Chereads / Suamiku Siluman! / Chapter 6 - Bab 6 l Paras Rupawan

Chapter 6 - Bab 6 l Paras Rupawan

Kupejamkan kedua netraku saat tersadar bahwa aku tengah melayang di atas udara, secepat kilat terjatuh. Menyadari detik demi detik aku kian dekat ke dasar pijakan, kubayangkan sosokku yang remuk tergeletak bersimbah darah di bawah sana. Namun ....

Hap!

Sekali tangkapan, sesuatu meraih tubuhku dan merengkuhku. Terasa hangat dan nyaman, sontak kubuka mataku. Jangan bilang misiku untuk bunuh diri gagal lagi?

Dan benar saja. Mahluk bertopeng dengan veil hitam baru saja menangkap dan memelukku.

"Garda?" gumamku tanpa sadar menyebut namanya.

Aku terkesiap menyadarinya, lantas kudorong tubuhnya menjauh dariku. Namun saat kuhirup aroma tubuhnya yang wangi, tanpa sadar kubenamkan wajahku di dadanya. Mengingat aku dan dia masih melayang di atas udara.

'Sial. Kenapa malah jadi meluk jin valak ini sih,' dengusku dalam batin. Lalu ku dorong kembali wajahku menjauh darinya sambil terus meronta, menghindarinya. Aku seperti orang plin-plan, sesaat aku ingin dekat dengannya, sesaat aku ingin menjauhkan diri darinya. Angin yang menerpa wajahnya membuat topeng dan veilnya terlepas lantaran aku yang terus menggeliat meronta tak bisa diam. Sontak aku membenamkan kembali wajahku di dadanya. Aku tak sanggup melihat wujudnya saking takutnya.

"Kya! Raden Garda!" Suara teriakan histeris para jin wanita terdengar bersorak di bawah sana.

Wush!

Suara sorakan itu lenyap seketika. Hening, seolah tak pernah terjadi apa pun. Saat kubuka mataku, ternyata aku sudah berada di kamar berdekorasi pengantin tempat pertamaku terbangun. Saat aku tersadar aku tengah terduduk di pangkuannya, refleks aku melompat kaget menjauh darinya.

"Kenapa kamu melakukannya lagi?" tanyanya dengan suara sendu. Suaranya lembut membuatku ingin menatapnya.

"Apakah kamu tidak bahagia menikah denganku? Apakah kamu tidak ingin hidup denganku?" tambahnya.

"Kenapa kamu melakukan ini padaku? Hiks ... Aku ini manusia, tidak bisakah kamu menikah saja dengan kaum sebangsamu?" lirihku disertai isakan. Tanpa berani menatap ke arahnya, aku terus beringsut mundur menjauh. Hingga berada di ujung ranjang, barulah aku bersimpuh sembari menyeka air mataku.

"Tolong lepaskan aku, biarkan aku sendiri. Aku ingin mati saja. Aku tak sanggup lagi hidup kumohon," mohonku sembari menyatukan kedua tangan, bersujud menyembahnya.

"Angkat wajahmu nyai, lihat wajahku jika sedang berbicara denganku," ucapnya tiba-tiba.

Gegas kugelengkan wajah, menolaknya.

"Kumohon lihat wajahku. Apakah aku semenakutkan itu dimatamu?" lirihnya sembari mendekat ke arahku.

"Jangan mendekat! Atau kugigit lidahku!" ancamku.

"Jangan lakukan hal yang sia-sia nyai. Aku bisa mengendalikanmu jika aku mau. Tapi aku menghargai mu," ucapnya seperti manusia berperasaan saja.

"Tidak. Kamu tidak menghargai ku. Jika iya, kenapa kamu memaksaku melakukan pernikahan ini?" ucapku dengan suara gemetar, tanpa merubah posisiku dari posisi sujud.

"Oh ya ampun! Percayalah kumohon nyai!" keluhnya frustrasi.

Namun lagi kugelengkan wajahku kuat-kuat.

"Tidak!" pekikku.

"Nyai tolonglah. Aku melakukan ini demi melindungi mu. Untuk menjagamu, dan karena aku sangat mencintaimu. Mungkin ini terdengar egois. Tapi sebelumnya kita sangat mencintai. Keserakahanku, membuatku tak sanggup lagi menunggu waktu berlama-lama membiarkanmu jauh dari jangkauanku nyai," ujarnya meyakinkan sembari terus mendekat ke arahku.

Apa maksudnya itu? Saling mencintai? Omong kosong. Jelas ini pertemuan pertama kita. Aku tak percaya dengan reinkarnasi apalah itu. Dalam posisi berjaga, aku terus waspada menjaga jarak darinya, namun ....

Hap!

Sekali tangkapan lagi dia merengkuhku dari belakang lalu mengangkat tubuhku hingga posisi kami berhadapan.

Deg!

Aku tertegun menyadari secepat kilat ia merubah posisi dan berpindah tempat. Tak heran mengingat ia bahkan membawaku berteleportasi tadi saat terjatuh dari menara. Namun tetap saja aku terkejut melihatnya bergerak secepat itu.

"Tatap aku ...." bisiknya menghipnotis dengan suara yang parau.

Glek!

Menelan Saliva, aku seolah dikendalikan hingga menatap kedua netranya dengan sukarela. Dan betapa terkejutnya aku melihat dua manik mata legamnya yang segelap langit malam tanpa bintang. Bukan hanya itu, wajahnya luar biasa tampan, dengan rambut berwarna perak mengkilap. Hidungnya mancung, bibirnya merah muda alami. Kulit putihnya kemerahan di bawah cahaya lilin di kamar itu. Bahkan boyband Korea saja ketampanannya tak sebanding dengan mahluk di hadapanku ini.

Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin ada mahluk setampan ini? Saking tampannya hingga terlihat seperti cantik. Lebih cantik dari pada aku. Indah sekali!

Kusentuh bulu mata panjangnya dengan jemariku. Tanpa mengalihkan pandangan dari wajahnya. Terlalu menggoda, terlalu tampan hingga tak bisa membuatku berpaling.

"Raden ... Garda?" gumamku tanpa sadar menyebut namanya.

"Iya, Nyai, Roro ghendis?" jawabnya dengan senyuman.

Lantas kutautkan alis mendengar nama wanita lain disebutnya.

"Si-siapa?" tanyaku spontan.

"Namamu, nyai Roro Ghendis," ucapnya pasti.

Kugeleng wajahku, tanda protes.

"Namaku Azalea. Sudah jelas kan kamu salah orang. Sepertinya kamu menikahi orang yang salah!" seruku lantas mendorong tubuhnya hingga terpental, dan aku beringsut mundur.

"Tidak! Kamu adalah Roro Ghendis! Kamu titisan kekasihku Roro Ghendis, nyai?" ucap nya panik.

"Mundur kau penipu! Aku tau wujudnya adalah ilusi! Kalian mahluk jelek buruk rupa mengerikan!" hardikku tepat di depan wajahnya. Sesaat aku merasa bersalah sudah menghina bangsanya. Namun itu hanya makian tanpa sadar yang terus keluar dari mulutnya secara spontan. Aku tak benar-benar berniat menghina ciptaan tuhan apa pun jenisnya atau bagaimana pun bentuknya, itu kulakukan hanya agar dia tak terus mendekatiku.

Meski sesaat aku terpana, terpesona oleh keindahan wajahnya. Namun aku tersadar, bahwa semua itu hanyalah sihir ilusi semata.

"Tidak! Nyai, inilah wujudku. Aku memang terlahir dengan bentuk seperti ini! Jika kamu tak percaya, kamu bisa memastikannya sendiri nyai. Sentuh aku. Ayo! Sentuh biar kau tahu inilah wujudku sebenarnya. Jika ilusi tentu akan berubah!" serunya antusias.

Dengan ragu aku mendekat mencoba menyentuhnya.

Kulitnya punggung tangannya sehalus pantat bayi. Tak puas di sana, aku menyentuh kedua pipinya itu. Lalu beralih ke dagunya yang sedari tadi menggoyahkan rasa penasaranku untuk menjamah rahang tegasnya itu.

"Aku memang punya wujud lain, singa putih besar yang kau lihat saat pertama kali kita bertemu. Tapi itu bukanlah wujud asliku. Itu adalah wujud hasil tingkatan ilmu kesaktian ku," jelasnya sukarela.

Ternyata singa putih yang cantik itu adalah dia?

"Benarkah? Jadi itu adalah kau? Singa putih itu?" tanyaku dengan penasaran.

Kulihat ia terkekeh lalu maju mengelus pucuk kepalaku.

"Ah maaf! Aku selalu ingin menyentuhmu jadi tanpa sadar aku-" racaunya sambil menggaruk tengkuk.

Ia benar-benar beretika seperti manusia. Bahkan menyadari aku enggan disentuhnya, terlihat ia menghargaiku.

"Aku tak akan seenaknya menyentuhmu jika kamu belum siap. Tapi terus terang aku tak bisa menahan diri terlalu lama. Kau tau, kau terlalu cantik," godanya.

Singa nakal itu berbicara seolah ia mempunyai sikap, tapi juga berani mengatakan hal yang gombal padaku.

"Apa maksudnya itu. Aku tak mengiyakan pernikahan ini. Kenapa aku harus mau disentuh olehmu? Meski kau berparas rupawan, tapi tetap saja kau adalah jin! Mahluk yang berbeda jenis denganku!" ketusku.

"Kau tau, aku pernah tinggal di dunia manusia. Dan aku juga tau perkembangan budaya dan teknologi di sana. Aku akan membahagiakanmu jika kau mau membuka hati untukku," ucapnya meyakinkan.

"Aku ... Apakah aku bisa bahagia? Apakah boleh seperti itu? Hidupku ... Sudah hancur," gumamku hampir tak terdengar bahkan olehku sendiri.