Ekor merah menyala seperti bara api yang mencuat ke atas. Di ujungnya terlihat runcing seperti ujung anak panah. Ah! Sepertinya aku tahu siapa jin wanita itu.
"Yevtsye! Ada apa ini!" bentak Garda lantas mendorong bahu Yevtsye hingga ia terhuyung.
Namun seketika air muka Garda yang terlihat jengkel berubah menjadi menyesal saat ia melihat apa yang sama kulihat juga. Perut atas Yevtsye terlihat bolong dengan darah hitam kental di sekelilingnya. Melihat hal itu tentuk aku agak mual, namun juga ngilu membayangkan seperti apa sakitnya luka itu.
"Kenapa ini? Apa yang terjadi padamu?" tanya Garda panik. Melihat reaksi Garda ada gelanyar rasa kesal di dadaku. Sesak, dan jengkel sekali. Namun sisi kemanusiaan ku tentu memahami hal itu.
"Kakanda tolong aku hiks ... Argh! Ini sakit sekali, tolonglah aku!" lirihnya disertai isakan.
Sesekali ia mengaduh menahan nyeri di bagian lukanya.
"Kenapa kamu tidak menyembuhkan diri dengan kekuatanmu? Bukankah kamu bisa melakukan itu?" tanyaku seadanya. Itulah yang kutahu belum lama ini dari Garda.
"Iya, kenapa kamu tidak menyembuhkan diri?" tanya Garda.
"Tubuhku terlalu lemah. Tenaga dalamku sudah terkuras seluruhnya, argh! Tolonglah bantu aku kakanda!" lirihnya memilukan.
"Duduklah! Biar kuobati!" tawar Garda sambil memapahnya berjalan. Sementara aku menghindarinya lantaran ekornya mengibas-ngibas ke arahku, membuatku takut tertancap ekor tajam yang terlihat panas itu.
"Ah! Tidak bisa! Sepertinya aku ... Harus ... Berbaring Kakanda! Dadaku sesak!" ucapnya ditekan, menahan rasa sakit.
Namun kedua buah dadanya yang menonjol, memperlihatkan belahan yang mengkilap saking padatnya, membuatku menahan nafas. Sebenarnya ia benar-benar kesakitan atau tidak sih? Bagiku ia terlihat seperti menawarkan gelembung dadanya itu pada Garda.
"Diamlah, aku harus fokus," ketus Garda membuatnya berhenti menggeliat.
Sementara Garda memejamkan matanya sambil membaca mantra, terlihat Yevtsye menyeringai ke arahku.
"Eh?" Kumiringkan wajah, memastikan apa yang kulihat barusan.
Namun Yevtsye ternyata tengah meringis menahan sakit. 'Sial sekali imajinasi liarku,' rutukku dalam batin.
"Terima kasih Kakanda! Jika saja tak ada kakanda, mungkin aku sudah tak berdaya dan mati kehabisan tenaga," ucapnya setelah tubuhnya normal kembali, dan semua lukanya sudah Garda sembuhkan. Sambil menyentuh tangan Garda, Yevtsye mengelusnya perlahan. Lantas Garda menepisnya lalu beralih tempat duduk ke dekatku.
Kupalingkan wajah saat melihatnya melakukan itu, jelas aku jengkel dan cemburu. Terlebih ia sudah mengotori ranjang pengantinku dengan darah kotornya. Setelah ia pergi nanti, aku akan meminta Lodyar menggantinya.
"Kenapa kamu bisa terluka?" tanyaku sedikit penasaran, sebenarnya hanya karena tak ada topik, dan aku sungkan untuk segera mengusirnya dari kamar ini.
Terlihat gurat kekecewaan tersirat di wajah Yevtsye. Sepertinya ia tengah berharap bahwa Garda lah yang menanyakan hal itu. Bahkan aku bisa menerka bahwa mungkin ia enggan menjawab pertanyaanku, terlihat ia mendengus malas sambil memutar bola matanya.
"Istriku bertanya," tegur Garda seketika membuat Yevtsye tersentak kaget.
"Ah, i-iya ... Aku baru saja mau menjelaskannya. Itu ... Aku takut mengatakannya. Dia ... Pelakunya adalah-"
"Succubus jalang itu yang menggodaku duluan! Giliran kusentuh dia memberontak seperti jin sableng!" gerundel sesemahluk bertubuh tinggi besar dengan perut buncit dan kulit merah tiba-tiba. Sebagian tubuhnya terlihat dari bingkai pintu seolah ia tak bisa melangkah masuk ke kamar ini.
'Mahluk apa lagi ini,' batinku.
"Dia kakakku, Kakanda Raden Sanca Depa," jelas Garda seolah mengetahui apa yang kupikirkan.
"Dia! Jin gila itu! Dia berdusta kakanda Garda!" Dia berdusta!" pekik Yevtsye lalu bersembunyi di balik tubuh Garda.
"Hei kau Succubus rendahan! Pelankan nada bicaramu! Kasta rendah seperti dirimu beraninya pada pangeran penerus kerajaan seperti kaula!" bentak Sanca sembari berkacak pinggang.
Sontak kututup telinga mendengar gelegar suaranya yang mengerikan. Sepertinya aku harus terbiasa dengan semua hal ini jika memutuskan untuk hidup bersama Garda.
"Kakanda Raden Sanca! Kesalahan apa hingga membuatmu hampir membunuhnya!" bela Garda meski sambil terus menepis cekalan lengan Yevtsye.
"Iya! Aku hanya menolak hasratmu dan kamu melakukan ini padaku!" pekik Yevtsye.
"Rendahan! Beraninya kau melotot ke arahku! Kemari kau Succubus penuh muslihat! Kau pikir kau aman bersembunyi di balik Garda? Kemari kau biar ku nikmati lalu ku lumat habis tubuh palsumu itu!" Sanca mengangkat dagu penuh murka namun tak melangkah melewati batas pintu selangkah pun. Seolah ada kaca penghalang yang menghalau jalannya.
"Kemarilah jika berani!" tantang Yevtsye seolah tahu bahwa dia aman.
"Sudah! Kalian anggota keluarga kerajaan kenapa tingkah kalian rendahan seperti kasta bawah yang tak beradab!" bentak Garda menuntut mengendalikan, membuat ruangan hening seketika.
"Kharhk! Cuih! Tak Sudi kaula diakui sedarah dengan mahluk hina dina seperti dirinya yang hanya seorang Succubus! Kaula jauh lebih mulia dari padanya!" gerutu Sanca.
"Kakanda! Tolong kembalilah ke Astanamu, jangan menggangu nyai Yevtsye lagi. Jelas kau akan menang lantaran lebih unggul darinya! Tak ada yang bisa kau banggakan jika kau menghabisinya!" titah Garda membuat Yevtsye tersenyum penuh kemenangan.
"Jin jalang sialan! Awas saja kau sekali lagi menggodaku dan berdusta sembarangan! Kukoyak tubuhmu lalu kulumat habis tau rasa kau!" rutuk Sanca sambil berlalu pergi.
Sepeninggalan Sanca, Yevtsye kembali meraih lengan Garda. Kini tubuh sintalnya jelas terlihat dengan sempurna lantaran tak ada setitik luka pun di badannya itu.
"Sekali lagi, terima kasih Kakanda, beribu kasihku untukmu. Jika kakanda berkenan, nyai akan melakukan apa pun untuk membalaskan Budi pada kakanda Raden Garda," ucap Yevtsye dengan suara mendayu penuh muslihat.
Bagiku ia seolah terlihat tengah menawarkan tubuhnya pada Garda.
"Pergilah. Kau sudah mengganggu waktu pribadiku dengan istriku sejak tadi. Kuharap lain kali jika kau terluka, pergilah menemui tabib Astana bukannya datang padaku," usir Garda dengan terang-terangan. Sembari menepis tangan Yevtsye yang terus meraihnya.
Menunduk malu, Yevtsye pun berlalu. Namun kegigihan terlihat jelas di wajahnya. Jelas ia akan mengganggu lagi dilain waktu. Entahlah, sepertinya instingku rasanya lebih tajam semenjak terbangun di negeri jin ini. Seluruh panca indraku sangat sensitif dan aktif. Aku yang biasanya selalu telat menyadari sisi lain karakter seseorang, rasanya melihat jin-jin di sini aku seolah bisa mengetahui sisi lain dari mereka. Termasuk Yevtsye yang bagiku terlihat seperti dahaga akan sentuhan dan belaian.
"Jenis jin apa Yevtsye itu? Kenapa wujudnya cantik sekali?" tanyaku tanpa sadar.
Garda melihat ke arahku saat ia menutup pintu dan memasang kembali penghalang tak kasat mata semacam dinding kedap suara, dan anti peluru (itu gambaranku saja).
"Hm, seperti yang kakakku bilang. Dia adalah sejenis Succubus. Jin betina yang selalu menggoda kaum pria. Hasrat birahi mereka kuat. Dan Yevtsye adalah satu-satunya keturunan jin Succubus yang pernah ada," terang Garda.
"Satu-satunya? Kenapa? Apa mati semua?" tanyaku penasaran lantas kudekatkan diri, duduk di sampingnya.
"Kau tak tahu? Succubus itu tidak bisa bereproduksi. Mereka tidak hamil. Dan dia adalah satu-satunya yang terlahir," tambahnya lalu menghela nafas dan menghadap padaku sembari memainkan poniku.
"Ibunya adalah selir ayahku. Dan beliau meninggal saat melahirkannya. Selir pertama sangat ingin menjadi ratu. Namun kau tahu? Seorang ratu itu harus memiliki keturunan, jadi dia memaksakan diri untuk mengandung meski itu tak mungkin untuk sebangsanya," terang Garda membuatku mengangguk paham, sambil ber-oh ria.
Ternyata Yevtsye adalah seorang piatu sepertiku. Ia bahkan terlahir tanpa pernah bertemu dengan ibunya terlebih dahulu. Namun meski aku agak kasihan aku tidak begitu peduli tentangnya. Aku memang memiliki sisi kemanusiaan. Tapi tidak untuk memanusiakan jin gila seperti dirinya. Sudah jelas Yevtsye memiliki niat tak bagus padaku, terlepas dari apa pun yang ia inginkan, yaitu memiliki Garda.
"Melamunkan apa?" tanya Garda sambil menyelipkan poniku ke sela daun telingaku.
Aku menunjuk ke arah darah hitam pekat kental di ranjang bekas Yevtsye berbaring tadi. Aku mengelus punggung lenganku sendiri, merasa jijik dan ngeri melihatnya. Nulis darah pekat itu menggeliat-geliut seperti cacing kecil. Untuk seorang yang phobia terhadap hewan melata sepertiku, sangat menjijikan melihatnya.
"Tutup matamu," titah Garda lantas kuturuti.
"Sekarang sudah tak ada, buka matamu lagi," ujarnya.
Benar saja, seprainya sudah bersih bahkan kini sudah berganti dari seprai berwarna keemasan, menjadi seprai putih yang lembut. Padahal tadinya aku berniat meminta tolong Lodyar untuk menggantinya. Ternyata dengan sihir semuanya menjadi lebih mudah.