"Kenapa planet Reegunpo terdengar baru di telingamu? Itu karena planet ini sengaja dibuat oleh kaum kami, Alie. Puluhan ribu tahun lalu, para penyihir hidup damai dengan para manusia di bumi. Saling membutuhkan, saling tolong-menolong. Intinya kehidupan manusia dan penyihir sangatlah akur. Seiring berjalannya waktu, sifat manusia kian bertambah, semakin variatif. Sifat serakah merekalah yang menyebabkan perpecahan terjadi."
"Para penyihir disekap, diancam, diperbudak. Kami punya kekuatan, tapi tanpa tangan, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Manusia tahu kelemahan kami, tangan kami diikat dan dipenjarakan. Para manusia juga mengancam akan membunuh keluarga kami jika kami melawan."
Alie meringis mendengar cerita Reentari. Dia tahu kalau makhluk bumi memang terkenal serakah. Lebih suka menghancurkan ketimbang membangun kembali. Memakan hak orang lain, makhluk bumilah juaranya. Berapa banyak lahan yang sengaja digundul hanya demi kepentingan pribadi?
"Maka dari itulah, para tetua kaum penyihir memutuskan membuat planet sendiri untuk ditinggali. Dan jadilah planet Reegunpo. Kau ingat nenekku? Nenekku adalah salah satu dari sebelas pelopor pendiri planet ini."
"Oh ya? Apakah semua tetua masih hidup?" tanya Alie. Itu menarik sekali. Satu kehormatan menurut Alie bisa bertemu salah satu orang yang bisa dibilang berjasa bagi seluruh penyihir yang ada. Ide membuat planet sendiri bisa dibilang sangat jenius. Para penyihir tidak perlu melakukan penyerangan balik, pertumpahan darah terhindarkan.
"Tidak ada yang tahu, Alie. Delapan dari sebelas pelopor pendiri planet Reegunpo menghilang secara misterius. Tidak ada yang tahu keberadaan mereka. Hanya nenekku dan dua lainnya yang tidak menghilang. Setelah kita menyelesaikan misi ini, aku akan mengenalkanmu pada mereka."
Alie mengangguk senang. Kapan lagi bisa bertemu orang … maksudnya bertemu dengan penyihir yang berpikiran hebat seperti mereka. Alie yakin, kalau mau saja, para manusia yang saat itu bertindak sesuka hati mereka, bisa diberi pelajaran dengan mudah oleh para penyihir. Namun para penyihir lebih memilih untuk mengalah. Pertumpahan darah bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan selama masih ada opsi lain yang bisa dipilih.
"Oke, cukup segitu saja cerita malam ini. Sebentar lagi pagi, Alie. Kau harus tidur agar tubuhmu penuh stamina untuk melanjutkan perjalanan esok hari."
Alie mengangguk. Dia bersiap tidur.
Pagi hari.
Reentari membangunkan semuanya. Para kadal yang saat itu sedang tertidur terpaksa ikut bangun karena sedikit keributan yang Reentari buat ketika membangunkan si kembar. Bukan hanya menyebalkan saat sadar, saat tidur pun juga menyebalkan. Mereka berdua tidur sudah seperti babi mati. Susah sekali dibangunkan.
"Bangun, Reewrintara, Reewrintaru. Atau kalian kusiram air?" Bukan Reentari yang berkata demikian, melainkan Reelindara.
Masih juga belum bangun. Mereka berdua ngulet.
"Menyingkir, Reentari. Reerentare, siram mereka dengan airmu," pinta Reelindara.
Reerentare menggeleng, tidak setuju. Dia takut kalau si kembar marah.
"Tidak usah takut. Kalau mereka marah, aku yang tanggung jawab."
Reerentare masih tidak setuju, akan tetapi karena Reelindara meyakinkannya, gadis pendiam itu tidak punya pilihan lain. Dia mengangkat satu tangannya setinggi dada. Perlahan bulir-bulir air mengambang di atas telapak tangannya. Makin banyak, hingga membentuk bola air seukuran bola kasti. Semakin besar dan sekarang sudah seukuran bola kaki. Reelindara menganggukkan kepalanya, sebagai tanda agar Reerentare tidak ragu melemparkan bola air itu ke Reewrintara dan Reewrintaru.
Byur! Bola air membuat wajah dan leher si kembar basah. Mereka berdua gelagapan, terduduk sambil mengusap wajah.
Reelindara yang paling kuat gelakannya. Alie dan yang lainnya hanya tergelak biasa. Melihat reaksi mereka saat terkena bola air semakin membuat suasana jadi lucu.
"Reerentare! Apa yang kau lakukan?" bentak Reewrintaru. Dia dalam posisi berdiri sekarang, menatap sang pemilik kekuatan air dengan sinis.
"Aku yang menyuruhnya," sergah Reelindara. "Jangan coba-coba marah pada Reerentare. Atau aku akan membakar pakaianmu, membuatmu telanjang sepanjang perjalanan."
Alie terkekeh lagi mendengar ucapan Reelindara barusan. Ternyata bukan hanya dia saja yang kesal pada si kembar. Ada Reelindara juga. Setidaknya jumlah mereka sama. Dua lawan dua.
Sebelum melanjutkan perjalanan, mereka semua sarapan terlebih dahulu. Lupakan soal bekal yang lezat. Itu sudah habis dimakan untuk makan siang dan makan malam kemarin. Mereka tidak bisa membawa dalam jumlah lebih karena akan basi. Untuk menemani perjalanan mereka seterusnya, mereka semua membawa daging kering. Itulah yang menjadi santapan mereka ke depannya.
Alie tidak masalah dengan itu. Asalkan dia masih bisa sarapan, mengisi perutnya, dia bisa melupakan soal makanan lezat. Terlebih niatnya datang ke planet ini bukan untuk bertamasya, melainkan untuk mencari tanaman Nymphea. Akan tetapi, si kembar berbeda dengan semuanya. Mereka tahu bahwa ini adalah perjalanan yang berat, tetapi bisa-bisanya mereka pulalah yang memasalahkan soal benda yang disantap.
"Kami akan kurus jika terus memakan makanan seperti ini," ujar Reewrintaru menatap penuh rasa putus asa potongan daging kering yang dia pegang.
"Benar. Ibu dan Ayah pasti akan sedih melihat tubuh anak mereka jadi kurus kering," sahut Reewrintara, menatap potongan daging di tangannya juga dengan penuh rasa putus asa.
"Tidak bisakah kita mendapatkan makanan yang lebih bergizi dari ini?"
Reentari hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kedua laki-laki yang banyak protes itu. Apa boleh buat, tabiat mereka dari lahir memang sudah seperti itu.
"Tahukah kau, Reewrintaru, Reewrintara, bahwa daging kering memiliki banyak manfaat?" tanya Alie.
"Tentu saja aku tahu. Aku dan Reewrintara adalah murid terpandai di sekolah kami. Tidak mungkin aku tidak tahu. Tolong jangan ajari kami."
Alie bungkam. Baiklah. Sepertinya memang lebih baik diam ketimbang terus melawan mereka berdua. Buang-buang tenaga dan menguras kesabaran.
Reelindara memarahi mereka berdua, menyuruh untuk jangan protes, memakan apa saja yang ada. Sama seperti yang Alie pikirkan bahwa ini bukan tamasya, Reelindara juga bilang begitu. Jangan lupa Reelindara juga membumbuhi sesuatu, yakni soal membalas perbuatan Reekturi untuk menghilangkan mantranya agar Reewrintaru bisa kembali menggunakan kekuatan portal pemindahnya.
Lima belas menit kemudian, sarapan selesai. Mereka juga sudah menimbun bekas abu api unggun tadi malam dengan tanah. Entahlah, Alie tidak paham kenapa mereka harus mengubur itu. Setahu Alie, dalam film-film yang dia tonton, seseorang melakukan hal tersebut agar tidak memberitahu musuh jejak terakhir keberadaan. Akan tetapi mereka sekarang tidak sedang lari dari musuh, melainkan hendak mencari tanaman Nymphea.
Alie memutuskan untuk menghilangkan pertanyaan itu dari kepalanya. Di perjalanan nanti dia akan mendapat jawabannya.
Reentari membuka peta. Reewrintara dan Reewrintaru melempari kadal yang mereka tunggangi dengan krikil kecil sambil terkekeh-kekeh. Kadal yang dilempari hanya diam, mengembuskan napas kasar dan berat, sambil mengedipkan mata mereka. Kadal itu sudah jinak. Kadal yang dilempar juga sepertinya sudah paham peringai masing-masing penunggangnya. Selagi masih belum kelewatan, Alie rasa kadal itu akan bersikap baik atau lebih cenderung diam.
Reelindara dan Reerentare mengelus kepala kadal mereka masing-masing.
"Ke mana kita selanjutnya, Reentari?" Alie bertanya setelah Reentari kembali menggulung peta, memasukkannya ke dalam tas ransel kulit.
"Taman bunga matahari raksasa," jawab Reentari dengan nada kurang bersemangat.
"Ada apa, Reentari? Kenapa kau terlihat tidak bersemangat?" tanya Alie.
"Persiapkan diri kalian. Setiap tempat memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. Maksudku, aku tidak tahu bahaya apa yang akan kita hadapi setelah ini. Kalian semua harus bersiap."