"Azalea, aku akan menjadi pewaris tahta kerajaan. Yang mulia raja sangat berharap padaku. Sebenarnya aku tak berminat dengan semua itu. Aku ... Hanya ingin hidup menjadi diriku tanpa menyandang status ningrat kerajaan yang sangat memuakkan ini. Jujur aku benci semua ini Azalea ... Namun Yang Mulia Raja memberiku syarat seperti ini jika ingin hidup denganmu," keluh Garda sambil menerawang ke atap kamar yang dihiasi renda-renda dengan ujung mutiara di sekelilingnya.
Tanpa sadar aku menatapnya dalam, menikmati dengan takjub sosoknya yang sangat tampan. Jujur ini kali pertama aku melihat mahluk setampan ia. Posisi kami berbaring bersisian. Ia menahan kepalanya dengan sebelah lengannya yang ia lipat, sementara sebelah tangannya lagi menjadi bantalan untuk kepalaku.
"Lea?" tegurnya saat ia berbalik menatapku aku tertegun hingga mengerjapkan netra beberapa kali.
"Ah, iya. Aku mendengarkanmu," ucapku meyakinkannya.
Ia terkekeh lalu mencubit pipiku gemas.
"Apa kau pernah berpacaran sebelumnya?" tanyanya tiba-tiba.
"Kenapa? Apa pertanyaan ini mengganggumu?" tanyanya cemas, mungkin karena melihatku membisu seketika.
"Ah. Ti-tidak," jawabku gelisah.
"Apa ada seseorang yang membuatmu tak nyaman?" tanyanya intens.
"Apa kau tidak mengetahui masa laluku?" tanyaku penasaran.
"Hm? Bukankah kau tidak suka jika aku membaca isi hatimu? Atau pikiranmu? Aku tak melakukannya untuk menjaga privasi mu," ujarnya dengan wajah penuh kebanggaan. Ah, jin tampan yang satu ini memang sok gentleman sekali.
"Em ... Aku, pernah pacaran sebelumnya," ucapku sambil menerawang. Jujur aku hanya menggodanya. Ingin melihat bagaimana reaksinya.
"Apa! Siapa? Apa dia yang membuatmu sampai seperti pertama kali saat kita bertemu? Dia yang membuatmu terluka parah? Apa dia yang melakukannya? Bajingan itu?" Rentetan pertanyaan seketika keluar dari mulutnya. Seketika aku mangap heran melihatnya.
"Lea jawablah," rengeknya lalu bangkit setelah menurunkan kepalaku ke atas bantal dengan sangat hati-hati.
"Hm ... Bisa iya, bisa juga tidak," jawabku sambil terkekeh.
"Tolonglah. Itu bukan hal sepele bagiku Azalea. Siapapun keparat yang pernah menyakitimu akan kuhancurkan hingga menjadi seperti buih di lautan,"ucap Garda penuh penekanan. Tak ada kebohongan di raut wajahnya. Ia marah benar-benar marah. Terlihat dari geliginya yang beradu gemeretuk sementara mulutnya terkatup rapat.
"Hei ... Sudahlah. Aku tak mau mengingatnya lagi. Aku sudah bahagia di sisimu sekarang. Buatku itu cukup. Aku benci balas dendam. Tak ada kepuasan yang akan kurasakan jika aku melakukan hal itu. Aku akan jadi seperti mereka jika aku membalasnya balik," jelasku sambil mengusap lembut punggung tangannya.
"Mereka?" tanyanya sambil menautkan sebelah alis. Namun tak segera kujawab.
"Aku, bahagia hanya dengan bersamamu. Tak ada hal lain yang kubutuhkan selain ini, Garda," tambahku sambil menyandarkan kepala di bahunya..
Kualirkan perasaan kasihku padanya lewat tutur kata yang kususun sebaik mungkin. Berharap ia juga merasakan ketulusan hatiku. Meski baru sebentar kami bersama, namun benar adanya, tubuhku pun seolah merasakan bahwa kami pernah bersama dalam waktu yang lama. Sekali lagi, jika benar aku adalah reinkarnasi dari Roro Ghendis kekasihnya dulu, maka kuharap dikehidupanku yang kali ini ... aku dan Garda menjadi pasangan seutuhnya yang tak terpisahkan.
"Mereka? Jadi bukan hanya seorang yang membuatmu terluka?" tanyanya lagi. Kini dengan memiringkan wajah sementara sudut mata kirinya berkedut tak habis pikir.
"Bagaimana bisa aku tak bisa menjagamu. Sungguh Lea. Ampuni aku yang telat menemukanmu. Jika saja aku tahu kau sudah terlahir, aku tak akan hanya berdiam diri menunggumu. Aku ... Akan mencari dan membawamu sejak dulu," sesalnya dengan suara teramat lirih.
"Sudah. Kumohon sudah tak ada yang perlu disesalkan. Aku bilang aku cukup dengan kehidupanku kini. Aku baik-baik saja sekarang, selama itu denganmu," yakinku.
Tangannya bergetar menyentuh jemariku dengan hati-hati seolah aku benda yang mudah hancur.
"Azalea ... Aku mencintaimu," bisiknya lalu mencium keningku.
"Aku ... Juga," jawabku lalu membenamkan wajahku di tengkuknya.
Darahku lagi-lagi berdesir, jantungku berdegup kencang. Kami sudah sedekat ini, dan dia terlihat santai sementara aku sudah goyah dengan gejolak perasaan di dadaku meletup-letup. Aku sungguh mengaguminya hingga membuatku lemas hanya dengan sentuhan atau tatapannya. Namun rasa traumaku membuat tubuhku merespon lain. Di satu sisi aku haus sentuhannya. Di sisi lain, pikiranku terbayang sosok Dito dan Aldera yang menatapku nyalang seolah ingin menerkamku.
Glek.
Aku menelan Saliva saat ia mendekatkan wajahnya hingga tak ada lagi jarak diantara kami. Kulihat matanya yang sendu melihat ke arah bibirku. Bulu mata panjangnya yang lentik terlihat indah saat matanya setengah terpejam. Seperti sinyal, aku pun juga memejamkan mata.
Cup.
Bantalan dingin bibirnya menyentuh lembut bibirku yang hangat. Dibelainya rambutku lalu perlahan ia menciumku pelan namun dalam dan intens. Cukup lama hingga membuat suara lenguhan saat kurasakan ada dorongan yang mulai bereaksi di bawah sana.
Deg!
Aku terhenyak saat ia mulai menyentuh leherku dan mengecupnya di sana. Seketika nafasku memburu. Jantungku tak sanggup berdetak perlahan. Seperti dipacu oleh sesuatu, suaranya bahkan terdengar olehku sendiri. Dag! Dig! Dug! Sontak aku menahan nafas dengan tubuh menegang.
"Azalea? Istriku, Aku akan menunggu sampai kau siap. Aku tau kau belum siap," ucap Garda dengan senyuman lalu mengelus pucuk kepalaku dan dengan ragu mengecupnya.
Ada sesal saat ia menghentikan aktivitasnya. Namun juga lega saat sosok Aldera yang sering memaksaku hingga membentakku dengan kasar terlintas di pikiranku. Jujur aku lega lantaran tak pernah menuruti kemauannya meminta lebih saat berpacaran denganku. Jika saja aku tahu dari awal ia hanya memanfaatkan ku, tentu aku akan menolak mentah-mentah tawarannya untuk menjadi kekasih Aldera.
"Azalea? Apa yang membuatmu gelisah sayangku?" tanyanya membuatku agak geli mendengarnya. Sayang? Itu sangat jarang kudengar bahkan Aldera tak pernah mengatakannya. Tentu Karna hubungan kami hanya sandiwara. Selain itu, juga tak ada orang yang mengatakan hal itu padaku. Ah, ibuku pernah. Itu pun saat-saat terakhir dalam hidupnya.
"Aku ... Ingin tidur di pelukanmu," pintaku seadanya.
Tanpa penolakan Garda mendekapku lalu mengusap-usap pucuk kepalaku. Rasanya nyaman. Kenyamanan yang baru pertama kali kurasakan seumur hidupku. Tenang, hening, dan merasa aman.
Tanpa kupinta, Garda terus membelai pipi dan rambutku. sambil bersenandung seperti tengah menina bobokan seorang bayi. Jujur aku memang membutuhkan hal itu. Aku ingin menenangkan diri di pelukannya.
"Apa kau yakin aku titisan Roro ghendis? Kenapa aku tak bisa mengingat apa pun tentangnya?" tanyaku tiba-tiba.
"Aku adalah aku. Rasanya aku tak rela jika disamakan dengannya. Meski bagimu dia adalah aku juga," tambahku lagi.
Kuungkapkan semua unek-unekku dengan frontal, namun Garda hanya bergeming seolah itu bukan pertanyaan yang penting baginya.
Aku pun bangkit, menghela nafas.
Padahal suasananya sedang bagus, tapi tetiba saja aku merasa perlu menanyakan hal itu untuk memastikannya. Aku senang diperlakukan baik oleh Garda. Tapi aku akan lebih senang lagi jika aku dicintai Garda karena dia memang mencintaiku. Bukan karena aku adalah titisan Roro ghendis siapa pun itu. Rasanya aku seperti hanya beruntung lantaran memiliki kemiripan dengan perempuan itu.
"Apa kau bosan?" tanyanya.
"Hm," jawabku tanpa membuka mulut.
Kusilangkan lengan di perut sementara wajahku dibuat mencebik.
Aku masih kesal ia tak mengindahkan pertanyaanku tadi. Padahal aku sangat ingin tahu tentang masa lalunya.
"Biar kuperlihatkan tempat yang bagus padamu, ayo bangun," ajaknya sambil mengulurkan lengan. Tentu senyumannya lagi-lagi menghipnotisku. Membuatku lupa bahwa aku tengah merajuk.
"Kita mau kemana?" tanyaku selama perjalanan.
"Ikut saja, aku yakin kamu bakal suka seratus persen," ucapnya dengan senyuman.
Mataku ditutupnya, sementara aku berjalan dituntunnya. Cukup lama aku berjalan, sejak berteleportasi dari kamar ke dekat gerbang utama fortal yang pernah kudatangi. Kini, kami pun diam-diam ke sana dengan mengendap-endap. Untuk menghindari pengawal Astana katanya.
"Sudah?" tanyaku.
"Belum, sebentar lagi," ucapnya sambil menyiapkan sesuatu sementara aku dibiarkan berdiri begitu saja.
"Sudah?" dengusku tak sabaran.
"Nah! Sudah! Ayo buka ikatan penutup matanya!" serunya antusias.
Perlahan kubuka penutup mataku, bersamaan perasaan senang dan deg-degan. Meski agak takut dan ragu, mengingat pertama kali aku mendapat kejutan dari Aldera saat kubuka mata pemandangan yang kulihat adalah kamar hotel bernuansa serba putih dengan ranjang yang dihiasi bunga mawar merah dan lilin-lilin aroma terapi. Jelas ia menginginkan tubuhku makanya aku langsung marah dan pergi hingga ia tak mengabariku selama seminggu. Namun perasaanku kini berbeda lantaran aku tahu Garda tak mungkin tergesa mengajakku melakukan 'itu' sekarang. Meski status kami sudah suami istri sah.
"Jeng! Jeng!" serunya dengan kedua tangan ia bentangkan.
Pemandangan langit malam yang dipenuhi gemintang yang berkerlap-kerlip diantara bulan sabit berbentuk cerulit.
"Indah," gumamku sambil melihat hamparan ladang bunga berwarna merah dan oranye di atas bukit berumput hijau segar.