Chereads / Suamiku Siluman! / Chapter 3 - Bab 3 l Kenyataan pahit!

Chapter 3 - Bab 3 l Kenyataan pahit!

Aku terjatuh, bersimpuh tanpa daya. Kenyataannya sudah jelas, semua perlakuan Aldera padaku hanya sandiwara.

"Seneng lu jadi pacar cowok famous di kampung ini? Mimpi aja terus lu! Makanya ngaca dong!" bentak Lilian memekik telingaku.

"Apa ... Apa salahku?" gumamku nyaris tak terdengar

"Hah? Ngomong apa sih lu? Kena mental ya? Dikibulin cowok ganteng?" tanya Lilian sembari mengangkat daguku yang ia himpit dengan jemarinya.

"Non, udahlah. Kita balik aja yuk, sayang," ajak Aldera lembut sembari meraih lengan Lilian.

"Lepas! Gua gedeg sama nih cewek, sok banget ngira kamu beneran cinta sama dia! Jijik gua liatnya, sok kecantikan banget!" maki Lilian tepat di depan wajahku.

"Kan kamu yang suruh aku buat jadian sama dia. Kok marah sih? Udahlah biarin dia aja," bujuk Aldera sembari memeluk Lilian dengan sayang.

Jelas itu sangat menyakitkan bagiku yang mengira bahwa aku dan Aldera memiliki hubungan lebih. Pantas saat tadi pagi kelulusanku, dia bahkan tak terlihat batang hidungnya untuk sekedar mengucapkan selamat padaku.

"Kamu belain dia? Kamu beneran suka ya sama jalang pelacur ini?" cecar Lilian sembari menoyor-noyor kepalaku. Tak sakit, namun rasanya hina sekali, bahkan di hadapan lelaki yang sangat kukagumi.

"Apa sih? Kan gua udah bilang gua lakuin itu atas perintah lu! Mau lu apa sih Lilian?" Terlihat urat leher Aldera menegang. Jelas ia marah dan jengkel menghadapi tingkah Lilian.

"K-kamu bentak aku?" lirih Lilian disertai isakan.

"Kamu berani bentak aku? Bahkan depan si kucel ini?" Kini tangis Lilian tumpah, membuat Aldera mengacak rambutnya frustrasi.

"Engga yang ... Bukan git-"

"Terus kenapa kamu marah sama aku? Hiks ... Hiks ...."

Jelas itu hanya akting, kutahu dengan sangat pasti dan yakin. Mengingat ia bahkan pernah mengadukanku pada guru sembari menangis meminta pertolongan padahal aku tak menyentuhnya sama sekali.

"Eng-engga sayang! Duh! CK! Ini salah paham. Aku kesel liat muka dia jadi kebawa emosi kan! Udahlah kita pulang yuk! Bikin mood jelek aja sih liat muka si kucel ini," sindir Al sembari mendengus mendelik ke arahku.

Aku menggeleng pelan sambil tertawa kecut. Rupanya pria ini juga seekor ulat berbulu. Bagaimana bisa ia mengataiku begitu padahal sebelumnya ia sangat memuji kecantikanku. Kuangkat kaki, lalu berlari dengan sisa tenaga yang kupunya. Terlalu menjengkelkan melihat sepasang ulat bulu gatal beradu akting.

"CK! Apaan sih bikin kaget! Woy! Kucel!" dengus Lilian saat melihatku berlari.

"Dahlah biarin dia pergi, bikin jengkel aja," ucap Aldera.

"Gimana kalo dia lapor ayahnya terus ngadu sama guru-guru?" khawatir Lilian.

"Dia gak punya ayah, cuma ayah tiri yang gak sayang sama dia kok." Terdengar suara lega Aldera dan Lilian melihat kepergian ku.

Sudah tak jelas lagi apa yang kurasakan. Tertatih-tatih aku berusaha berlari dengan segala rasa sakit yang teras di sekujur tubuhku yang penuh luka. Jemari tangan kiri ku yang patah bahkan tak bisa kugerakkan.

"Hah! Hah! Hah!" Dengan nafas menderu, naik turun dadaku seperti ikan di angkat dari air.

Kakiku pun berhenti saat tersadar bahwa aku sudah berada di ujung tebing yang tinggi. Kengerian merangsek masuk ke dalam dadaku saat melihat dasar jurang yang sangat curam dengan dipenuhi bebatuan tajam dan terjal. Aku pasti langsung mati jika saja jatuh ke dasar sana. Refleks aku beringsut mundur, terjatuh dan duduk.

Tanpa sadar ternyata aku terus berlari naik. Desaku yang memang berada di atas gunung, membuatku terbiasa menanjak naik.

Menghela nafas berat dan lega, Kupejamkan mataku merasakan nyeri di sekujur tubuhku. Pasti membutuhkan waktu yang lama untuk badanku pulih. Pulih? Itu terlalu lama. Apa sebaiknya kuakhiri saja hidupku supaya semua rasa sakit dan deritaku berhenti? Pikirku.

Kembali menghela nafas, kubaringkan tubuhku perlahan. Menatap langit malam yang dipenuhi jutaan gemintang diantara bulan yang bersinar dengan terang. Bulan itu bulat penuh, sepertinya ini malam bulan purnama.

Bahkan langit acuh padaku, mereka terlihat bahagia di atas sana. Dalam drama atau film yang pernah kutonton, biasanya turun hujan saat pemeran mereka bersedih. Namun siapa aku? Figuran pun sepertinya bukan. Lantas untuk apa langit repot-repot ikut bersedih atas penderitaanku.

Sejenak kutakjubi bulan dan bintang yang berserakan di langit hitam itu. Andai aku menjadi salah satu diantara mereka, mungkin akan menyenangkan. Tanpa beban, berkerlip saling kedip tanpa merasakan sakit dan penderitaan sepertiku.

Srak!

Tetiba terdengar suara ranting kering patah seperti terinjak. Sontak aku bangkit, melihat ke arah suara. Betapa terkejutnya aku saat mendapati sesosok mahluk berbulu besar tengah menengadah menatap langit sepertiku.

'Ya Tuhan! Bisa mati aku jika ia menengok ke sini!' batinku.

Seekor singa putih besar itu terlihat cantik dimataku. Bulunya yang lebat dan terlihat lembut membuatku ingin memeluknya dan mengelusnya. Namun tidak. Jelas mahluk itu adalah hewan buas. Bagaimana mungkin ia jinak seperti Malta. Jelas aku akan dilahapnya setelah puas dicabik-cabik oleh kuku-kuku panjangnya yang tajam, dan geligi taringnya yang runcing.

Perlahan aku beringsut mundur, namun tanpa sengaja bokongku menindih ranting dan dedaunan kering hingga membuat harimau itu menatap ke arahku.

Deg!

Ia menatapku dengan kedua netra hitamnya yang tajam. Bola mata kristalnya menyala menatapku dengan tatapan sulit diartikan. Kukerjapkan mata, menyadarkan diri lantaran sesaat aku terpana melihat keindahannya yang menghipnotisku.

Namun saat ia melangkah maju mendekatiku, refleks aku mundur menghindarinya. Sialnya, aku sudah berada di ujung tebing dan kakiku merosot lantaran tanah yang kupijak melorot longsor. Aku pun terpelanting dan terjatuh.

Saat tubuhku terhempas di udara, kulihat sesuatu melesat secepat kilat ke arahku dan saat itu aku langsung tak sadarkan diri. Semua terjadi terlalu cepat hingga aku tak bisa memikirkan apa pun.

Benar. Padahal aku sudah merasa tenang dan baik-baik saja seandainya waktu itu aku mati terjatuh ke lembah yang terjal. Setidaknya akan lebih cepat prosesnya dibanding harus mati dilahap seekor harimau putih.

*

*

*

Gong! Gong! Gong!

Suara gong dipukul tiga kali, membuat lamunan panjang ku terhenti.

"Yang Mulia Raja sudah tiba, cepat bawa mempelai wanita ke altar pernikahan. Tunggu apa lagi?" Sebuah suara menggelegar, membuatku semakin tersentak kaget, tersadar dari ingatan kejadian sebelum aku pingsan.

Segera aku berbalik menatap wajah sosok itu. Sontak aku terhenyak melihat wujudnya. Mahluk besar bertubuh gembrot dengan kepala berbentuk badak bercula satu warna hitam. Lendir menjijikkan menempel di sekitar hidungnya yang basah, terlihat lengket berwarna bening.

"Hmmph!" Segera kututup mulut saat perutku terasa ditarik naik seperti mau mengeluarkan semua isinya.

Gegas aku menggeleng kuat, tidak aku tak peduli mahluk itu. Aku kesal kenapa aku tidak mati saat itu. Hidup yang tak adil sudah menimpaku sejak lahir. Lantas apa ini? Berada di dunia jin? Kerajaan apalah namanya itu? Persetan, aku ingin mati saja!

"Aku tak mau tau tentang pangeranmu siapa pun dia. Katakan aku tak mau menjadi penggantinya!" bentakku memberanikan diri.

"Ggrr ... Lok ... Lok ... Lok ... Hmm ...." Geraman menggema di dalam ruangan besar yang indah ini. Jelas mahluk itu naik pitam melihat penolakanku.

Glek.

Kulirik sesosok mahluk lagi yang tengah berdiri di bingkai pintu dengan membawa kapak besar di tangannya. Mahluk itu lebih menyeramkan lagi dibanding badak berlendir di belakangku. Ya Tuhan! Sial sekali hidupku.

Akhirnya aku mengikuti mereka dan dibawa dengan kursi roda lantaran kakiku lemas tak bisa berdiri saking takutnya.

Padahal semua lukaku hilang tak berbekas, dan tubuhku terasa ringan dan bugar. Tapi melihat sosok mereka membuat lututku tak bertenaga.

Kupejamkan mata sepanjang perjalanan menuju suatu tempat yang katanya altar pernikahan. Tak sanggup kubuka mataku lantaran dua sosok mahluk yang menggiringku saja sudah luar biasa menakutkan, lalu apa lagi yang akan kuhadapi nanti? Otakku seakan berhenti bekerja, aku pasrah tak mau melakukan apa pun lagi, terserah mau jadi apa aku nantinya. Aku hanya akan diam tak akan mencoba melakukan apa pun.

Segala macam suara menyeramkan terdengar dikupingku, tawa, jerit, teriakan, seruan, hingga tangis anak kecil dan suara berlarian mereka. Namun saat roda kursi yang kutumpangi berhenti, seketika semua suara senyap seketika. Hening bahkan suara nafas menggelikan dan menyeramkan yang sedari tadi terdengar pun berhenti. Hingga aku bisa mendengar suara jantungku sendiri.

"Hormat kami pada matahari abadi, yang mulia maha Raja Kahiang Jaya Kusuma. Raja kerajaan Kahiang Asih!" Serempak suara hormat bergemuruh riuh menggema menggelegar di seisi ruang.