Ingat, prinsip yang Reentari junjung tinggi: setiap keputusan yang diambil, selalu ada yang harus dikorbankan. Alie sempat berujar apakah tidak lebih aman jika mereka tidak menarik perhatian? Api milik Reelindara memang sangat membantu, tapi itu bisa menarik perhatian apa saja yang ada di dalam hutan. Reentari setuju akan hal itu. Namun, dengan cara apa lagi mereka bisa berjalan menyusuri hutan sedangkan tempat mereka berada sekarang nyaris gelap.
Berkat bantuan api Reelindara, jarak pandang mereka jadi lebih jauh.
"Harus tetap waspada. Keamaan kita sangat terancam. Alie benar, api Reelindara mungkin bisa menarik perhatian, oleh sebab itu tidak boleh ada yang lengah di antara kita." Reentari memberi imbauan. Yang lain mengangguk.
Pandangan mereka tidak terfokus hanya ke depan saja, mereka terus memandangi sekitar, berjaga-jaga akan sesuatu yang buruk. Ini masih baru dimulai, mereka tidak boleh gugur di awal. Oleh sebab itu waspada akan segala kemungkinan harus mereka lakukan demi menjadi pemenang sayembara Raja.
"Kalau boleh tahu, apa kekuatanmu, Reentari?" Alie yang saat itu berjalan di belakang Reentari, menyejajarinya, bertanya.
"Aku penyihir tanah, Alie. Oiya, aku belum memberitahukan kekuatan kami masing-masing, ya?"
Alie mengangguk. Perkenalan di gudang bibinya kemarin hanya nama, tempat asal, dan bagaimana Reentari serta timnya sampai di Bumi. Itu pun Alie tidak percaya, dia merasa dibodohi. Namun sekarang situasinya berbeda. Alie sudah berada di planet mereka dan juga sudah menyaksikan tiga kekuatan sihir. Kekuatan portal pemindah, kekuatan penyembuhan, dan kekuatan api.
"Reewrintaru, kau sudah pasti tahu apa kekuatannya. Reewrintara, kembarannya adalah penyihir bumi. Kekuatannya bisa berkomunikasi dengan alam dan seisinya. Reelindara, dia adalah penyihir api. Reerentare, dia adalah penyihir air."
Alie mengangguk. Tidak pernah terbayangkan olehnya dia akan sampai di planet ini dan bertemu penyihir sungguhan. Selama ini Alie hanya melihat penyihir dari film dan novel fantasi yang dia baca. Tapi kali ini bukan sekadar melihat, Alie bahkan ikut berpetualang mencari tanaman yang sangat langka.
"Lalu, seperti apa Tanaman Nymphea itu?"
"Tanaman Nymphea itu mirip bunga teratai, Alie. Kamu pasti tahu. Hanya saja bunga ini berwarna biru gelap. Di tengahnya berkelopak emas. Indah sekali. Konon katanya, keindahannya bisa menghipnotis siapa saja yang melihat tanaman itu."
Alie mengangguk lagi. Dia tahu bunga teratai seperti apa. Setahu Alie, di tempat asalnya bunga teratai tidak dianggap spesial. Hanya bunga biasa. Tapi di sini bunga itu sangat langka, tumbuh seribu tahun sekali.
"Hanya mirip bentuknya saja, bukan berarti sama."
Reentari terkekeh. Dia tahu apa yang dipikirkan Alie melihat dari wajahnya.
Sudah dua jam perjalanan. Sejauh ini mereka belum menemukan apa-apa. Mereka sudah semakin jauh masuk ke dalam hutan. Belum ada pemandangan yang berubah. Alie sempat melihat tanaman yang ada di rumahnya. Cocor bebek. Siapa yang tidak tahu tanaman yang dijadikan tanaman hias oleh makhluk bumi. Akan tetapi cocor bebek di sini berbeda, ukurannya lima kali lipat dari yang biasa ada di bumi.
Semakin masuk ke dalam, pohon-pohon terasa semakin banyak saja. Jarak antara satu pohon dengan pohon lainnya terasa semakin rapat. Hawa di dalam hutan itu juga semakin dingin. Untuk saat ini pakaian yang mereka kenakan masih bisa menghangatkan.
"Apakah kau lelah, Reelindara?" tanya Alie. Sudah dua jam Reelindara menganggkat tangannya seperti itu, memberikan penerangan. Seharusnya itu membuat tangan Reelindara pegal.
Yang ditanya tersenyum, menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Alie. Masih sanggup."
Alie memperhatikan sekitar hutan. Sejak mereka masuk ke dalam hutan, tidak ada suara binatang sedikit pun. Hutan itu sunyi sekali. Suara kicauan burung atau jangkrik pun tidak kedengaran. Apa planet ini tidak punya hewan bernama burung atau jangkrik?
Hal itu terasa aneh menurut Alie. Dia pernah menonton film penjelajahan hutan, seharusnya terdengar suara-suara yang dihasilkan oleh hewan-hewan penghuni hutan, akan tetapi, di Hutan Pohon Raksasa ini tidak terdengar apa-apa. Hanya suara langkah kaki mereka saja.
Empat jam perjalanan.
Reelindara mulai menggerak-gerakkan bahunya. Dia mulai merasakan pegal. Sebenarnya bukan hanya Reelindara, Alie juga merasakan pegal di kakinya. Ngomong-ngomong soal kaki, kaki Alie sudah sembuh sepenuhnya berkat Nek Reegui. Akan tetapi itu tidak menghilangkan tabiat kaki Alie untuk merasa pegal. Berjalan selama empat jam tanpa henti, itu adalah pengalaman yang baru bagi Alie.
"Baiklah, kita istirahat sejenak. Reelindara harus mengistirahatkan lengannya."
Alie menghela napas lega. Dia mencari akar pohon yang timbul, duduk di atasnya. Mereka tidak bisa duduk langsung di atas tanah, karena lembab. Bisa basah pakaian mereka.
Reelindara mematikan apinya. Jarak pandang mereka kembali seperti semula. Pendek. Tapi itu bukan masalah. Karena mereka berdekatan, mereka masih bisa memandang wajah satu sama lain.
Alie meluruskan kakinya. Dia memijat-pijat perlahan kakinya dari paha turun ke bawah hingga pergelangan kaki sambil sesekali dipukul-pukul pelan. Reewrintaru dan Reewrintara bergantian memijat kaki mereka berdua. Reerentare berbaik hati memijat lengan Reelindara. Sedangkan ketua tim mereka tengah membaca kembali peta.
"Apakah kita bisa mencapai Puncak Triguna hanya dengan berjalan kaki, Reentari?"
"Itulah yang kuragukan saat ini, Alie. Ada sepuluh tempat yang harus kita lewati sebelum sampai ke Puncak Triguna. Aku yakin setiap tempat punya rintangannya masing-masing. Dan kita hanya berjalan kaki."
"Apa kalian tidak punya sapu terbang atau semacamnya yang bisa kita pakai?"
Reentari terkekeh. "Dari tiga puluh persen kaum kami, hanya dua persen saja penyihir jenis itu yang tersisa, Alie."
Alie mengangguk paham. Itu sebabnya mereka tidak butuh tongkat atau bibir mereka komat-kamit saat hendak mengeluarkan kekuatan. Mereka cukup memejamkan mata untuk berkonsentrasi. Kecuali Nek Reegui tadi. Alie sempat melihat sekilas bibir Nek Regui bergerak, membaca mantra.
Setengah jam kemudian.
Reentari berdiri.
"Ayo kita lanjutkan. Waktu kita sangat terbatas. Aku tidak yakin kita bisa sampai ke puncak tepat waktu. Tapi kita harus tetap optimis." Itulah gunanya ketua tim. Memberi semangat bagi anggota timnya.
Reerentare mengulurkan tangannya, membantu Reelindara berdiri. Reewrintaru dan Reewrintara sudah siap untuk melanjutkan perjalanan.
Reelindara memejamkan matanya. Tangannya sudah dalam posisi siap. Satu detik, api kembali menyala dari pergelangan tangannya. Jarak pandang mereka jadi lebih jauh.
Reentari memimpin. Alie dan yang lainnya ikut berjalan di belakang.
Satu jam perjalanan setelah beristirahat.
Sekarang mereka menemukan pemandangan yang berbeda. Di depan mereka terlihat seperti sebuah kekacauan baru saja berakhir. Ada beberapa pohon raksasa yang tersambar petir, bagian batangnya hitam dan mengeluarkan asap. Tumbuhan kecil juga terkena sambaran petir. Gundukan tanah yang tinggi, dan juga ada pasir. Pasir?
"Ada apa ini, Reentari?" tanya Alie.
"Sepertinya sudah ada tim yang lebih dulu melewati Hutan Pohon Raksasa, mereka pasti bertarung dengan penghuni hutan ini."
Reewrintara memejamkan matanya, berkonsentrasi. Reelindara, Reewrintaru, Reerentare, dan Reentari memandanginya, menunggu apa yang akan terjadi. Alie yang tidak mengerti ikut menunggu apa yang akan Reewrintara lakukan. Tiga detik, mata Reewrintara terbuka.
"Bersiaplah. Kita kedatangan tamu."