Setelah mengeluarkan tenaga, bertarung dengan tanaman Venus Flytrap raksasa, melihat pemandangan yang indah ini membuat rekan-rekan Alie merasa segar kembali. Meski sedikit mendongakkan kepala agar bisa melihat bunga matahari tiga meter di atas kepala mereka, itu bukan penghalang untuk menikmati keindahan alam yang jarang mereka lihat. Tentu saja, mereka belum tentu akan kembali ke taman bunga matahari raksasa ini lagi. Bisa sampai di sini karena taman bunga matahari raksasa adalah salah satu rute yang memang harus mereka lalui untuk mencapai puncak Triguna.
Reewrintara dan Reewrintaru masih menyindir Alie tentang penduduk bumi yang rakus, memakan bunga matahari.
"Kalian tidak percaya?" Alie mulai jengkel. Penduduk bumi jelas punya banyak jenis makanan. Enak saja mereka bilang kalau penduduk bumi itu rakus-rakus.
Reewrintara dan Reewrintaru menggeleng bersamaan. Mereka tidak percaya.
Reelindara dan Reerentare terkekeh melihat perdebatan mereka yang tidak selesai-selesai.
Empat jam kemudian.
Hari sudah terik. Sinar matahari terasa membakar tubuh. Meski pohon bunga matahari ini tiga meter lebih tinggi dari mereka yang menunggang tubuh kadal berjumbai, itu tidak berpangaruh banyak. Sinar matahari masih bisa leluasa menyengat kulit mereka dengan panas.
Alie mengusap keringatnya. Dia mulai kelelahan. Pantatnya terasa panas.
"Reentari, apakah sudah waktunya beristirahat?" tanya Alie dengan suara lelahnya.
Reentari melihat ke atas, tampaknya sedang berhitung.
"Aku sudah lapar, Reentari," keluh Reewrintara.
"Benar. Pasukan di dalam perutku sudah berdemo meminta jatah mereka," sambung Reewrintaru.
Reentari mengangguk. Baiklah. Ini memang sudah waktunya bagi mereka untuk beristirahat.
Alie turun dari kadal tunggangannya. Pinggangnya terasa pegal sekali. Alie segera duduk dan bersandar di batang pohon bunga matahari.
Reewrintara dan Reewrintaru mengeluarkan selendang dari tas ransel kulit mereka masing-masing, menggelarnya, kemudian membaringkan tubuh. Tentu saja tempat yang mereka pilih yang terlindung dari sinar matahari.
"Kenapa kalian malah berbaring? Bukannya kalian bilang tadi lapar?" protes Reelindara. Waktu mereka tidak banyak. Mungkin waktu istirahat hanya lima belas menit atau bisa melonggar jadi setengah jam tergantung situasi yang dihadapi. Seharusnya mereka mulai memakan daging kering bukan alih-alih berbaring.
"Kami bisa memakannya nanti sambil menunggangi kadal berjumbai. Jangan urus kami, urus saja urusanmu sana. Biarkan kami beristirahat."
Reelindara memoyongkan bibirnya. Dasar kembar hantu! Hobinya membuat kesal orang saja, batin Reelindara.
Reentari, Alie, Reelindara, dan Reerentare mulai menikmati daging kering mereka masing-masing.
"Alie, benarkah apa yang kau katakan? Bunga matahari bisa dimakan?" tanya Reelindara. Dia penasaran soal hal yang didebatkan oleh si kembar dan Alie sepanjang memasuki taman bunga matahari raksasa.
Alie mengangguk. "Iya, bisa."
"Bagian mananya?" potong Reerentare. Ternyata gadis pendiam itu juga penasaran.
"Em, bagian bijinya. Kalian lihat bunga matahari itu kan?" Alie menunjuk bunga matahari yang mekar sempurna, tak jauh dari mereka.
Mereka berdua mengangguk. Mereka melihatnya.
"Di sanalah bagian bijinya. Kami menamainya kuaci. Kami menjadikan kuaci camilan di kala senggang atau camilan untuk menemani membaca, menonton tivi, bekerja, atau hal-hal lain."
Reelindara dan Reerentare mengangguk. Tampaknya biji … maksudnya kuaci itu terdengar nikmat.
"Meski kalau di bumi ukurannya lebih kecil dari seujung kuku, kuaci tidak bisa dipandang sebelah mata. Kuaci memiliki banyak manfaat yang baik bagi tubuh."
"Benarkah?" tanya Reelindara.
Berbagi pengetahuan semacam ini adalah hal yang Alie sukai. Dia merasa bersemangat untuk menjelaskan kandungan yang terdapat di dalam kuaci.
"Asam klorogenat yang terkandung dalam kuaci bisa mengurangi kadar gula dalam tubuh. Asam lemak tak jenuh, terutama asam linoleate bisa mengurangi kolestrol. Mineral magnesium mampu mengurangi peredangan. Dan yang paling penting, protein dan serat yang terkandung di dalam kuaci, membuat tubuh merasa cepat kenyang hingga dapat mengontrol rasa lapar. Inilah poin utama kaum-kaum yang ingin menguruskan badan. Mereka mengatasi keinginan makan mereka dengan mengonsumsi kuaci."
Satu detik setelah Alie menjelaskan manfaat yang terkandung di dalam kuaci, muncul bola lampu bersinar di kepalanya. Alie tersenyum riang.
"Reentari, bisakah kita sedikit lebih lama berada di sini? Kita akan punya menu makanan baru!"
Reewrintara dan Reewrintaru yang tadinya berbaring senyap tanpa suara langsung berdiri.
"Apa apa? Apa menu barunya?"
Reentari menganggukkan kepalanya, menyetujui usulan Alie.
Pemanenan biji bunga matahari dimulai!
Reewrintara dan Reewrintaru langsung lemas begitu tahu kalau menu baru mereka adalah biji bunga matahari. Bayangkan, apa yang mau dimakan coba? Begitulah yang ada di pikiran mereka.
"Awas kalau kalian suka nanti ya setelah mencobanya. Kalian akan merasa berhutang budi padaku karena sudah mengenalkan kuaci," ucap Alie percaya diri.
Alie meminta Reewrintara untuk membengkokkan pohon bunga matahari yang terlihat sudah mengering, agar bisa dengan mudah memotong bagian bunga mataharinya.
Reewrintara menyentuh batang pohon bunga matahari. Perlahan batang pohon tersebut meliuk ke bawah. Reentari mengeluarkan pisau dari tas ranselnya, kemudian memotong bunganya. Tiga bunga matahari sudah tergeletak di tanah.
Ukuran bunga matahari ini bukan main-main. Ukurannya sebesar spring bed untuk dua orang. Kering sempurna. Ukuran kuacinya juga berkali-kali lipat besarnya. Ini akan menjadi makanan baru mereka sebentar lagi.
"Lalu, kita apakan ini? Kita tidak mungkin membawanya, kan? Ini berat," keluh Reewrintara dengan nada meremehkan.
"Reentari, aku butuh pukulan berdentum-mu. Kau pukul sekuat tenaga bunga ini sampai bijinya terlepas," pinta Alie yang dibalas anggukan oleh Reentari.
Yang lainnya mundur beberapa langkah ke belakang.
Reentari menarik napas sebelum memulai memukul bunga matahari. Bum! Bam! Bum! Biji-biji bunga matahari mulai terlepas dari bonggolnya. Alie bersorak dalam hati. Kuaci adalah camilan favoritnya. Alie ingat sekali, waktu kecil, bibinya yang sekarang tengah sakit selalu mengupaskan kuaci untuknya.
Mulai dari sanalah Alie menyukai kuaci hingga sekarang.
Satu kuaci terlempar ke arah Alie. Dengan sigap Reerentare membuat gelembung air. Kuaci masuk ke dalam gelembung air Reerentare, mengambang. Nyaris mengenai Alie.
Mata Alie membulat sempurna melihat kuaci di dalam gelembung air Reerentare. Dia melangkah mendekat. Itu … itu sangat luar biasa! Kuacinya seukuran tumbler. Berkali-kali lipat besarnya ketimbang yang ada di bumi.
Alie menelan ludahnya. Dia sudah tidak sabar ingin mencicipi rasanya.
Mengingat ukurannya, ini bukan hanya sekedar camilan biasa. Ini bahkan bisa menjadi makanan pokok mereka. Makan satu atau dua saja sudah bisa kenyang.
Sepuluh menit kemudian, Reentari selesai memukul bunga matahari, memisahkan biji-biji dari bonggolnya.
Reentari mengusap keringat di dahi.
"Reewrintara, Reewrintaru, aku pinjam selendangmu."
"Enak sa—"
Kalimat Reewrintaru berhenti di ujung kerongkongan saat melihat Reelindara mengangkat tangannya. Bola api sudah siap untuk menghanguskan selendang itu jika mereka berdua menolak meminjamkan selendangnya.
Selendang Reewrintaru dan Reewrintara berwarna coklat tua. Tebal. Sebenarnya ini tidak cocok disebut selendang. Bahannya tebal dan bisa menyerap air. Ini lebih cocok disebut handuk.
Alie mengangguk-angguk saat memegang selendang itu. Ini bisa membantunya untuk memasak kuaci nanti.