"Bagaimana cara kita membawa banyak daun cocor bebek ini, Alie?" tanya Reelindara.
Benar juga. Alie tidak memikirkan itu. Daun tanaman cocor bebek di planet ini ukurannya lima kali lebih besar ketimbang yang ada di bumi.
"Reewrintara, bisakah kau turun dan bantu kami?"
Yang dipanggil menatap tidak suka. Reewrintara menatap kembarannya.
"Ayolah, Reewrintara. Biar cepat selesai dan kita bisa segera melanjutkan perjalanan."
Reewrintaru mengangguk, memberi persetujuan untuk Reewrintara. Kadal berjumbai raksasa yang mereka berdua tunggangi menunrunkan tubuhnya. Si Kembar turun.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Reewrintara ketus. Sebenarnya dia masih berat hati, namun apalah daya, mau tidak mau dia harus menuruti keinginan Alie agar mereka bisa segera melanjutkan perjalanan.
"Kau cabut tanaman cocor bebek ini. Dua puluh, ya."
"Apa tidak terlalu banyak, Alie?"
"Tenang saja, Reentari. Kita tidak akan merusak mereka. Tanaman cocor bebek mudah tumbuh. Lagipula yang mau kita obati bukan seukuran kucing atau pun singa. Lihat seberapa besar tubuh kadal itu. Kita butuh daun yang banyak untuk bisa mengobati luka di sekujur tubuh kadal."
Reentari mengangguk. Yang lainnya mundur, menjauh dari tanaman cocor bebek. Reewrintara hendak mencabutnya. Reewrintara memejamkan matanya selama tiga detik, kemudian membukanya kembali. Perlahan tangan Reewrintara merentang ke samping. Wajahnya terlihat memerah. Itu wajar karena mencabut dua puluh tanaman cocor bebek cukup menguras tenaga.
Tanah tempat tanaman cocor bebek mulai merekah. Lima detik, akar tanaman cocor bebek terangkat, keluar dari tanah.
Alie dan Reentari tersenyum.
"Terima kasih, Reewrintara," ujar Alie, menepuk bahu Reewrintara.
Bukannya membalas ucapan terima kasih Alie, Reewrintara malah berdecih. "Dasar makhluk bumi!"
Saat Reewrintara hendak kembali ke kembarannya, Alie memanggil Reewrintara.
"Apa lagi?" tanya Reewrintara kesal.
"Belum selesai. Kekuatanmu dibutuhkan di sini. Sekarang ikat menjadi lima bagian. Masing-masing empat tanaman cocor bebek. Lalu setelah itu kau naikkan ke atas punggung kadal."
Reerentare dan Reelindara tergelak melihat wajah misuh Reewrintara. Juga Reentari.
***
Sampai di rumah kadal berjumbai, Alie dan yang lainnya langsung membuat racikan obat untuk tiga kadal berjumbai raksasa dewasa. Alie, Reentari, dan Reerentare yang bertugas untuk meracik obat. Mereka bertiga naik ke salah satu batang pohon tumbang, bukan batang rumah para kadal, melainkan batang pohon yang memang baru tumbang. Di atas sana, Alie dan Reerentare memisahkan daun cocor bebek dari batangnya lalu ditumpuk. Yang bertugas untuk menghaluskannya adalah Reentari. Pukulan berdentum Reentari dengan mudah menghaluskan daun.
"Beri sedikit air, Reerentare," pinta Alie pada Reerentare saat daun cocor bebek setengah halus. "Sedikit saja."
Reerentare mengangguk. Dari tangannya menyembur air. Takarannya sesuai yang Alie pinta.
Setelah daun cocor bebek halus, Alie meletakkannya ke atas daun cocor bebek yang masih utuh, lalu memberikannya pada Reelindara, Reewrintaru, dan Reewrintara. Mereka bertiga yang bertugas untuk mengoleskan obat ke tubuh kadal yang terluka. Kalau Reelindara yang bersama si Kembar, mereka berdua tidak bisa berkutik. Awalnya Reewrintara dan Reewrintaru menolak. Mereka enggan mengoleskan obat ke tubuh kadal yang hampir melukai mereka. Akan tetapi penolakan mereka tidak berlaku, Reelindara memarahi mereka berdua.
Masing-masing satu kadal. Reelindara sama sekali tidak mengalami masalah saat mengoleskan daun cocor bebek yang sudah halus ke seluruh luka di sekujur tubuh kadal yang dia naiki. Sesekali kadal itu meringis, menggoyangkan tubuhnya karena merasakan sensasi perih yang lumayan saat daun cocor bebek halus bertemu dengan luka di tubuhnya. Sedang si Kembar takut-takut mengoleskan obat ke luka di tubuh kadal yang mereka naiki. Alie dan yang lainnya terkekeh melihat itu. Mereka berdua yang laki-laki justru malah ketakutan.
Kadal dengan bola mata bergaris hitam mendatangi Alie, berterima kasih. Sebagai imbalan, ketua kadal akan mengutus lima kadal untuk menemani perjalan Alie dan teman-temannya mencari tanaman Nymphea.
"Yang benar?" Alie tersenyum lebar. Itu sungguh kabar yang sangat menggembirakan. Kekhawatiran Reentari bahwa mereka tidak bisa sampai ke Puncak Triguna tepat waktu seketika musnah. Kadal-kadal berjumbai raksasa akan jadi kendaraan mereka? Itu luar biasa sekali!
Lima kadal yang diutus oleh pimpinan mereka maju, mendekat.
"Terima kasih atas kebaikanmu," tutur Alie.
Perbuatan baik akan dibalas dengan perbuatan baik. Mungkin kalimat itu sudah sangat klise di telinga kita, tapi lihat, itu benar-benar kalimat yang mengandung keajaiban.
"Ini semua berkat Alie. Kalian tidak mau berterima kasih padanya?" tanya Reelindara pada si Kembar.
Mereka berdua masih memasang air muka kesal. Sejak awal mereka berdua memang tidak menyukai kehadiran Alie.
"Dasar tidak tahu berterima kasih!" cibir Reelindara. "Terima kasih, Alie. Berkatmu kita akan tiba di Puncak Triguna lebih cepat."
Alie tersenyum. Mengangguk.
"Baiklah semua. Kita harus segera berangkat."
Mereka naik ke atas punggung kadal. Reewrintaru dan Reewrintara duduk berdua di atas satu kadal. Kelihatannya mereka memang lebih baik cukup satu kadal berdua saja, tidak perlu masing-masing satu.
Kadal yang Alie tunggangi berlari sejajar dengan kadal Reentari. Kadal itu melesat cepat membelah hutan. Rambut mereka sampai terbang ke belakang. Ini perjalanan yang sangat menyenangkan. Mereka sepuluh kali lebih cepat dari berjalan kaki manusia. Kalau manusia berjalan kaki 5 km perjam, maka kadal yang mereka tunggangi sekarang berlari 50 km perjam.
Kalau begini mereka yakin akan tiba di Puncak Triguna tepat waktu.
***
Mereka semua berhenti sejajar. Setelah menunggangi kadal selama tiga jam, mereka telah sampai di penghujung hutan pohon raksasa. Di depan sana terlihat padang rumput nan hijau. Meski gelap, cahaya bulan masih bisa membantu penglihatan mereka.
Alie memandangi sekitar. Langit terlihat damai dengan bulan dan bintang yang berserakan di sekitarnya. Langit planet ini tidak ada bedanya dengan langit di bumi. Melihat bulan, membuat Alie semakin yakin bahwa keadaan planet Reegunpo, planet yang masih rahasia ini masih dalam satu galaxy, galaxy bima sakti.
"Kita istirahat di sini malam ini. Besok kita akan melanjutkan perjalan."
Yang lainnya mengangguk setuju termasuk Alie. Dia sudah merasakan letih di tubuhnya. Kakinya juga harus segera diistirahatkan. Para kadal merendahkan tubuh mereka, membiarkan Reentari dan yang lainnya turun.
Reentari memilih sebuah pohon untuk dijadikan tempat mereka menyandarkan tubuh. Para kadal mengelilingi pohon tersebut. Alie dan yang lainnya melepas tas ransel kulit di punggung.
Alie duduk bersandar. Dia memandangi kedua tangannya. Bagaimana bisa tangannya memancarkan cahaya yang sangat terang hingga menyilaukan mata? Dan bagaimana bisa Alie mengerti bahasa kadal?
"Ada apa, Alie? Apa yang kau pikirkan?" tanya Reentari.
Reerentare, Reelindara, dan si Kembar sudah tertidur. Mereka berempat kelihatannya sangat kelelahan. Para kadal masih berjaga.
"Aku masih memikirkan kejadian tadi, Reentari."
Reentari mengerti apa yang Alie maksud.
"Kita akan mencari tahu sama-sama, Alie. Sejak awal kita bertemu sudah muncul keanehan. Kau bisa melihat kami."
Alie menatap Reentari. Yang Reentari ketakan itu benar adanya. Menurut undang-undang planet ini, seharusnya Alie tidak bisa melihat mereka. Namun saat Reentari dan teman-temannya sampai di bumi, Alie bisa melihat mereka. Itu bertolak belakang bukan dengan yang seharusnya?
"Tapi bagaimana bisa? Bagaimana bisa tangan mungilku ini mengeluarkan cahaya yang sangat terang? Aku sudah mencoba memikirkannya, namun aku tidak bisa menemukan jawabannya."
Reentari mengelus pundak Alie. "Aku akan bantu mencari tahu. Sekarang lebih baik kau beristirahat. Kita akan melanjutkan perjalanan besok pagi-pagi. Kau harus mengembalikan stamina tubuhmu kembali."
Alie mengangguk. Dia harus beristirahat. Perjalanan mereka masih sangat panjang. Saat melihat peta ada sepuluh titik yang harus mereka lewati sebelum sampai di Puncak Triguna. Dan mereka baru melewati satu, masih ada sembilan titik lagi.
Alie merebahkan tubuhnya. Tas ransel kulitnya berubah fungsi menjadi bantal. Alie berharap semoga tanda tanya di kepalanya segera menemukan jawaban.
***
Tengah malam.
Udara terasa sejuk sekali. Alie menaksir, kira-kira suhu di hutan tempat mereka bermalam saat ini menyentuh angka di bawah lima belas derajat celcius. Itu cukup dingin. Alie tidak pernah memasang suhu serendah itu kalau tidur. Biasanya antara 24-26 derajat saja.
Hawa dingin semakin menusuk tulang kala api unggung di dekat mereka mulai padam. Alie memutuskan untuk bangkit, hendak meletakkan kayu lembab ke api yang masih menyala. Namun Reentari sudah lebih dulu melakukannya.
"Kenapa kau belum tidur, Alie? Perjalanan kita masih panjang. Kau harus menjaga stamina tubuhmu," Reentari berkata datar. Tangannya sibuk berusaha membuat api menyulut kayu lembab. Itu wajar karena hutan ini tidak terkena sinar matahari kecuali daerah tempat tinggal kadal berjumbai tadi. Jadinya ranting-ranting pohon yang berjatuhan tidak mengering.
"Dingin sekali, Reentari. Aku tidak bisa tidur."
Alie mendekat ke api, berjongkok di samping Reentari. Dia mendekatkan tangannya ke api, menikmati rasa hangat beberapa saat, kemudian meletakkan tangan hangannya ke pipi. Alie memejamkan matanya, merasakan perpindahan sensasi hangat dari telapak tangan ke pipi.
"Oiya, kau harus menceritakan padaku tentang musuh planet ini." Alie tiba-tiba teringat janji Reentari bahwa dia akan menceritakan hal tersebut.
Reentari tersenyum. Dia mengangguk. "Baiklah. Akan kuceritakan."