Kukerjapkan mata, sementara tubuhku menggeliat malas. "Hoam ...." Kuusap sudut mataku yang basah dengan punggung jari telunjuk.
Perlahan kesadaranku terkumpul membuatku seketika bangkit dari posisi nyamanku.
"Tidurmu nyenyak?" tanya Garda dengan suara paraunya membuatku terperanjat kaget.
"Engh ...." Aku mengerang sambil menjauhkan diri darinya.
"Berapa lama aku tertidur?" tanyaku pada Garda yang ternyata sedari tadi tengah duduk di bawah ranjang dengan berpangku tangan menatapiku.
"Hanya beberapa menit," ucapnya membuatku menautkan alis.
Bagiku rasanya sudah semalaman aku terlelap.
"Kau tidak tidur?" tanyaku.
"Aku tidak akan tidur selagi permataku tidur," gombalnya.
"Gombal!" dengusku.
"Aku serius, di sini berbahaya untuk manusia sepertimu," ujarnya membuatku takut.
"Tapi tidak selama ada aku," tambahnya membanggakan diri.
Kukerjapkan lagi mata, lalu tersenyum mengingat kejadian sebelum aku tertidur. Lamaran yang romantis, makan malam yang hangat, malam yang mendebarkan ... Ah! Jangan berpikiran aneh, aku tak melakukannya. Kami tak melakukan malam yang seperti itu.
Aku meminta sebuah keinginan yang nyeleneh katanya.
Melepaskan segala sesak dengan meminum minuman kaleng beralkohol, sambil menyantap ayam goreng saus pedas ala Korea, seperti yang hits di kalangan remaja Korea jika tengah galau. Setelah itu aku juga menyantap topokki kuah super pedas, dan mukbang gurita bakar yang gurih, ah ... Bahagia sekali perut dan lidahku terpuaskan. Ya, begitulah cara mereka melampiaskan kesedihan menurut yang kulihat di film-film drama mereka.
"Sekarang kamu mau apa lagi?" tanyanya seolah menunggu perintahku selanjutnya.
Kugelengkan wajah lalu kembali merebahkan diri lagi. Aku hanya ingin bermalas-malasan. Seumur hidup kuhabiskan untuk memperkerjakan tubuhku hingga kurus kering dan sakit-sakitan. Pemulihan diri, hati, dan pikiran, itu yang kumau jika memang Tuhan telah memberikan kehidupan kedua yang nyaman padaku, kenapa aku harus menampiknya? Ya kan?
Lagi pula kepalaku masih agak pusing, berkaleng-kaleng kuhabiskan sendirian hingga Garda menghentikanku dan aku tertidur dalam keadaan tak sadar sama sekali. Jika saja Garda tak membantu pemulihan diriku, mungkin saja aku bahkan tak bisa bangkit saking pusingnya. Atau mungkin semua makanan yang masuk ke dalam perutku, keluar lagi karena mual.
"Apa aku ... Boleh meminta sesuatu lagi?" tanyaku pada Garda dengan agak sungkan.
"Apa pun, permataku," ujarnya sambil mencium punggung tanganku.
"Emh ... Kau tau, aku ... Suka mahluk berbulu lembut seperti kucing ... Beruang ... Atau ... Boneka Semacam itu," ucapku menggantung membuatnya memiringkan wajah.
"Ulat bulu?" ujarnya membuatku terkekeh seketika.
"Ya enggak lah! Masa ulat bulu! Gatel dong nanti!" dengusku dengan kekehan.
"Lalu?"
"Ah! Bisakah kamu berubah menjadi singa putih seperti waktu itu?" tanyaku membuatnya merubah posisi lalu mendekat ke arahku.
"Bisa! Kenapa?" serunya antusias.
"Hehe, aku ... Ingin memeluk bulu-bulu halusnya. Ah, apa rambut ya bilangnya?" kataku malu-malu.
"Kenapa kamu tidak memelukku yang seperti ini saja?" tanyanya sambil membentangkan lengan siap menerima pelukkan.
Sontak darahku berdesir melihat dada bidangnya yang berotot di balik kaos putihnya yang ngetat. kukerjapkan mata, sekedar menutupi kegiatan menelan Saliva ku saking tergodanya oleh bentuk fisik dan paras rupawannya.
"Bagaimana? Mau peluk aku yang seperti ini, atau sebagai singa putih?" tanyanya memastikan.
"A-aku, aku, mau peluk singa aja. Karna gak ada boneka beruang atau kucing di sini, aku pengen tiduran sambil meluk kam-maksudnya meluk singa," ucapku terbata-bata saking gugupnya.
Sementara lengan kulibas-kibaskan tepat di wajahku yang memerah. "Panas banget ya udaranya," racauku, membuatnya terkekeh.
Wush!
Seketika Garda berubah bentuk menjadi seekor singa putih dengan rambut tebal lembut dan berkilauan seperti percikan ombak terbias cahaya bintang.
"Cantik sekali," gumamku lantas mendekat ke arahnya.
Kuelus dagu singa putih itu lalu ia menengadahkan wajah seolah memintaku lebih.
Hap!
Singa itu melompat ke atas ranjang lalu tertidur dan mendengkur manja. Aku pun mengikutinya dengan merebahkan tubuh lantas memeluknya, sementara jemari tanganku tak henti mengelus rambut-rambut halusnya.
Entah berapa lama kegiatan mengelus kucing besar itu berlangsung, namun rasanya kerinduanku pada Malta sedikit terobati. Meski rasanya masih saja sesak mengingat seperti apa mengenaskannya ia tewas. Jelas sekali darah dari tubuhnya yang kontras itu terbayang dalam benakku. Sontak kuremas rambut singa putih itu saat sosok terakhir Malta kuingat. Garda dalam wujud singa itu menggeram, mungkin merasa sakit saat kujambak tanpa sengaja.
Saat kulihat ternyata beberapa helai rambutnya rontok karena ulahku. Bahkan sedikit lecet tergores kuku-kuku panjangku. Aku meringis melihat darah keluar dari kulitnya, di sela-sela rambutnya. Namun beberapa saat kemudian luka itu menghilang seolah tak pernah ada.
"Ah maaf," sesalku sembari mengusap lembut rambut halusnya lalu membenamkan wajahku ke tengkuknya. Meski ternyata Garda bisa meregenerasi kulit yang terluka tetap saja aku menyesal.
Garda membalas pelukanku, dengan meraih pinggangku dengan tangan besarnya itu.
"Hiks ... Hiks ... Apakah ... Kau akan meninggalkanku juga seperti Malta? Hiks aku ... Sangat takut, tolong jangan pernah tinggalkan aku ... Jangan pernah jauh dariku ... Aku ... Membutuhkanmu," ucapku disela isakan.
"Tidak, aku tak akan meninggalkanmu. Tak akan pernah. Tidak akan mungkin. Kau yang jangan meninggalkanku," bisiknya tepat di telingaku hingga embusan nafasnya terasa menggelitik menyenggol rambutku. Sontak aku bergidik kegelian lalu mengeratkan pelukanku padanya.
"Eh?" Aku tersentak ketika merasakan bahwa tak ada lagi rambut lembut lebat di bagian yang ku sentuh. Bahkan tubuhnya lebih kecil dari pada tadi.
Refleks ku dorong tubuhnya lalu beringsut mundur menjauhinya.
"K-kenapa malah berubah wujud!" pekikku saking kagetnya.
Ingin kumarah, namun tatapan sendunya yang kian menghipnotis membuatku luluh. Seperti mentega beku yang ditaruh di atas teflon panas, leleh seketika.
"Aku perlu menjawab pertanyaanmu. Kamu tau sendiri kan? Seekor singa tak bisa berbicara," kilahnya disertai kekehan.
"Berbaringlah agi, aku tak akan menyerangmu," ajaknya sambil menawarkan lengannya untuk kugunakan sebagai bantal.
Glek.
Aku menelan Saliva saking gugupnya. Meski pernah pacaran, jelas ini kali pertamaku tidur bersama pria asing. Asing? Bukannya dia suamiku kini? Ah iya, pesta pernikahan kecil di dunia manusia juga sudah dilaksanakan. Meski singkat dan tertutup, namun tetap sakral dengan janji suci dan ikrar pernikahan kami ucapkan.
"Istriku, permataku, gadis kecilku, jelitaku ... Azalea ... Kemarilah," rayunya membuat darahku berdesir hebat.
Seperti ada jutaan kupu-kupu menggelitik perutku, rasanya geli tapi candu. Lantas kudekatkan tubuhku lalu masuk ke pelukannya. Seolah itu yang ia tunggu, ia segera merengkuhku penuh kasih.
"Aku ingin waktu berhenti saja," gumamnya.
Itulah yang juga kuharapkan. Ya. Jika bersamanya mungkin aku bisa. Entah dari mana keyakinan yang kurasakan ini, tapi kepercayaanku padanya bukan sekedar insting semata. Tapi perasaan ini seolah perasaan yang sudah lama tertanam di hatiku. Bahkan saat pertama kali melihatnya rasanya ada kerinduan yang mendalam yang kurasa, meski terus kutampik perasaan itu.
Jika memang benar aku adalah reinkarnasi dari Roro ghendis kekasih Garda yang dahulu, kuharap di kehidupanku yang sekarang, tak ada pemisah lagi diantara kami. Aku sudah sangat mencintainya kini, entah apa yang kurasakan nanti seandainya kami bisa menghabiskan hidup bersama dalam waktu yang lama.
Dalam diamku, aku larut dalam segala bayangan reka ulang hidup yang kualami. Segera kugelengkan wajah saat mengingat segala kenangan pahit yang kualami. Lalu kututup ingatan itu dengan sosok Garda yang tengah menyodorkan seikat bunga edelweis padaku. Lalu aku berdoa setulus mungkin, sekhidmat mungkin dari seluruh harapan yang pernah kupanjatkan. 'Semoga ... Seabadi bunga edelweis yang tak pernah layu selamanya, cinta kami, juga abadi seperti itu,' batinku.
Tok. Tok. Tok.
Tiga kali ketukan dari arah pintu membuat lamuanku terburai. Pun Garda yang juga mungkin tengah larut dalam angannya sendiri.
"Siapa itu?" tanyaku.
"Hanya pengganggu," bisiknya lalu mengeratkan pelukannya padaku.
"Ayolah, siapa itu mungkin ada sesuatu yang penting," protesku.
"Tidak ada yang lebih penting dari dirimu," kukuhnya membuatku mendengus kesal.
"Siapa tau itu mertuaku, ayo cepat lihat," bujukku.
Mendengar ku berbicara seperti itu ia langsung bangkit.
"Bukan, aku sudah pastikan ia bukan ayah atau ibuku. Lagi pula beliau tak akan repot-repot datang ke menara ini jika membutuhkan sesuatu dariku," kukuhnya
Tok. Tok. Tok.
"Dengar? Mungkin itu sesuatu yang penting," keluhku.
"Baik, baik. Aku hanya akan memperlihatkan saja padamu oke? Cih! Kemana badak cula satu itu sih. Disuruh jaga pintu malah pergi," dengusnya lalu bangkit menuju arah pintu.
"Ini perintahmu ya!" serunya malas membuatku terkekeh gemas melihat bibir kemerahannya mencebik.
Kriet~
Pintu terbuka seketika seseorang langsung berhambur ke pelukan Garda.
"Kakanda!" seru seorang wanita yang belum bisa jelas kulihat siapa dia lantaran wajahnya ia benamkan di dada bidang Garda.