"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Reewrintaru pada Reentari. Dia masih sedikit jengkel pada Reentari yang begitu mudahnya mengizinkan Alie untuk ikut bersama mereka. Sekarang Reewrintaru sudah memutuskan bahwa dia akan bersikap bodoh amat. Saat nanti penduduk planet mereka tahu bahwa ada makhluk dari planet lain yang ikut, Reewrintaru akan menyalahkan Reentari. Dia akan lepas tangan. Reewrintaru sudah meniatkan itu.
"Ke rumah masing-masing. Bawa bekal secukupnya. Alie akan ikut denganku. Kakinya harus disembuhkan agar kita bisa pergi dengan mudah."
Mereka semua mengangguk. Berpencar.
***
Konsep rumah yang bisa dibilang cukup unik. Rumah-rumah di planet ini sangat jauh berbeda dari bumi. Rumah mereka mirip jamur dengan ukuran yang bervariasi dan warna yang bervariasi pula. Sangat indah dipandang. Rumah milik Reentari berwarna merah dengan totol putih bulat. Begitu juga bagian dalamnya. Untuk bisa sampai ke dalam rumah, mereka harus menaiki tangga yang terbuat dari ranting pohon diikat dengan tali yang melekat pada bagian batang rumah jamur. Kata Reentari, miliknya masih versi tradisional. Kalau yang modern sudah pakai lift. Alie sempat terkejut, ternyata di sini mengenal teknologi seperti itu juga.
Bagian dalam rumah Reentari bisa dibilang adalah versi rumah-rumah perdesaan di bumi, khususnya di Indonesia tempat Alie berasal. Hampir delapan puluh persennya masih berbahan kayu. Warnanya coklat mengkilap. Kursi, meja, semuanya benar-benar terbuat dari kayu. Untuk hiasan dinding, mereka menggunakan bingkai kayu. Foto keluarga bukan hasil jepretan kamera seperti di bumi, melainkan lukisan tangan. Tidak ada tivi di sini atau benda-benda elektronik lainnya.
"Planet Reegunpo masih belum semodern planet kalian, Alie." Reentari berbisik. "Kami sedang mencontoh peradaban di Bumi sekarang." Dia terkekeh kecil.
Harus Alie akui bahwa dia sedikit bangga dengan itu meski ada beberapa hal yang tidak dia sukai dari Bumi. Penghuninya yang serakah.
Alie dipersilakan duduk di kursi kayu.
"Tunggu di sini dulu, ya. Aku mau panggil nenekku."
Alie mengangguk. Sambil menunggu Reentari kembali, dia memandang ulang seiisi rumah Reentari. Objek pertama yang mendapat perhatian khusus dari Alie adalah potret lukisan keluarga. Bingkai paling besar dan tentu saja dengan jumlah orang yang dilukis di dalamnya lebih banyak. Ada enam orang. Sepasang lansia yang kira-kira usianya delapan puluh tahunan usia penduduk bumi, sepasang kekasih yang Alie tebak sepertinya adalah ibu dan ayah Alie. Serta satu laki-laki yang usianya terlihat seperti dua puluh tahun usia penduduk bumi. Alie menebak lagi, itu sepertinya kakak laki-laki Reentari. Dan yang terakhir, perempuan yang berbaik hati mengizinkan Alie untuk ikut dengannya—Reentari.
Senyum mereka terlihat lebar dan lepas sekali. Benar-benar terlihat seperti keluarga yang ideal. Lengkap dan bahagia. Belum sempat Alie ingin membayangkan bagaimana jika dia memiliki keluarga seperti itu, Reentari dan neneknya datang. Reentari menuntun neneknya.
"Inikah makhluk bumi itu?" tanyanya. Suaranya bergetar, faktor usia. Rambutnya sudah putih semua, diikat seperti tukang jamu. Kulit keriput di wajahnya menandakan bahwa usianya jelas tak lagi muda.
Alie tersenyum, mengangguk. Dia mencoba berdiri untuk memberi salam, namun urung karena kakinya sakit.
"Tidak perlu berdiri. Duduk saja. Siapa namamu, Nak?" tanya perempuan tua itu.
"Nama saya Alie, Nek."
"Nama yang indah. Panggil saja Nek Reegui."
Alie mengangguk.
Reentari pamit pergi ke dapur untuk memasak. Dia bercerita pada neneknya kalau Alie tadi muntah-muntah setelah melintasi portal pemindah. Nek Reegui terkekeh. Siapa pun yang pertama kali mencoba portal pemindah pasti akan merasa mual hingga muntah. Bukan hanya Alie saja, bahkan penghuni planet ini juga begitu. Perjalanan itu seperti hanya sekedip mata saja, tapi aslinya tidak semudah yang terlihat.
"Naikkan kakimu ke atas meja, aku akan mengobati lukamu."
Patah-patah Alie mengangkat kakinya ke atas meja sesuai yang Nek Reegui perintahkan.
"Mungkin akan sedikit nyeri, tahan, ya."
Nek Reegui meletakkan tangan keriputnya di atas pergelangan kaki Alie yang membiru. Perlahan cahaya biru memanjar, makin terang. Alie menggigit bibir bawahnya, menahan rasa nyeri di sana. Tiga puluh detik, cahaya biru menghilang. Nek Reegui mengangkat tangannya dari pergelangan kaki Alie.
"Sudah. Coba gerakkan. Masih terasa sakit tidak?"
Alie mengangguk. Gadis itu menggerakkan kakinya perlahan, tidak ada rasa sakit. Benar-benar sembuh total.
Alie sedikit takjub. Ini terasa seperti mimpi. Tadi soal portal pemindah dan sekarang penyembuh? Artinya dia memang benar-benar berada di dunia penyihir? Tempat di mana orang-orang bisa menggunakan kekuatan dan melakukan banyak hal hanya dengan menggerakkan tangan saja?
"Istirahatlah. Sebentar lagi kalian akan melalui perjalanan panjang."
***
Masakan siap.
Alie, Reentari, dan Nek Reegui tengah duduk bersama di meja makan.
"Tidak semua penduduk planet Reegunpo adalah penyihir. Kaum kami hanya tiga puluh persen saja. Sisanya orang biasa. Tapi kami bisa hidup damai tanpa membedakan satu sama lain. Aku sangat menyukai itu. Persis seperti makhluk bumi bukan? Aku pernah mendengar semboyan kalian … apa itu? Bhi … bhineika …?"
"Bhinneka Tunggal Ika," Alie melengkapi sambil tersenyum ramah.
"Nah, itu dia. Aku suka makna semboyan itu."
"Bagaimana Nenek bisa tahu semboyan kami?"
"Aku pernah ke Bumi, Nak. Tidak sebentar. Jadi sedikit-banyak aku tahu tentang apa saja yang ada di sana, termasuk semboyan tadi."
Alie mengangguk paham. Sama seperti Nek Reegui yang menyukai makna dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Alie juga menyukainya. Akan tetapi, makna itu tidak lagi selaras dengan apa yang seharusnya. Andai Nek Reegui tahu bahwa makhluk Bumi sudah tidak sebaik dulu lagi. Bahkan tukang bakso saja dianggap sebagai bahan olokan. Belum lagi pejabat-pejabat yang serakah, yang katanya mengatasnamakan rakyat. Mungkin Nek Reegui akan menarik kembali ucapannya.
Di luar mulai gelap. Alie tidak salah lihat, sumber tata surya mereka masih matahari. Artinya planet mereka ini masih dalam galaksi yang sama? Alie akan menanyakan itu nanti.
Selanjutnya makan menjelang malam itu diisi dengan percakapan singkat. Alie banyak mendengar pujian tentang makhluk bumi dari Nek Reegui.
"Malam ini tidurlah dengan nyenyak, Alie. Besok pagi-pagi sekali kita akan mulai perjalan," kata Reentari setelah sesi makan itu selesai.
Alie mengangguk.
***
Untuk tempat tidur sendiri, dengan terpaksa Alie harus mengatakan bahwa kamarnya lebih baik dari tempatnya berada sekarang. Rumah Reentari terdiri dari lima kamar. Masing-masing dalam ukurannya yang terbilang sempit. Bahkan tidak sampai separuh kamar Alie di Bumi.
Di dalam kamar itu hanya ada lemari berukuran satu kali dua meter. Untuk tempat tidur tidak ada dipan. Reentari memberikan kantong tidur pada Alie.
Sudah satu jam setengah Alie berada di kamar, dia tidak bisa tidur. Dari tadi tangannya terus menepuk tubuhnya, menghalau nyamuk agar jangan mengisap darahnya. Nyamuk di planet ini sedikit berbeda. Kalau di bumi berwarna hitam dan ada juga yang dihiasi belang putih, nyamuk di sini berwarna biru dengan belang hitam.
"Tolong kerjasamanya, Tuan Nyamuk. Aku hendak pergi besok," desah Alie. Dia berharap semoga nyamuk-nyamuk itu mengizinkannya untuk tidur.