Mendengar teriakan Gavin neneknya hanya tersenyum sambil terus mencabuti rumput di kebunnya.
"Anak muda... Benar-benar serius latihan vokal. Ck... Ck..."
Di gudang Gavin masih berteriak kaget karena penampakan didepannya.
"AAARGH!!!"
Gadis itu tampak kaget juga dan menutup telinganya karena suara keras Gavin.
"Siapa kamu? Dan kenapa.... Kenapa kamu melayang?"
Gadis mungil yang membawa bunga ditangannya itu mendekati Gavin. Gavin menutup matanya dan berharap itu mimpi.
"Aku?"
Gadis itu tampak bingung dan melihat buket bunga di tangannya.
"Ehm... Aku Desi... Ya aku Desi..."
Gavin tidak mau membuka matanya dan tetap berbaring di atas kursinya yang jatuh ke lantai masih berharap itu halusinasinya karena benturan di kepalanya.
"Kalau kamu hantu... Cepat pergilah dari sini. Kalau aku mengusik tempatmu aku minta maaf. Aku.... Aku.... Aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah dari sini...."
Sambil terus menangkupkan tangannya dan merapal beberapa doa. Gavin berharap hantu atau apapun itu pergi dari hadapannya.
"Eh... Tapi teman-temanku bilang aku harus membantumu karena kamu payah dalam mendekati cewek."
"Teman-teman?"
Gavin tetap tidak mau membuka mata. Tapi suara cekikikan anak kecil sangat mengganggunya dan dia merasakan sesuatu seperti menekan dadanya. Dia juga bisa mendengar lantai di samping telinganya berderit-derit seperti ada yang mencakarnya.
Tak tahan dengan itu semua Gavin akhirnya membuka mata.
"AAAARGH!!!!"
Dengan sekuat tenaga dia mencoba keluar dari kursinya dan berlari ke sudut keluar. Tapi tidak bisa karena dia dihadang oleh hantu itu. Akhirnya dia memilih untuk meringkuk di sudut gudang. Dia sangat ketakutan karena ada tiga tambahan personil di gudang itu.
Satu berambut hitam panjang menutupi mukanya dan memakai baju putih, satu lagi tampak sosok kakek tua dengan rambut putih dan pakaian serba putih duduk di atas dadanya. Terakhir ada anak laki-laki dengan riangnya tertawa-tawa.
"Kalian mau apa!!!"
Gavin yang terpojok hanya bisa memeluk erat lututnya. Ketika melihat sebuah kursi kecil tak jauh dari posisinya dia segera meraihnya dan menjadikannya perisai.
Tapi sepertinya tidak berpengaruh pada ke empat hantu itu. Apalagi si hantu kecil. Dia malah menarik-narik kursi Gavin dan terus tertawa kegirangan.
"Kan kami sudah bilang kami mau membantumu."
Hantu perempuan yang mengaku bernama Desi itu melayang di depan Gavin.
"Ma... Ma.. Ma... Maksud kalian apa!"
Gavin tergagap menjawab pertanyaan Desi. Hal itu membuat hantu kecil di depannya semakin riang karena mengira Gavin sedang melucu.
"Aha... Ha... ha... ha... Ma... Ma...."
Gavin sedikit terganggu dengan ulah hantu kecil itu.
"Banthuuu.... Pachaaar!!!"
Kaget suara parau tiba-tiba terdengar di sampingnya Gavin spontan menoleh.
"AAAARGHHH!!!!!
Teriakan Gavin yang lebih keras dari sebelumnya membuat neneknya hanya menggelengkan kepalanya.
"Sepertinya dia benar-benar latihan dengan sangat keras..... Lain kali aku akan melihatnya latihan."
Gavin yang terdengar latihan vokal di telinga neneknya, nyatanya sedang melatih kekuatan jantung dengan kehadiran teman barunya.
Dia sangat terkejut ketika dihadapannya ada kepala yang ditutupi rambut hitam. Belum lagi jari dengan cakar hitam panjang menunjuk ke arahnya.
Gavin meringkuk dan memeluk lututnya enggan untuk melihat ke arah depan atau sampingnya.
Melihat Gavin tidak mau bergerak Desi dan hantu kakek tua duduk didepannya dan dengan sabar menungguinya. Hantu kakek tua berbisik sesuatu pada Desi. Desi mendengarkan dengan seksama sampai mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Ehm.... Gavin.... Kamu takut ya dengan kami?"
Gavin tidak mau berbicara, menurutnya berbicara dengan mereka hanya akan membuat mereka jadi semakin senang berkomunikasi dengannya. Tapi Desi masih tidak mau menyerah dan terus berbicara dengan Gavin.
"Padahal kami mau membantumu untuk mendapatkan Inaya."
Gavin masih tetap membisu. Dia bisa merasakan tarikan-tarikan kecil di lengan bajunya yang sudah bisa dipastikan dari hantu kecil. Dan juga suara gemeretak kuku milik hantu rambut panjang beradu dengan lantai.
"Kakek bilang dia tahu bagaimana cara mendapatkan Inaya. Kakek sudah berpengalaman saat merayu Habu."
Gavin sepertinya terusik dengan kesalahan Desi dalam menyebut nama Inara. Tapi dia tetap tidak mau beranjak. Sampai hantu rambut panjang lelah menggodanya dan memilih untuk duduk di samping Desi.
"Dengar ya Gavin. Kami tidak berniat menakut-nakutimu."
Gavin masih tidak percaya, buktinya suaranya hampir habis hari ini karena berteriak ketakutan. Belum lagi dia hampir mengalami serangan jantung berkali-kali gara-gara mereka.
"Haaaah.... Kami akan tetap menunggumu di sini sampai kamu mau bicara."
Gavin hampir menyerah dan mengangkat kepalanya.
"Iyhaa.... Khami.. Thunggu...."
Suara parau dari hantu rambut panjang membuatnya kembali meringkuk.
"Aku ingin tahu Inaya itu seperti apa?"
Gavin benar-benar ingin bilang kalau namanya Inara bukan Inaya.
"Inahaa.... Canthiik?"
"Mungkin dia cantik."
Gavin lagi-lagi membatin.
'Tentu Inara itu cantik, baik dan pintar. Dan lagi dia bukan Inaya atau Inaha tapi namanya Inara.'
Gavin sudah tak lagi merasakan keusilan hantu kecil tadi. Sepertinya dia sudah lelah. Tanpa dia tahu kalau hantu kecil itu kini duduk tepat di sampingnya menemaninya meringkuk.
"Canthik.... Kamhuu..."
Hantu kakek tua terkekeh mendengar pengakuan hantu rambut panjang. Desi yang mendengar pujiannya tertawa riang.
"Ha ha ha..... Tentu aku yang paling cantik. Aku penasaran kenapa kamu suka Inaya."
Gavin masih menahan keinginannya untuk mengoreksi nama Inara.
"Nadia dan Bu Nur sering cerita kalau kamu payah soal cewek."
Gavin hampir membantahnya tapi dia masih tetap bertahan. Walau begitu dia merasa kesal karena ibunya telah bergosip di belakangnya.
Hantu kakek tua membisikkan sesuatu pada Desi.
"Oh ya? Nenek juga khawatir para gadis-gadis tidak bisa melihat kebaikan hati Gavin?"
Gavin dibuat malu kali ini oleh komentar Desi.
'Sampai nenek khawatir padaku!'
Lama tak ada suara dari hadapannya Gavin berharap mereka sudah pergi. Gavin sudah bosan meringkuk. Apalagi punggungnya sudah sakit duduk di posisi seperti itu.
"Haaaah Inaya... Inaya.... Bagaimana kalau sampai dia lihat Gavin ketakutan pada hantu baik hati seperti kami."
Sudah tidak tahan dengan kesalahan nama Inara dan posisi duduknya yang tidak enak, Gavin seketika mengangkat kepalanya. Tapi masih menutup matanya.
"Inaya, Inaya, Inaya!!! Inara namanya."
Tawa dan cekikikan menggema di gudang itu. Gavin dengan harga dirinya yang tinggi tidak mau meringkuk lagi padahal dia merasakan merinding di sekujur tubuhnya.
"Okey... Okey Inara."
Gavin bisa merasakan sesuatu mendekatinya. Mengumpulkan keberaniannya dia membentak squad hantu didepannya.
"Aku nggak butuh bantuan kalian!"
Kembali tawa dan cekikikan menggema di gudang itu.
"Tapi kata kakek kamu payah sekali dalam hal mencari pacar."
Gavin tidak menjawab.
"Phayaah.... Hi hi hi hi."
Hantu rambut panjang menggoda Gavin dan diikuti oleh hantu kecil.
"Gavin payah... ha ha ha Gavin payah.... ha ha ha."
Gavin terlihat semakin frustasi dengan ejekan kawan barunya tersebut. Sepertinya rasa frustasinya mengalahkan ketakutannya.
"Aku bilang ya!!! Aku nggak payah!!! Kalian aja yang sok tahu!!"
Dia membentak mereka dengan mata terbuka. Para hantu di hadapannya terdiam. Gavin sekarang bisa dengan jelas melihatnya. Dari ketiga hantu itu hanya Desi dan hantu kecil saja yang tak terlalu menakutkan.
"Akhirnya kamu mau berkenalan dengan kami."
"Huh!!!"
Gavin yang tidak ada maksud berkenalan dengan squad hantu itu bingung dengan ucapan Desi.
"Mana mungkin aku mau kenalan sama kalian. Aku sudah tahu siapa kalian. Kuntilanak, tuyul, sama hantu kakek-kakek gentayangan."
Seketika ke empatnya diam. Gavin bisa merasakan udara di sekitarnya dingin, sampai-sampai dia memegangi kedua lengannya. Keempat hantu didepannya terlihat tersenyum tapi bukan hal bagus yang dia lihat. Justru pemandangan yang mengerikan. Mata mereka memerah dan senyum mereka tampak dingin.
"Itu bukan kami...."
Suara mereka yang terdengar bersamaan membuat Gavin semakin merinding.
Mereka berjalan perlahan ke arah Gavin.
"Kami bukan itu."
Gavin yang menyadari kesalahannya akhirnya meminta maaf. Sambil terus mengusir dingin yang mengganggu tubuhnya.
"Ma.... Maaf...."
Mendengar ucapan maaf sederhana dari Gavin para hantu itu kembali 'normal'. Dan dingin yang tadi menyerang gudang juga tak dia rasakan kembali.
"Sekarang duduk yang baik kami akan memperkenalkan diri kami."
Hantu kecil menyeret sebuah kursi untuk tempat duduk Gavin.
"Kamu sudah tahu kan namaku."
Gavin mengangguk memandangi Desi. Kali ini dia bisa melihatnya dengan jelas. Dia seperti gadis normal. Tubuh mungilnya memakai jaket oversize putih, dia hanya memakai kaos lengan pendek dan celana pendek hampir selutut. Di tangannya ada buket bunga entah untuk apa fungsinya.
"Akhu.... Li... Li... Li...."
Semuanya seperti menunggu ucapan hantu rambut panjang itu. Tapi lama mereka menunggu tak ada sama sekali yang keluar cuma sebatas 'Li'.
Desi menghampiri Li dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Dia meninggal tercekik jadi sering tidak bisa mengatakan sesuatu dengan lengkap. Bahkan namanya sendiri. Kami biasa memanggil dia Li."
Gavin hanya mengangguk-angguk, sebenarnya dia penasaran dan ingin bertanya lebih lanjut tapi urung dia lakukan karena dia tidak mau berlama-lama berkomunikasi dengan mereka.
"Lalu ini Gramps. Dia disini untuk menjaga Habu. Dia biasanya selalu senang bercerita tapi dia sepertinya malu bertemu denganmu."
Gavin menatap lama Gramps, dia seperti pernah melihat wajahnya di suatu tempat tapi dia tidak bisa mengingatnya sama sekali. Mungkin karena benturan di kepalanya.
"Tunggu...."
Gavin tiba-tiba teringat sesuatu.
"Kenapa aku bisa melihat kalian?"
Squad hantu di depannya saling berpandangan dan kompak mengangkat pundak mereka.
"Kalian sudah lama kan disini?"
Squad hantu didepannya mengangguk.
"Cuma aku yang paling baru di sini. Dua tahun mungkin ya? Ha ha ha..."
Desi sambil tertawa menjelaskan ke Gavin.
Wajah Gavin terlihat sangat bingung. Selama ini dia tidak pernah melihat mereka di rumah neneknya. Kenapa sekarang dia bisa melihat mereka.
Terlihat Gramps berbisik sesuatu pada Li.
"Khepala... Benturhaaaan!!"
Gavin seolah menemukan sebuah ide dan bersemangat menjelaskan pada teman barunya. Seperti seorang guru yang menjelaskan materi pada muridnya.
"Sepertinya karena benturan di kepalaku, menyebabkan kemampuan terpendamku muncul. Salah satunya adalah bisa melihat kalian."
Dengan bersemangat dia menjelaskan sampai-sampai dia berdiri dan menunjuk ke arah squad hantu di depannya. Rasa takut yang tadi menghampiri Gavin seolah lenyap.
"Aku pernah dengar ada orang yang bisa berbicara dalam bahasa lain setelah dia mengalami kecelakaan."
Hantu-hantu didepannya menyimak dengan seksama penjelasan Gavin.
"Mungkin ini juga yang membuatku bisa melihat kalian. Ha ha ha..."
Kini teriakannya berganti dengan tawa yang menggema di gudang itu.
"Mungkin saja aku juga mengaktifkan kemampuanku yang lain."
Squad hantu yang masih memperhatikannya itu mengangguk bersamaan menyetujui ucapan Gavin.
"Iya kan? Mungkin saja kemampuanku dalam mendapatkan pacar juga muncul. Iya kan!"
Gavin masih sangat bersemangat tapi semangatnya segera luntur saat dia mendengar suara tawa bercampur cekikikan keluar dari teman barunya.
Merasa mereka tidak setuju dengan pendapatnya, Gavin dengan segera mendelik ke arah mereka dan membentak mereka.
"Hei!!! Jangan meremehkan kemampuanku ya!!"
Li dan hantu kecil langsung bersembunyi di balik Gramps karena ketakutan mendengar suara keras Gavin.
Melihat temannya ketakutan Desi hanya menggelengkan kepalanya. Dan membalas ucapan Gavin.
"Kami tidak meremehkanmu. Kamu yang terlalu banyak berharap sepertinya."
"Huh? Buktinya aku bisa melihat kalian."
Desi melirik teman-temannya dan meminta bantuan untuk berdebat.
"Okey-okey terserah.... Tapi kami masih bersedia membantumu kok."
Gavin kembali tertawa, sepertinya rasa takutnya sudah hilang sama sekali karena dia terlihat sudah sangat biasa berbincang dengan mereka.
"Sudah kubilang aku nggak butuh bantuan dari kalian."
Gavin kembali terlihat berpikir. Dia lalu mengamati empat hantu dihadapannya. Kali ini dia bisa benar-benar mengamati mereka. Entah keberaniannya itu datang darimana.
"Tunggu dulu... Kalian kenapa sih maksa sekali bantu aku?"
Desi mengalihkan pandangannya diikuti Gramps dan Li yang pura-pura tidak mendengar perkataan Gavin.
Hanya hantu kecil yang menghampirinya dan melambai-lambaikan tangannya ke Gavin menyuruh Gavin untuk menunduk.
"Ah aku belum tahu siapa namamu...."
Hantu kecil akan memberitahu siapa namanya tapi Gavin sudah lebih dulu memotongnya.
"Ah karena kamu yang paling kecil dan juga berwujud anak kecil aku panggil kamu bungsu. Bagaimana?"
Hantu kecil itu mengangguk dengan semangat. Gavin sepertinya kembali mengingat-ingat sesuatu tapi segera berhenti berpikir ketika hantu kecil itu kembali melambaikan tangannya ke arah Gavin.
"Oh kamu mau kasih tahu aku sesuatu?"
Hantu kecil dihadapannya mengangguk dengan semangat.
Gavin akhirnya berjongkok hingga menyamai tinggi Bungsu.
"Kami membutuhkanmu nanti. Jadi kami akan menolongmu."
Tak ada yang menyeramkan dari kata-kata Bungsu tapi entah kenapa sekujur tubuh Gavin merinding.
Dia langsung menjauhkan dirinya dari empat hantu di depannya yang kini terlihat menakutkan.
"Kalian mau menumbalkan aku ya!!"
Gavin berjalan mundur dan menabrak kursi yang tadi dia pakai untuk duduk. Diapun jatuh terduduk di kursi itu. Sambil mengangkat tangannya untuk menghalangi para hantu itu memegangnya.
Para hantu itu mendekati Gavin dan mengelilinginya. Wajah ramah mereka berubah menjadi dingin. Apalagi mereka berganti-ganti tempat memutari Gavin dengan cepatnya. Semakin mendekat ke arah Gavin.
"Nggaaak!!!"
Gavin berteriak dan masih menyilangkan tangannya untuk melindungi dirinya. Tapi tidak terjadi apa-apa pada Gavin.
Sedikit demi sedikit Gavin membuka tangannya dan melihat ke sekelilingnya. Dia tidak menemukan mereka di manapun. Dia memastikannya sekali lagi, menoleh ke kanan, kiri dan belakang tak ada jejak mereka di manapun.
Hingga saat dia melihat ke depan kembali dia terkejut.
"HUUH!!!"
Para hantu di depannya tertawa dan cekikikan.
"Khagheet?"
Suara parau Li bercampur dengan cekikikan berusaha bicara pada Gavin.
"Kalian benar-benar akan menumbalkanku?"
"Kami bukan tokoh utama Horor Thriller, lagian kami membutuhkanmu untuk mengurus sesuatu."
Desi mencoba menjelaskan dengan tenang pada Gavin.
"Tapi tadi kalian... Kalian.... Seperti mau membunuhku?"
Kompak para hantu itu tertawa.
"Gavin takut.... Gavin takut....."
Bungsu menari-nari mengejeknya. Hal itu membuat Gavin kesal karena dipermalukan oleh anak kecil.
"Jadi kalian mengerjaiku???"
Mereka kembali tertawa.
"Sepertinya aku tidak pernah ingat ada hantu hobi jahil kayak kalian."
Keempatnya berhenti tertawa dan menoleh bersamaan dengan ekspresi muka datar. Membuat Gavin kembali ketakutan.
"Kamu lihat hantu lain dimana?"
Dengan cepat Desi melayang ke arah Gavin dan menanyainya.
"Di.... Di... Di film."
Desi kembali ke tempatnya seperti puas mendengar jawaban Gavin.
"Oh.... Kami hanya bercanda tadi.... Karena kamu lucu sekali saat ketakutan."
Gavin kesal tapi dia tidak berani membuat para hantu di depannya kesal dengan omelannya.
"Jadi, kamu terima bantuan kami."
"Huh??"
Gavin bingung dengan pernyataan Desi.
"Tunggu sejak kapan aku bilang begitu?"
Desi memainkan dagunya sambil mengingat sesuatu.
"Ah iya.... Kamu menolak bantuan kami ya?"
Gavin mengangguk dengan semangat. Dia melihat Gramps membisikkan sesuatu pada Bungsu.
"Ha ha ha.... Kamu pasti akan butuh bantuan kami... Dan sebagai gantinya kamu harus bantu kami."
Gavin kembali menolak dengan halus permintaan mereka.
"Eehm aku yakin bisa tanpa bantuan kalian."
Empat hantu di depannya kembali berubah menakutkan, angin dingin berhembus ke arah Gavin.
"Kalian sadar nggak sih, kalian mengancamku dan menakutiku bukan membantuku."
Angin dingin itu tiba-tiba berhenti. Keempatnya terlihat berpikir.
"Kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk tidak menakutimu."
Gavin tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Mereka sudah hampir membuat Gavin kena serangan jantung tapi tidak menyadarinya.
"Hah!!! Lihat dong diri kalian tiap aku tolak kalian marah. Angin dingin entah berhembus darimana. Dan suka muncul tiba-tiba apalagi.... Apalagi..."
Gavin menunjuk ke arah Li.
"Mukanya yang tidak terlihat, membuatku selalu kaget."
Gavin mengatur nafasnya setelah protes pada mereka.
"Oh jadi kalau kami tidak menakutkan dan tidak mengagetkanmu, kamu bersedia kami bantu?"
Desi tidak membiarkan Gavin menjawab dan langsung meminta Li merubah penampilannya. Li menyibak rambutnya sebagian ke belakang telinga. Hingga terlihat wajah Li sedikit.
"Tunggu... Tunggu..."
Desi masih tidak mau mendengarnya dan terlihat berdiskusi dengan keempatnya.
"Hei!!!"
Desi mengacungkan tangannya meminta Gavin berhenti bicara. Tapi Gavin tidak mau diam.
"Hei!!! Aku tetap tidak mau kalian bantu!!"
Keempatnya menoleh kembali. Gavin sedikit ketakutan. Desi melihat Gavin ketakutan hanya bisa menghela nafas.
"Haaaah.... Oke... Kami tidak akan memaksamu."
Gavin terlihat sangat ceria.
"Tapi kamu harus buktikan bahwa kamu bisa mendapatkan Inara tanpa bantuan kami."
"Huuh!!!"
Gavin terkejut dengan tantangan dari Desi.
"Kalau kamu tidak bisa membuktikan, kami akan paksa kamu menuruti kami."
"Tunggu..."
Desi menyeringai dan kembali mengejek Gavin.
"Oh jadi kamu tidak yakin akan ke.mam.pu.an.mu?"
Gramps sebisa mungkin menahan tawa diikuti cekikikan Li. Parahnya Bungsu malah menari-nari mengejek Gavin.
"Gavin tidak mampu. Gavin tidak mampu.... Ye ye ye...."
Gavin semakin tersulut. Tanpa pikir panjang dia menerima tantangan dari Desi.
"Oke... Tapi kalian tidak boleh ikut campur atau menggangguku."
Desi kembali menghela nafas.
"Haaah.... Mau pun tidak bisa kami mengikutimu. Kami punya batasan masing-masing."
Gavin sangat lega mendengarnya tapi seketika musnah saat Desi menambahi ucapannya.
"Mungkin hanya aku yang bisa mengikutimu."
"Huh!!!"
Gavin kembali akan memarahi Desi karena mempermainkannya lagi tapi seseorang tiba-tiba masuk ke gudang itu.
"Mas Gavin.... Kan sudah saya bilang tunggu saya kalau mau bersih ber-..."
Bu Nur menjatuhkan tas yang dibawanya dan berlari ke arah lemari yang terbuka. Bingung mencari-cari sesuatu di sekitar lemari itu.
"Mas.... Mas... Mas Gavin ini mana tali sama jimat di lemari ini?"
"Jimat?"