"Nyai, biar saya antar ke kamar pengantin sesuai titah Raden muda. Nanti beliau akan menyusul setelah urusannya selesai dengan yang mulia maha raja Kahiang Jaya Asih Kusuma."
Berbeda dengan perlakuannya tadi, badak ketus ini berbicara sangat ramah padaku.
Kukerjapkan mataku, lalu kuedarkan pandangan mencari keberadaanya. Ternyata benar, mahluk itu tak ada di tempatnya. Menghela nafas, aku pun bangkit. Kini aku berjalan menuju kamar tanpa didorong dengan kursi roda.
"Lepaskan, aku bisa jalan sendiri!" Kutepis lengan kasar mahluk itu, lantas aku tergesa menuju ruangan tempat pertamaku terbangun. Entah bagaimana caranya, tapi aku ingat di mana ruangan itu. Seolah ini bukan kali pertama aku berada di sini.
Brukh!
Setelah sampai berada di kamar, segera kuhempaskan tubuhku di atas ranjang, lelah sekali, padahal aku hanya tidur sepanjang acara.
"Saya berada di sini, panggil sesuka hati nyai jika membutuhkan sesuatu," tawar badak itu sembari pamit undur diri dan berdiri di balik pintu.
"Sebentar lagi nyai harus dimandikan kembang tujuh rupa, sebagai syarat acara penyatuan jiwa raga dengan yang mulia. Saya juga harus mendandani nyai. Jadi sebelum itu, beristirahat lah," tambahnya sebelum benar-benar menutup pintu.
'Sial. Sial sekali, aku bahkan tak punya waktu untuk memikirkan bagaimana cara untuk kabur,' batinku.
"Hei, kau! Aku membutuhkan sesuatu!" pekikku.
"Panggil hamba Lodyar nyai," ucap badak itu yang tetiba sudah ada di hadapanku.
Sontak aku terperanjat kaget. Bagaimana bisa dia datang secepat itu bahkan tanpa melewati pintu.
"B-bagaimana bisa? Tadi-kau ... Ah! Sudahlah. Aku ingin memakan sesuatu," ucapku.
"Silahkan berikan perintah nyai," tawarnya.
"Aku ingin makan pizza dan limun jus yang masih segar dan manis sekarang!" ucapku ketus. Jujur hatiku agak tak terima melakukan hal ini. Mengingat dulu aku selalu diperintahkan seperti ini oleh orang lain. Tapi hanya ini satu-satunya cara untuk mengulur waktu supaya aku bisa kabur. Diluar juga tak banyak penjagaan saat kulihat tadi. Aneh, kerajaan yang aneh.
"Baik nyai," ucapnya patuh.
Melihat dari raut wajahnya yang biasa saja, sudah kuduga permintaanku terlalu mudah.
"Aku ingin jus yang dibuat oleh ibu kantin di depan sekolahku," tambahku, sedikit membuatnya merubah ekspresi. Terlihat dari gerakannya mengangkat wajah menatapku aneh.
"Kenapa? Apa tak bisa? Aku tak mungkin memakan makanan dari dunia ini kan? Perutku pasti sakit," ucapku.
"Maaf Nyai, tapi kualitas makanan dan minuman di sini jauh lebih baik dari pada dunia MANUSIA," ucapnya penuh penekanan seolah membenci pernyataan ku barusan.
"Apa? Bukannya kau yang menawarkanku untuk memberi perintah apa pun itu?" ucapku ketus. Sempurna. Aku terlihat seperti peran antagonis di dalam film.
"Hmm. Hah. Baik. Dikarenakan fortal menuju dunia manusia sedang dalam pengawasan ketat, perlu waktu agak lama untuk mendapatkannya. Biar saya bawakan makanan sesuai permintaan nyai sesegera mungkin," ucapnya dengan jengkel.
"Aku ingin kau yang membawanya sendiri. Jangan nyuruh-nyuruh yang lain," tambahku ketus.
Setelah Lodyar menghilang dari pandanganku, tanpa mengulur waktu aku pun bangkit lalu turun dari pembaringan ku. Kulepas gaun beratku hingga menyisakan tanktop bertaburan permata dan celana bahan selutut. Bahkan kupereteli pernak-pernik yang menghias kepalaku lantas kuikat asal rambutku seperti biasanya.
"Done," gumamku.
Setelah mempersiapkan diri gegas aku berjalan menuju pintu. Sempurna, tak ada siapa pun di luar kamarku. Perlahan aku mengendap-endap di antara lorong yang menghubungkan jalan menuju luar. Baru aku tersadar bahwa kamarku berada di pertengahan menara yang sangat tinggi. Saat menaiki anak tangga tadi, aku tak menyadarinya sama sekali. Mendekat ke arah jendela, aku melihat kebawah lewat jendela tanpa kaca itu. Tingginya kira-kira lima atau enam meter. Lalu aku melihat ke atas menara, ternyata masih sangat jauh untuk sampai dipuncak. Jika aku terjatuh dari sini saja sudah pasti akan mati. Bagaimana jika aku melompat dari atas sana? Ugh, tubuhku sudah pasti hancur remuk tak berbentuk lagi.
"Pasti ada caranya supaya bisa kembali ke dunia manusia. Semacam fortal atau penghubung seperti di komik yang pernah kubaca," gumamku sembari mengedarkan pandangan.
Namun belum selesai aku berpikir, tetiba suara langkah kaki membuatku terkesiap.
'Sial. Bisa mati kalo ketauan mau kabur,' batinku.
"Raden Garda memang sudah tak waras. Mungkin karna ilmunya terlampau sakti. Jadi selera levelnya sudah gak normal," dengus sebuah suara dari arah tangga di depanku. Suaranya mengerikan seperti geraman yang tertahan.
"Benar, padahal nyai Paras Mencrang jauh lebih baik dari pada manusia hina dina itu. Beliau juga satu-satunya keturunan Succubus yang pernah ada," timpal yang lainnya disertai kekehan mesum. Jelas mereka tengah membayangkan tubuh molek adik tiri Garda itu.
"Sst ... Bagaimana jika Raden ada di kamar pengantin? Jangan ngomong yang aneh-aneh, kita ini cuma abdi. Jangan banyak komentar kalo gak mau berakhir mengenaskan!" bisik yang lainnya dengan nada protes.
Mendengar langkah mereka semakin mendekat, gegas aku berlari menaiki tangga di seberangku untuk menghindari mereka. Tanpa sadar aku terus berlari menaiki anak hingga berhenti tepat di depan pintu besar yang menghubungkan jalan menuju atap menara.
Perlahan kudorong pintu itu, memastikan bahwa tak satu pun jin berjaga di sana.
Kriet.
pintu terbuka sedikit, kuintip ke dalam lewat celah pintu itu. Benar saja tak ada siapa pun. Aku menghela nafas lega, lalu kulihat ada dua pilar bersebrangan berdiri tanpa atap di hadapanku. Lantai itu kosong melompong tanpa satu pun benda kecuali dua pilar besar itu. Di atas kepalaku terlihat seperti lautan di atas langit. Mungkin saja itu langit bagi mereka, namun dimataku terlihat seperti lautan yang penuh ombak. Cahaya tanpa sumber terlihat samar. Tak begitu cerah, tapi tidak juga mendung. Benar-benar seperti berada di bawah air namun tidak basah. Rasanya aku seperti berada di alam mimpi, semuanya terasa tak nyata.
Kulangkahkan kaki mendekat ke arah pilar. Saat kusentuh pilar setinggi kira-kira 10 meteran itu mengeluarkan cahaya memanjang, menyatu dari satu pilar ke pilar lain. Seperti fortal. Atau mungkin benar itu fortal? Dari tengah cahaya jernih itu tetiba warnanya berubah hitam. Saat kudekati ternyata sesemahluk tinggi besar keluar dari dalamnya. Gegas aku bersembunyi di balik pilar itu. Untunglah pilar itu cukup untuk menutupi tubuhku.
"Manusia rendahan tak tahu diri. Beraninya dia menyuruhku pergi ke dunia manusia hanya untuk membawakannya makanan? Khak! Cuih! Dasar mahluk hina!" Kudengar suara Lodyar mengeluh panjang menggerutu membicarakan ku.
Aku sedikit terkejut melihat bentuknya jauh lebih menyeramkan dibanding saat berada di depanku. Apa mungkin badak cula satu menjijikan itu adalah wujud terbaiknya? Aku menelan Saliva membayangkan bagaimana bentuk asli mahluk-mahluk lain yang sempat kulihat di altar pernikahan tadi.
Di negeri yang indah ini, ternyata hampir semuanya ilusi.
Kriet ... Klap!
Gerbang tinggi penghubung itu tertutup dengan agak kasar. Sepertinya Lodyar sangat murka mendapat perintah dariku. Masa bodoh, yang penting kini aku tahu bahwa di sini lah fortal menuju dunia manusia berada. Mengetahui hal itu, tanpa sadar senyuman tersimpul dikedua sudut bibirku. Ternyata tak butuh waktu lama untukku kabur dari sini.
'Bagus, aku harus segera masuk ke dalam fortal ini, sebelum menyusut dan akhirnya hilang.'
Kusentuh cahaya tipis transparan itu, terasa seperti ada energi listrik menyengat di ujung jemariku. Sedikit menggelitik dan agak mencubit, tapi tak apa jika dengan melewatinya aku bisa kembali.
Glek.
Aku menelan Saliva, memikirkan apa benar keputusanku untuk kembali ke dunia manusia? Apakah akan ada yang berubah jika aku kembali ke sana? Meski aku ingin pergi dari sini, kemana tujuanku nantinya?
Sudah jelas harapanku sudah pupus, dan aku tak punya lagi alasan untuk melanjutkan hidup.
Keraguanku membuatku kehilangan kesempatan untuk kabur. Fortal pun menutup secepat televisi dimatikan. Cahaya itu sirna seolah tak pernah ada sebelumnya.
"Sial!" rutukku mengutuk nasib yang kubuat.
Kujauhi pilar, mendekat ke ujung menara dengan kedua tangan memegang pagar penghalang setinggi dadaku.
Saat kulihat ke bawah, para jin yang sedang beraktivitas terlihat seperti sekumpulan mahluk seukuran kecoak dan semut. Saking tingginya jarak ke bawah sana.
'Sepertinya aku benar-benar akan langsung mati jika melompat. Apa aku meloncat saja?' pikiran itu terus berlalu lalang di kepalaku.
Kriet.
Brakh!
"Di sana! Di sana dia!" seru sebuah suara membuatku yang tengah duduk memeluk lutut terperanjat kaget.
'Ya ampun. Secepat inikah aku ditemukan?' batinku saat melihat dua jin penjaga berkepala kuda datang mendekat sembari menunjuk-nunjuk ke arahku.
'Sial aku tak bisa berpikir apa pun lagi. Dari pada jadi istri mahluk menjijikan seperti mereka lebih baik aku mati sajalah,' batinku lalu tanpa pikir panjang menaiki pagar penghalang dan langsung meloncat begitu saja.
"Tidak! Nyai!" pekik Lodyar yang berada di belakang dua jin penjaga tadi.