Musik gamelan dari luar kamar, terdengar riuh menggema menggetarkan seisi ruang. Terasa dinding kamar bernuansa emas di sekelilingku bergetar-getar saat gong dipukul. Sorak soray suara seruan dan teriakan gembira terdengar bergemuruh hingga membuat bulu kudukku meremang dibuatnya. Entah berapa banyak orang di luar ruangan ini, hingga suaranya bergemuruh seperti sedang berdemo. Sedangkan aku hanya terpaku memeluk lututku dengan tatapan kosong, di atas ranjang yang penuh taburan segala jenis bunga yang harum semerbak. Tepat di hadapanku cermin besar memantulkan sosok diriku yang terbalut gaun pengantin yang indah berwarna emas juga, senada dengan warna dekorasi kamar tempatku berada.
'Cantik.'
Tanpa sadar aku membatin memuji wajahku sendiri. Rambut coklat gelombangku yang biasanya terurai begitu saja, kini sudah tersanggul rapi dengan segala macam perhiasan berkerlip dan bunga sedap malam. Wajahku yang biasanya polos, pun terlihat lebih tegas dengan gincu berwarna merah nyala dan perona mata berwarna coklat muda keemasan. Tanpa sadar lagi-lagi aku tersenyum di tengah kebingungan, tanpa mengalihkan pandangan dari pantulan sosok diriku. segera aku menggeleng kuat, yang penting bukanlah itu. Tak akan ada habisnya jika aku hanya berdiam diri mengagumi pantulan diri. Yang ingin aku tahu adalah, dimana ini? Dimana aku sekarang? Kenapa aku bisa berada di tempat seperti ini dengan mengenakan gaun pengantin dan riasan layaknya pengantin.
Kriet.
Belum selesai aku merenungi diri dengan segala kejanggalan yang kualami, tetiba suara pintu terbuka perlahan membuatku tersentak kaget. Ingin aku menoleh melihat siapa yang datang dan bertanya mengapa aku bisa ada di sini, di tempat asing ini. Kenapa aku memakai riasan pengantin, dan banyak lagi pertanyaan lainnya. Namun hal itu urung kulakukan.
Tubuhku seketika bergeming, diam tak berkutik. Saat mendengar suara nafas aneh yang mendekat perlahan. Terdengar mengerikan hingga bulu kudukku meremang. Dadaku sesak, jantungku seperti ingin meloncat keluar saking cepatnya berdetak. Bunyi nafas itu terdengar seperti tertahan lantaran sulit keluar, seperti bukan nafas manusia yang normal. Entahlah, terdengar menyeramkan ditambah sesekali diiringi suara geraman seperti ada dahak di tenggorokannya.
Perlahan suara itu semakin mendekat, hingga sesosok bayangan berdiri tepat di belakangku. Seketika peluh mengucur deras di punggungku, bayangan sosok itu tinggi besar dan tak terlihat seperti manusia.
'Ya tuhan, mahluk apa itu? Apa aku tengah bermimpi?' batinku saat melihat ke arah bayangan itu tanpa mengangkat wajah lantaran sudah pasti aku bisa melihat dengan jelas sosok itu lewat cermin yang berada di depanku.
"Permisi nyai, saya diutus yang mulia Raden Garda untuk menyiapkan nyai dan membawa nyai ke pelaminan," ucap sosok itu membuatku tersentak kaget.
Jantungku seperti copot seketika. Aku yakin suara itu dibuat serendah mungkin, namun bahkan nafasnya terasa menghembus hingga di belakang pundakku. Panas. Ada getaran saat sosok itu berucap, hampir saja aku pingsan mendengarnya.
"Si-siapa kau!" seruku dengan suara gemetar tanpa menengok ke arahnya.
"Hm? Hamba hanya abdi nyai, hamba yang akan melayani nyai selama diperintahkan oleh yang mulia Raden Garda," ucapnya tanpa membuatku paham apa maksudnya sama sekali.
"Aku dimana ini? Dan siapa yang Mulia siapalah itu?" tanyaku ketus, menyadari posisiku mungkin saja berada di atasnya dan seseorang tengah memerintahkannya untuk melayaniku.
"Tolong jangan banyak tingkah. Jika saja bukan perintah dari pangeran muda, aku tak akan mau melayani manusia hina dina sepertimu!" ucapnya tak kalah ketus dariku, bahkan nyaliku seketika meleleh lumer mendengar suara tegasnya yang menggema.
"Ap-apa m-m-maksudnya it-tu? Manusia? Lalu kau sendiri apa?" gumamku sudah tak jelas lagi apa yang kurasakan.
Rasanya aku ingin ngompol saking takutnya. Aku yakin dengan sangat, dari suara dan bayangannya bahwa sosok itu bukanlah manusia. Lalu dimana aku?
"Dengar, aku akan jelaskan dengan singkat hanya karena Raden Muda memerintahkan ku untuk menjelaskan situasi yang kau alami," ujarnya membuatku menajamkan telinga saking penasarannya, meski suaranya terdengar dengan sangat jelas.
"Kau adalah gadis yang diramalkan sebagai titisan Roro ghendis, mantan kekasih Raden Muda yang sempat mati. Jadi hari ini adalah pernikahanmu dengan Yang Mulia Raden Garda Kastara. Karna beliau sudah menemukanmu kembali. Pangeran termuda dari Raja bangsa kami, bangsa jin kasta atas yang dimuliakan. Andai aku bisa memberi saran, aku akan memprotes agar Raden Garda tak menikahi mahluk lemah yang hina dina seperti kau!" ungkapnya terus terang.
Sedikit gambaran terpampang samar di kepalaku. Sepertinya aku sedikit paham situasi yang kuhadapi. Pada intinya, ternyata aku berada di alam yang berbeda. Aku berada di negeri kerajaan jin? Kenapa? Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin? Sejak kapan?
Seketika kepalaku berputar, mengingat kembali keadaanku sebelumnya. Tadi aku terbangun, jadi kemungkinan sebelumnya aku tak sadarkan diri di suatu tem-pat? Benar! Waktu itu aku berdiri di atas tebing yang curam.
Ah, mengingat kembali kejadian itu membuatku kembali merasakan perasaan itu. Sedih, putus asa, kesal, marah, dan keinginan untuk mengakhiri hidup. Wajahku menggelap, aku bahkan lupa jika aku sedang ketakutan melihat sosok yang sedang mengajakku berbicara.
Ingatanku kembali merangsek masuk ke dalam kepalaku. Kesadaranku pulih seketika, bersatu kembali seperti serpihan fuzzle yang menyatu dengan rapi.
Saat itu aku baru saja pulang dari sekolah. Hari kelulusanku. Ya. Aku duduk di bangku sekolah menengah atas. Usiaku 18 tahun, Azalea Pavla namaku sejak lahir, pemberian mendiang ibuku yang meninggal saat usiaku 10 tahun.
Kulangkahkan kaki dengan malas. Meski sekolah sangat malas, pulang ke rumah jauh lebih enggan lagi. Tinggal seatap dengan ayah tiri adalah sebuah kesialan terbesar dalam hidupku. Kupeluk erat piala dan piagam penghargaan sebagai murid berprestasi dengan nilai ujian nasional terbaik di dadaku. Siapa yang akan bangga dengan pencapaian ku? Untuk apa semua penghargaan dan hadiah ini?
"Hah ...." Menghela nafas berat, kulanjutkan perjalanan pulang.
Dengan langkah terseok, kuseret kakiku agar terus melangkah. Baru tadi siang seseorang menendang kakiku, hingga terjerembab di atas lantai. Sepertinya selain tulang keringku membiru, kakiku terkilir. Namun kuabaikan sakit, sudah biasa mendapat perlakuan seperti ini.
3 tahun sekolah, 3 tahun mendapat perlakuan tak mengenakan. Dibully, dicaci, dimaki, dihina, bahkan dilecehkan.
Yang pasti aku ingat satu yang membuatku mendapat perlakuan seperti ini. Aku enggan menyebut namanya. Dia kakak kelasku yang sudah lulus. Padahal dia sudah bebas dari sekolah ini. Tapi dia meninggalkan kesialan padaku yang masih menetap. Karnanya aku ditindas oleh seluruh penghuni sekolah bahkan guru. Menyebarkan rumor bahwa aku gadis belian yang bisa dipesan dan dibayar. Apa salahku padanya? Sungguh aku tak tahu, dia sendiri bilang tak perlu alasan untuk membenciku.
Semua pria merendahkanku, berusaha menyentuhku seperti hewan buas melihat mangsanya. Sedangkan para wanita menatapku rendah seperti melihat mahluk yang menjijikan.
"Aku pulang," ucapku susah payah saat kudorong daun pintu hingga sedikit terbuka.
'Apa ini?' batinku saat melihat ceceran darah di atas lantai.
Deg!
Pikiranku langsung teringat pada sesuatu, kuedarkan pandangan mencari sosok Malta, kucing putih sahabatku. Tubuhku gemetar hebat menampik segala pikiran buruk yang menghantuiku seketika. Tidak. Tidak mungkin, tampikku.
"Lea?" ucap Gissele kekasih ayah tiriku saat keluar dari arah dapur dengan sebilah pisau ditangannya. Pisau itu bersih, tapi hatiku belum merasa tenang melihatnya. Jelas aku mencurigainya melakukan sesuatu.
"Dimana Malta?" tanyaku padanya.
Wanita jalang itu tak menyukai kucing, jelas aku curiga saat melihatnya memegang pisau sementara di lantai banyak darah berceceran.
"Bukannya nanyain ayahnya, baru dateng nanyain kucing. Gak waras emang lu!" Tetiba suara yang tak asing bagiku terdengar memekik hingga membuatku menoleh melihat ke arahnya.
"Ayah! Mana Malta!" seruku langsung menatap tajam ke arahnya.
"Mampus. Kucinglu dah mampus! Tuh buang Sono bangkenya!" titah pria paruh baya itu sembari mengangkat telunjuknya menunjukkan posisi Malta kucingku.
Netraku membulat saat mendapati Malta tergeltak begitu saja dengan tubuh penuh luka dan darah segar merembes dari sekitar perutnya. Kontras dengan lantai dan kulitnya yang warna putih, darah segar itu merah menyala membuat bulunya yang biasa terlihat mengembang, jadi lepek dan basah.
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari dan merengkuh tubuh ringkih mahluk kecil itu setelah melemparkan piagam dan piala yang langsung pecah, terbelah berhamburan di lantai. Berkali-kali kudekatkan telingaku ke dada Malta. Namun tubuh dingin itu sudah mengeras kaku. Tak ada lagi nafas, apalagi respon atau gerakan.
Dengan mulut kelu membisu, air mataku deras mengalir seperti keran bocor. Geligiku beradu gemeretuk. Memburu nafas, dengan tatapan tajam aku berbalik menatap Gissele dan ayah tiriku bergantian.
"Serem banget sih anak lu Dit, melotot gitu kayak mau keluar matanya," dengus Gissele lalu melengos pergi meninggalkan ruangan itu.
"Najis banget! Mana ada anak gua. Anak gua ada di rahim lu kan sayang," ucap manusia laknat itu tanpa dosa.
Kupejamkan mataku, mencoba mengontrok segala emosi yang meluap-luap di dada. Perlahan kuletakkan tubuh Malta di bawah lantai yang sudah kualasi tasku, lalu dengan penuh amarah aku bangkit. Secepat kilat kuraih rambut tukung wanita sialan itu dan menjambaknya hingga membuatnya memekik, meringis kesakitan.
"Akh! Dito! Ini anak lu gila udah gak waras!" teriakmya sembari meronta-ronta.
Melihatnya kesakitan semakin membuatku bersemangat menarik rambutnya lalu kutampar wajahnya. Rasanya ingin kuraih pisau di tangannya itu, namun sekali tarikan Dito meraih lenganku lalu menghempaskan tubuhku.
Brukh!
Tubuh ringkihku terhempas dan terjatuh.