Chereads / Suamiku Siluman! / Chapter 11 - Bab 11 l Tragedi ladang bunga

Chapter 11 - Bab 11 l Tragedi ladang bunga

Kuedarkan pandangan melihat sekelilingku. Sesekali ku menengadah menatap langit. Meski sekelilingku gelap, namun cahaya kunang-kunang membuat suasana romantis yang alami. Tak henti aku berucap takjub melihat pemandangan yang tak pernah kulihat sebelumnya itu.

"Aku memanggil mereka ke sini. Apa kau keberatan?" ucap Garda sambil menunjuk kawanan kunang-kunang yang kini membentuk sebuah formasi.

Kupicingkan mataku, melihat apa yang tengah dilakukan kawanan kunang-kunang itu.

"Oh! Lihat! Mereka tersenyum padaku!" seruku saat melihat mereka membentuk emoji tersenyum.

Aku terperangah takjub melihatnya, sementara Garda tergelak menyaksikan tingkahku yang kian antusias.

"Apa ini dunia manusia?" tanyaku sambil melihat langit.

Garda mengangguk, lalu menoleh.

"Bagaimana kau tahu?" tanyanya, mengingat aku memang menutup mata saat berjalan melewati fortal ke sini. Pantas saja agak pusing.

"Langitnya. Langitnya berbeda dengan duniamu," jawabku sambil mengedarkan pandangan lalu menghempaskan tubuhku ke atas rerumputan.

Hap!

Garda menangkap kepalaku dengan sebelah lengannya lalu tersenyum.

"Hati-hati, ada batu. Nanti kepalamu terluka," ujarnya sontak aku berbalik melihat ke belakangku.

Benar saja. Sebuah batu seukuran dua kepalan tanganku menempel di atas tanah diantara rerumputan.

"Makasih," ucapku lalu merebahkan tubuhku perlahan di samping batu tadi.

"Apa kau senang?" tanyanya.

Gegas aku mengangguk mantap. Tentu ini hal terindah yang pernah kulihat seumur hidup.

"Lihat di sana! Itu tebing tempat dimana pertama kali aku melihatmu," tunjuknya ke arah bukit di seberang tempat kami berada.

"Di sana?" tanyaku sambil memiringkan wajah.

Ternyata tempat ini tak jauh dari area perkampunganku. Anehnya aku tak tahu ada tempat seindah ini.

"Tempat ini tak bisa dijamah oleh manusia. Sengaja aku membuat dinding perlindungan supaya tak dapat dilihat dan dimasuki. Ini, tempat pribadiku saja," ucapnya bangga.

Aku ikut bangga lantaran diajaknya ke tempat pribadinya.

Kembali kunikmati pemandangan hamparan bunga itu sambil menghirup angin malam yang sejuk.

"Jadi, aku yang pertama diajak ke sini?" tanyaku antusias.

"Hm? Tidak. Aku ... Pernah membawa seseorang ke sini. Tepatnya, Karna dia aku jadi suka berdiam diri di sini," ungkapnya.

Seketika air mukaku berubah. Jelas Roro ghendis lah yang pertama.

Lagi-lagi aku merajuk. Kesal dan cemburu. Padahal perempuan itu sudah tak ada. Dan tak ada lagi perempuan lain baginya selain aku sekarang.

"Kau tau, aku suka berdiam di sini, namun juga benci tempat ini," ujarnya.

Aku bergeming, tak menanggapinya. Sengaja kudiamkan biar dia bicara sendiri jika itu tentang perempuan itu. Beraninya ia membicarakan mantan kekasih di depan istrinya sendiri. Iya! Aku ini istrinya sekarang.

"Di sana ... Tempat ia tewas. Di tangan manusia-manusia jahat berhati iblis. Di hamparan bunga yang indah itu, ia diikat di atas salib setelah babak belur dikeroyok warga. Lalu ... Mayatnya dibakar, dan abunya dilempar di atas jurang tempat terakhir kamu melompat," ucapnya penuh penekanan. Ada kebencian dan kesedihan dalam setiap kata yang ia ucap.

"Aku tak mampu melakukan apa pun. Malam itu, malam dimana aku berada dalam keadaan terlemah. Lagipula, waktu itu, Ilmuku masih rendah. Tubuhku dirantai oleh rantai yang sudah dimantrai oleh dukun sakti di kampung ini. Lalu aku dipaksa membuka mata, sementara dia disiksa dan digilir oleh para bajingan itu. Dan dia ... Hanya tersenyum padaku. Mengirimkan sinyal telepati, bahwa ia akan kembali padaku. Di sinilah. Ia menjanjikan ia akan menemui ku. Di sini. Di tempat ini," lirih Garda sendu dan memilukan.

Tak ada Isak atau pun bulir air mata yang menetes di pipinya. Seolah ia tak mampu lagi menangis. Semua kesedihannya sudah sirna. Habis tuntas pada kala itu. Saat ia kehilangan kekasihnya di depan mata kepalanya sendiri.

"Aku ... Membenci manusia jahat berhati iblis. Aku ... Hanya jatuh cinta pada seorang gadis. Tapi gadis itu, malah mendapat hukuman yang tak adil hanya karna dia mencintaiku juga. Lantas apa kami salah melakukan itu? Apa kita salah? Apa aku ... Salah jatuh cinta padamu? Azalea ... Aku, mencintaimu bahkan jika kamu bukan dia. Kenangan bersamanya tanpa sadar sudah terkubur bersama abu jasadnya di bawah sana. Sirna terhempas, oleh waktu. Jadi ... Bisakah, kamu juga mencintaiku juga? Seadanya. Menerima diriku? Lantaran aku kian takut ditinggal pergi lagi," mohonnya sambil menatapku dalam-dalam.

Bukannya menjawab, aku malah menangis sambil terus mengangguk. Bagaimana aku bisa malah merajuk sementara Garda sejak awal menahan sakit dan luka di hatinya karena kepergian kekasihnya yang mengenaskan. Aku sungguh merasa seperti perempuan jahat setelah mengetahui semuanya. Pantas ia tak menyebutkan lagi namanya. Jika aku menjadi dia, tentu aku sudah mengalami tekanan mental, dan trauma berat.

"Maafkan aku. Maaf hiks-maaf Karna aku membuatmu mengungkit masa lalu yang pahit," lirihku penuh penyesalan.

Jelas apa yang ia alami bukan hanya masa yang pahit. Namun juga memilukan dan mengenaskan.

"Sebaiknya kita kembali ke Astana sekarang," ajak Garda.

Aku mengangguk dalam dekapannya. Entah berapa lama kami berpelukan di atas rerumputan itu. Tanpa banyak komentar, aku bangkit dan mengajaknya pergi. Tentu aku tahu kemungkinan ia akan mendapat teguran jika berlama-lamar di dunia manusia. Tak ada baiknya untukku menahannya terlalu lama di sini. Lagi pula, tak ada tempat lain yang ingin kutuju di dunia manusia. Hanya mengenang ingatan yang menyesakkan untuk kami berdua.

"Ayo," ajakku sambil mengaitkan tanganku dilengan kekarnya.

Kulihat rambut peraknya diterpa hembusan angin. Tampan sekali. Matanya ... Ah! sudahlah pokoknya dia mahluk berwujud paling sempurna yang pernah kulihat. Tak akan ada habisnya mengagumi keindahan wujudnya.

"Oh iya, aku penasaran. Apa nama bunga-bunga itu?" tanyaku sambil menunjuk hamparan bunga yang kulewati.

"Daffodil merak. Kenapa?" tanyanya balik sambil merengkuh tubuhku hendak memasuki fortal penghubung dimensi.

"Hm, tidak apa," jawabku datar.

Aku kira bunga Azalea, pikirku. Tanpa sadar aku terkekeh malu sendiri.

"Apa kau tahu bentuk bunga Azalea?" tanyanya.

"Hm, tidak," jawabku sambil mengangkat bahu. Sementara wajahku kubenamkan di dadanya. Meminimalisir rasa mual karena pusing berpindah dimensi.

"Nanti kuperlihatkan," tawarnya.

Tiba di dunia jin, aku langsung diantarkan ke kamar oleh Garda.

"Tunggulah di sini. Nanti akan kusiapkan Astana khusus untukmu. Jangan pergi kemana pun ya? Jangan juga bukakan pintu untuk siapa pun. Teritori ini milik keturunan ningrat. Jadi keluargaku yang mana pun bisa masuk. Terkecuali kamar ini," jelasnya panjang.

"Iya-iya aku tau aku mengerti," jawabku.

"Memangnya kamu mau kemana? Apa aku ditinggal sendirian?" tanyaku merajuk.

"Tunggulah, aku mau latihan ilmu kekebalan bersama kakakku Raden Sakti. Kegiatan rutin kami untuk mengasah kekuatan. Tak lama lagi sayembara umum pemilihan raja selanjutnya. Ayahku mau pensiun dini katanya," seloroh Garda dengan penekanan di kalimat terakhirnya. Lantas ia terkekeh sendiri setelahnya.

Aku hanya mencebik mengejeknya. Apa pentingnya itu buatku. Lagi pula aku tak bisa menanyakan padanya berapa lama ia akan pergi. Waktu di sini sungguh tak bisa kumengerti. Bentuk jamnya juga aneh. Entah hitungan berapa lama satu putaran waktu di jam besar yang tertempel di dinding itu. Aku malas berpikir, malas belajar. Benar-benar hanya ingin menenangkan diri dan pikiran saja.

"Yasudah. Pulang nanti bawakan aku buah-buahan segar yang manis ya!" pintaku."Kenapa kau tidak memintanya pada Lodyar saja? Akan lebih cepat kamu mendapatkannya. Aku agak lama. Mungkin besok malam baru pulang," ucapnya membuat lututku lemas seketika.

"Selama itu? Ah ...." rengekku.

"Itu sebentar sayang ... Aku akan selesaikan semua dengan cepat, jika aku jadi raja. Semua akan lebih mudah. Aku akan lebih santai. Berbeda dengan raja di dunia manusia. Menjadi raja di sini, justru tak akan banyak melakukan sesuatu," kekehnya penuh harap.

"Sepertinya kau yakin sekali akan menjadi raja selanjutnya?" candaku dibuat ketus.

Cup!

"Iya, aku sangat yakin jika ada kau. Kau akan menjadi ratu sekaligus permaisuri pertama dan satu-satunya dalam hidupku. Kita akan hidup bahagia selamanya," ucapnya sambil mengecup keningku.

"Mau kukatakan pada Lodyar bahwa kau menginginkan buah-buahan yang manis?" tanyanya sambil memainkan daguku seolah itu adalah mainan yang menggemaskan baginya.

Aku menggeleng mantap, "tidak. Aku ingin kau yang membawanya," titahku.

"Baik ratuku, Yang Mulia Azalea Kiehf," ucapnya antusias sambil mengangkat tangan yang lalu ia tempelkan di dahinya, seperti orang yang tengah hormat.

"Janji?" tuntutku.

"Aku, Raden Garda Kastara tak pernah sekali pun mengingkari janji selama nafasku masih ada," ucapnya antusias lalu mengangkat jari kelingkingnya yang langsung kukaitkan dengan kelingkingku.