Chereads / Suamiku Siluman! / Chapter 7 - Bab 7 l Lamaran Romantis

Chapter 7 - Bab 7 l Lamaran Romantis

"Tentu?" Kenapa tidak? Kenapa kau tidak bisa bahagia? Denganku, kau akan kulayani layaknya ratu. Apa pun yang kau minta, aku akan memberikannya. Meski ini terdengar terburu-buru bagimu, tapi dulu kita memang benar-benar pernah bersama dan saling mencintai. Bahagia, dan hidup dengan saling mengasihi," ujarnya lagi tanpa bisa kuiyakan. Jelas aku tak tahu dulu yang ia maksud itu dulu yang mana. Berkali kucoba mengingatnya, namun kenyataannya dia memang tak pernah ada dalam ingatanku.

"Ini pertemuan pertama kita. Tolong perlakukan aku sebagai aku, bukan seseorang yang pernah kamu kenal. Bagaimana pun siapa pun masa lalu mu itu, dia adalah orang lain bagiku," ucapku.

"Ah maaf, apa itu menyinggungmu nyai?" tanyanya.

"Lea."

"Hm?" Dengan wajah polos dia mengangkat kedua alisnya.

"Azalea, panggil aku Azalea. Namaku," ucapku ketus.

"Ah maaf, nya-maksudku Lea. Kalo gitu panggil aku Garda, ayo sebut namaku," pintanya dengan ekspresi puppy eyes. Menggemaskan. Dia terlihat seperti anjing kecil yang sedang ingin dimanja.

Entah dorongan dari mana, kuulurkan jemariku, tanpa sadar kupegang kepalanya yang sedari tadi terlihat seperti minta dielus.

"Lembut," gumamku.

"Ayo sebut namaku!" serunya lagi.

"Gar-da ... Garda?" gumamku kaku.

Dia terkekeh lalu memejamkan matanya merasakan sisiran rambutnya oleh jari-jariku. Kuhentikan aktivitasku saat merasakan kusut rambutnya lantaran sisir dengan jari yang basah oleh keringat.

"Ehem," dehamku lalu mengalihkan pandangan.

Wajahnya yang terlalu dekat membuatku tak fokus dan berkali-kali menelan Saliva, menahan dorongan hasratku saat melihat bibir lembutnya seperti yupi kenyal yang menggemaskan.

'Sial. Mesum sekali pikiranku,' batinku.

"Memikirkan apa? Mesum juga tak apa jika padaku," ujarnya seketika membuatku membulatkan netra.

"Kau! Jangan seenaknya membaca pikiran orang lain! Itu tak sopan!" bentakku. Kupastikan wajahku sudah memerah menahan malu.

"Hehe. Aku tak membaca pikiranmu. Semua tertulis dengan jelas di wajahmu," kekehnya lalu ku lempar wajahnya itu dengan bantal ringan di belakangku. Ia pun tergelak, tertawa renyah, manis sekali hingga membuatku terpesona.

Setelah tawanya berhenti suasana hening kembali, ia hanya menatapku dalam diam. Sedangkan aku menunduk menerima tatapannya begitu saja.

Kryuk~

Suara perutku membuat suasana malah semakin canggung bagiku. Kupejamkan mata dengan erat menahan perasaan malu. Kenapa situasinya selalu saja membuatku terlihat menyedihkan.

"Benar, sejak kau bangun belum makan apa pun kan?" tanyanya lalu bangkit.

"Ayo, sudah kusiapkan makanan untukmu," tambahnya lalu ia mengulurkan lengan ke arahku.

Kuraih tangannya tanpa penolakan. Tak ada bagusnya untukku menampik perasaan sendiri. Iya, perasaan lapar maksudnya.

"Pegang erat, akan sedikit membuatmu mual," bisiknya sembari mendekat ke arahku.

"Hm?" Kutautkan alis tak mengerti apa maksudnya.

Namun belum selesai aku mencerna perkataannya, tetiba ... Wush! Kami berteleportasi lagi. Sekelilingku terasa berputar, kupingku berdenging seperti mendengar suara derau putih yang agak memekik. Sontak kubenamkan wajahku ke dadanya sembari menutup kedua telingaku. Melihatku seperti itu, dia memelukku lembut seolah tengah menjaga benda yang rawan hancur.

"Sudah sampai?" tanyaku.

"Belum, sebentar lagi," jawabnya, saat kuintip ia mengangkat sebelah sudut bibirnya.

"Ish!" dengusku saat tersadar bahwa teleportasinya sudah selesai.

"Dasar modus!" Kugeplak bahunya lalu menjauhkan diri darinya.

Seketika aku terhuyung saat kakiku mendarat dipijakkan.

"Awas!" serunya lalu meraih pinggangku.

"Kan? Pusing kan? Buat manusia, teleportasi itu butuh waktu penyesuaian gak boleh langsung jalan nanti jatuh," ujarnya seolah ia tahu tentang manusia.

Mendengar penjelasannya aku menyetujuinya, memang benar rasanya pusing dan mual. Seperti naik lift dengan kecepatan tinggi.

"Duduk sini," titahnya sambil menarik sebuah kursi ke belakangku.

Lantas kuedarkan pandangan melihat ke sekelilingku.

"Dimana ini?" tanyaku sembari menyentuh sebuah meja makan bundar yang kosong di ruangan dengan penerangan yang remang. Suasana romantis seperti di film-film yang pernah kulihat di film-film.

"Ini di dunia manusia. Tepatnya restoran di hotel bintang lima yang selalu kau inginkan," jawabnya.

"Ruang VVIP," tambahnya bangga, saat melihatku heran lantaran tak seorang pun berada di sana.

"Dunia ... Manusia?" tanyaku, sementara batinku agak penasaran tentang bagaimana bisa ia tahu aku selalu mencoba mencicipi makanan restoran.

Namun aku tak begitu peduli hal itu, yang penting ternyata semudah ini aku kembali ke dunia manusia. Segera kuhirup dalam-dalam atmosfer di ruangan itu.

"Kita hanya bisa berada di sini kurang dari setengah hari," ucapnya penuh sesal saat melihatku kesenangan berada di dunia manusia.

"Kenapa?" tanyaku kecewa.

"Ilmuku masih belum cukup tinggi untuk berlama-lama di sini terlebih membawamu. Dan ... Bangsaku memiliki aturan yang seperti itu," keluhnya tersirat jelas di wajahnya.

Mencoba memahaminya, segera aku mengangguk mengiyakan ucapannya.

Kuedarkan pandanganku lagi, ada yang agak aneh. Di meja itu kosong tak ada sesuatu pun. Bahkan ruangan itu tak dihiasi lilin, hanya beberapa vas bunga besar yang mendokorasi ruangan itu.

"Umh ... Sepertinya kita sampai terlalu cepat. Aku tadi reservasi restoran ini dan ternyata makanannya belum siap," ucapnya kikuk sembari menggaruk tengkuknya yang mungkin tak gatal.

"Ah, begitu," ucapku agak kecewa.

Kriet~

Terdengar suara pintu di belakangku terbuka.

"Ah tuan muda! Maaf saya kira tuan belum datang. Maaf! Makanannya segera saya bawakan! Sekali lagi maaf! Habis saya tak melihat tuan muda datang!" ucap seorang pria paruh baya dengan setelan tuxedo lengkap, sepertinya ia seorang pelayan restoran.

Melihat pelayan itu berlalu, kulihat punggungnya sekedar menghindari tatapan Garda yang sedikit pun tak mengalihkan pandangannya dariku. Jujur agak risih terus ditatapi seperti itu. Seperti bocah yang sedang mengharapkan sesuatu.

Mengingat kami tengah berada di restoran mewah, tentu acara makan ini akan berlangsung formal kan? Tentu ada tata krama makan seperti table manner atau dress code atau semacamnya kan? Setahuku begitu jika lihat di film-film. Menyadari aku hanya mengenakan tanktop dan celana hitam selutut, lantas aku menunduk melihat baju yang kukenakan. Namun saat kulihat ternyata baju yang kupakai sudah berubah. Ketika aku membulatkan netra, terbelalak kaget.

"Bagaimana bisa?" gumamku sembari menatap heran ke arah Garda.

"Kenapa?" tanyanya dengan senyuman tersirat. Jelas ia tahu apa yang kupikirkan.

Sebuah gaun merah muda selutut dengan lengan di atas sikut, dan dada agak terbuka. Bahkan rambutku sudah terikat dengan rapi. Gaun simple yang elegan dan modis, pas sekali di tubuhku. Refleks aku berputar membuat rokku mengembang ala-ala putri disney saking kegirangan.

"Kamu bisa melakukan hal seperti ini?" tanyaku penasaran. Dalam hati aku tak berhenti terkagum-kagum.

Melihatku takjub, Garda terlihat puas. Kini ia pun memakai setelan toxedu putih dengan dalaman kemeja abu-abu dan pita pink, selaras dengan gaun yang kukenakan.

"Aku sering mengikuti trend dunia manusia terbaru, jadi jangan takut ketinggalan jaman saat jalan denganku," kekehnya bangga sembari menyodorkan sebuket bunga edelweis yang diikat dengan pita merah yang entah dari mana datangnya

"Maukah kau menikah denganku?" tanyanya sembari bertekuk lutut.

Lalu saat kuraih bunga itu ia membuka kotak kecil berisi sebuah cincin dengan permata bening gemerlap di tengahnya.

"Bukankah kita sudah menikah?" tanyaku datar.

Jujur ini terlalu cepat untukku. Bertemu dengannya, bahkan pengenalan kita terlalu singkat dan tak wajar. Terlebih kita adalah mahluk yang berbeda jenis. Aku yang seorang manusia dan dia yang adalah jin.

Namun ketampanannya terlalu mempesona. Tak akan ada yang menolak tawarannya, apalagi apa pun bisa ia lakukan, dan wujudkan dengan sihirnya.

"Tidak, aku tak bisa memindahkan gunung atau lautan. Tapi jika hanya candi atau membendung sungai, sepertinya aku bisa. Jaman sekarang banyak teknologi canggih yang bisa merealisasikan nya," ucapnya tiba-tiba seolah ia membaca pikiranku, hingga membuatku terkekeh.

"Jadi ... Bagaimana caraku supaya diterima menjadi suamimu seutuhnya?" tanyanya menuntut mengendalikan.

"Aku ... Mau," jawabku ragu namun tanpa basa-basi.