanpa mempedulikan Desi yang sekuat tenaga menahan tawanya.
"Tahu kan Eka? Pacar Cahyo. Dia ada beberapa kelas yang sama denganku."
Gavin mengangguk tanda paham dengan maksud Inara. Mana mungkin dia tidak tahu pacar sahabat dekatnya itu.
"Dia ajak aku nonton latihan band kalian. Maaf aku nggak bisa datang. Ada acara mendadak. Aku penasaran dengan suara Cahyo. Jadi aku menyetujuinya."
Gavin kembali kaget dengan ucapan Inara.
"Suara?"
Inara dengan yakin menjawab Gavin.
"Iya suara. Dia penyanyi nya kan? Soalnya Eka bilang dia mau ajak lihat Cahyo perform. Aku pikir dia penyanyinya."
Gavin terlihat kecewa meratapi dirinya yang sepertinya tidak ada di dunia Inara. Dia bahkan lebih kenal Chan daripada dirinya. Belum lagi tidak dianggap sebagai penyanyi di bandnya sendiri.
"Benar-benar eksistensiku nol di hadapan Inara. Gagal keren banget ini namanya."
Desi tak bisa lagi menahan diri. Diapun tergelak dengan kemalangan Gavin.
"Kamu bahkan tidak diingat namanya. Mau keren sebagai vokalis band pun juga gagal. Ha ha ha ha."
Gavin yang kesal dengan ejekan Desi akhirnya berdecak keras.
"Ck...."
Membuat Inara yang melanjutkan melihat videonya tadi segera menaruh ponselnya dan minta maaf.
"Maaf tadi ngomong apa? Kamu marah ya aku tidak tahu namamu?"
Gavin kembali melirik ke arah Desi yang lagi-lagi menutup mulutnya.
"Nggak kok. Ha ha ha. Dan yang jadi vokalis nya adalah aku bukan Chan."
Wajah kaget Inara terlihat menggemaskan di mata Gavin.
"Maaf lagi.... Soalnya dulu waktu ada festival kampus aku pernah lihat Cahyo tampil sekali dan suaranya bagus."
Gavin mengeratkan genggaman tangannya menunjukkan rasa irinya pada Chan yang dipuji Inara.
"Tapi kalau kamu jadi vokalis suaramu pasti lebih bagus kalau aku ada waktu aku mau lihat latihan kalian."
Marahnya hilang seketika saat mendengar Inara menawarkan dirinya untuk ikut melihat latihan band nya. Dengan senyum penuh kemenangan dia melihat ke arah Desi yang terlihat tidak senang dengan keberhasilannya.
Keberanian Gavin sepertinya sudah di level puncak.
"Inara... Sebenarnya kita sudah sering satu kelas bareng sekitar sejak semester dua."
Inara kembali terkejut.
"Benarkah? Aku kira baru semester ini kita bertemu."
Gavin kembali ciut mendengarnya. Tapi kembali dia kumpulkan semangatnya dan menantanya kembali hingga kokoh.
"Ha ha ha. Aku beruntung berarti hari ini bisa bicara panjang lebar denganmu."
Desi sepertinya tidak terima dengan ucapan Gavin.
"Aku banyak membantumu hari ini. Itu yang bikin kamu bisa ngobrol sama dia."
Gavin tidak mendengarkan sama sekali kata-kata Desi dan kembali melanjutkan obrolannya.
"Mungkin ini kurang sopan. Tapi sebenarnya dari aku sudah lama menyu-...."
Belum selesai dia menyatakan cintanya tapi seseorang sudah memotong kata-katanya.
"Ya elaaah G!! Sampai karatan aku nungguin kamu di luar! Aku kira kamu pingsan ternyata..."
Inara memiringkan kepalanya untuk melihat siapa yang memanggil Gavin. Dan dengan senyum ceria dia menyapa Chan.
"Hai Cahyo..... Maaf tadi kami keasyikan nonton video."
Chan kaget melihat Gavin sedang berbincang dengan siapa. Dan Gavin reflek menoleh saat Inara memanggil nama asli sahabatnya tersebut.
"G!!! Sejak kapan kamu akrab sama Inara!!!"
Jika ada lakban yang bisa terbang mendeteksi orang yang suka keceplosan dan menempel sendiri dia pasti akan membelinya khusus untuk orang-orang terdekatnya yang suka bicara tanpa dipikir dulu. Mungkin Desi dan kawan hantunya bisa membantunya.
'No... No... Aku bisa melakukannya sendiri.'
Gavin segera melotot ke arah Chan yang sudah menggangunya.
"Aaah... Okey aku akan tunggu di luar."
Gavin menghela nafas dan akan berterima kasih nanti karena Chan sudah memahami maksudnya.
"Inara maaf masih ada yang ingin ku bicarakan."
Dengan wajah penuh tanya Inara menatap Gavin.
"Dari semester dua sebenarnya aku selalu suka sama...."
Riiiing..... Riiiing...
Ponsel Inara berbunyi tapi Inara masih serius mendengarkan Gavin.
Seperti mendapat lampu hijau Gavin semakin bersemangat.
"Aku suka sama ka..."
Riiiing Riiiing....
"Maaf aku harus angkat teleponnya. Besok kita bisa ngobrol lagi."
Inara mengangkat panggilan masuk yang ada di ponselnya dan segera mengemasi barangnya untuk meninggalkan kelas.
Gavin kembali lemas karena kesempatan itu kembali terbang sia-sia. Sebelum sampai pintu Inara berbalik dan menyampaikan sesuatu pada Gavin.
"Aku juga suka...."
Gavin langsung bersemangat seketika mendengar kata suka dari Inara. Dia menoleh dan akan merespon ucapan Inara.
"Aku juga suka sama penyanyi ini.... Bye Gavin besok-besok kita ngobrol lagi ya soal album dia."
Semangatnya hilang seketika saat mereka membicarakan 'suka' yang berbeda. Gavin hanya bisa meratapi nasibnya sambil memandangi Inara yang sepertinya sedang menyapa Chan di luar.
" Buaha ha ha ha aha.... Ya Tuhan.... Aha ha aha!!!"
Desi tergelak dan memegangi perutnya karena dia terus tertawa tanpa henti. Ditambah Chan masuk dan sama-sama mengejeknya.
"Ha ha ha G..... Gila kamu udah nyatain suka. Dan dia juga bilang suka. Ternyata ha ha ha suka kalian adalah....."
Gavin menutup rapat-rapat telinganya dan membentak kedua makhluk beda alam di depannya.
"Kalian puas-puasin ketawa. Kalian suka lihat aku malu kayak gini."
Desi masih terus tertawa. Tapi Chan seketika berhenti tertawa.
"Kalian? Gavin.... Kita cuma berdua di sini."
Melihat Chan yang ketakutan Gavin punya ide membalas teman baiknya itu.
"Eh.... Tadi aku dengar ada suara tawa cewek di belakangmu?"
Desi yang melihat kesempatan untuk iseng langsung berpindah ke meja belakang Chan. Dan sedikit menggeser kursinya seolah-olah ada yang baru pergi dari situ. Kemudian menggerakkan sedikit pintu kelas agar terkesan ada yang keluar dari sana.
Melihat itu Chan langsung menarik Gavin keluar kelas.
"Ayo kita keluar... Kalian berdua dari tadi didengerin setan kayaknya.... Udah ayo keluar."
Gavin tertawa kecil karena memang benar pembicaraan mereka sudah didengar oleh hantu. Lalu menoleh ke arah Desi dan membisikkan ucapan terima kasih karena telah membantunya menjahili Chan.
"Jadi kamu mau aku bantu?"
Mendengar Desi yang tetap keras kepala membujuknya dia tanpa sadar berkata keras.
"Nggak!!"
Chan makin terlihat ketakutan.
"G.... Kamu nggak dirasuki hantu kan?"
Gavin kembali terkekeh sambil menyeret temannya keluar. Desi hanya mengikuti mereka sambil menggelengkan kepalanya.
"Lihat saja nanti!"