Pagi-pagi sekali Alie dibangunkan. Dengan mata yang masih merah dan berat, Alie berjalan gontai menuju kamar mandi. Kamar mandi rumah Reentari juga benar-benar sederhana. Tidak ada mesin pemompa air. Mereka harus menimba. Alie menghela napas kasar. Kesadarannya belum kembali seratus persen dan dia sudah harus mengeluarkan tenaganya hanya untuk mencuci wajah saja.
"Pakai ini."
Reentari memberikan pakaiannya pada Alie. Hei, Alie baru sadar kalau ternyata sejak kemarin pakaian Reentari sudah berubah, tidak lagi berwarna biru muda dengan bahan kain yang mengkilap. Reentari memakai pakaian dengan bahan kain berbulu berwarna coklat dan hitam.
"Itu ide Reewrintaru," ujar Reentari. "Dia mengusulkan agar kami berpakaian cerah. Pakaian itu membuat kami tampak seperti orang bodoh, bukan?"
Alie terkekeh, mengangguk. Itu benar. Karena saat pertama kali melihat mereka, Alie mengira mereka adalah orang iseng yang mau mengerjainya.
Alie berpakaian dengan bahan dan model yang sama seperti Reentari. Itu adalah pakaian tradisional mereka. Semua penduduk planet ini menggunakan kain model itu untuk berpakaian.
"Ayo, kita harus berkumpul di tempat yang kemarin."
***
Mereka telah tiba di lapangan tempat Alie pertama kali menginjakkan kakinya di planet Reegunpo. Lapangan itu seperti lapangan sepak bola. Mirip sekali. Luasnya, garis-garisnya, dan juga ada gawang di sisi kanan dan kiri. Beberapa anak-anak terlihat berlarian mengejar benda bulat yang disebut bola. Yang membedakan, bola itu terbuat dari kain yang dikumpulkan jadi satu lalu dibentuk bulat seperti bola.
Rumah-rumah jamur yang tinggi membuat pemandangan planet ini semakin menakjubkan. Pohon kelapa, dan beberapa pohon lainnya masih bisa Alie kenali, beberapa lagi tidak.
Mereka berenam sudah membawa bekal masing-masing, diletakkan di dalam ransel dengan bahan kulit berbulu. Pakaian mereka juga sudah berubah, bukan lagi pakaian bodoh yang kemarin.
"Sekali lagi aku tanya, apakah kita akan melanjutkan berpartisipasi dalam sayembara Raja atau tidak?" tanya Reentari. Gadis itu jika dilihat dari luar, tidak tampak postur kepemimpinannya, malah orang akan salah sangka, mengira bahwa Reelindara-lah ketua regu mereka. Namun siapa sangka bahwa Reentari mempunyai jiwa kepemimpinan yang apik. Saat berbicara, barulah terlihat wibawanya.
"Ini bukan perjalanan biasa. Kita harus melakukannya secara manual, tidak bisa mengandalkan kekuatan portal pemindah Reewrintaru."
Yang disebut namanya mengangguk. Sisanya menyimak dengan seksama.
"Sampai Reekturi mencabut mantranya, barulah kekuatan portal pemindah Reewrintaru bisa digunakan kembali. Untuk menemukan Tanaman Nymphea sendiri tidaklah mudah. Raja sudah mewanti di awal bahwa untuk mendapatkan tanaman itu bisa jadi taruhannya nyawa. Apakah kalian yakin ingin melanjutkan?"
Reelindara dan Reerentare saling tatap. Reewrintaru dan kembarannya tanpa ragu langsung mengangguk.
"Aku tetap ikut. Aku tidak akan membiarkan Reekturi menang, dia harus kuberi pelajaran," kata Reewrintaru. Tidak ada nada getar di sana. Akibat dari ulah Reekturi, Reewrintaru tidak bisa menggunakan kekuatan portal pemindahnya.
"Kalau saudara kembarku ikut, aku juga ikut," Reewrintara menambahi.
"Kami ikut. Hadiah yang Raja janjikan sangat sayang untuk dilewatkan," kata Reelindara menggenggam tangan Reerentare.
Alie menatap Reentari. Dia menarik napas dalam, mengangguk. "Aku memilih untuk bergabung bersama yang lain, melanjutkan mencari Tanaman Nymphea. Aku butuh itu untuk kesembuhan bibiku."
"Baiklah. Kalau begitu kita sepakat akan mencari tanaman tersebut." Reentari memutuskan. Tekad dan keyakinan lima anggota timnya sudah lebih dari cukup untuk menguatkan keyakinannya bahwa mereka akan pergi bersama untuk menemukan Tanaman Nymphea dan memenangkan hadiah yang Raja janjikan.
***
Kalau berbicara soal kemungkinan, peluang bagi mereka untuk menang sangatlah kecil. Tidak, ini bukan perkara yang sepele, kekuatan portal itu sangat efisien. Mungkin kelompok yang lain sedang bersantai, atau mereka tengah duduk santai di bagian Puncak Gunung Triguna mana Tanaman Nymphea akan tumbuh saat gerhana matahari jingga terjadi nanti. Atau bisa jadi sudah ada tim yang sampai di sana dan berkemah. Entahlah, mereka tidak tahu hal itu.
Tidak semua tim punya penyihir yang punya kekuatan portal pemindah seperti Reewrintaru. Bagi tim yang memilikinya, maka itu adalah sebuah privillage kalau kata penduduk bumi sekarang. Mereka tidak perlu susah payah untuk mengarungi tantangan-tantangan yang ada. Dan itu dibolehkan oleh sang Raja. Yang terpenting, siapa yang berhasil mengantarkan Tanaman Nymphea padanya, maka dialah pemenangnya.
Mereka sudah berjalan setengah jam. Mereka berhenti, menatap pemandangan yang membuat Alie menelan ludah. Di depan sana, pohon-pohon besar dengan ukuran yang bukan main. Alie menerka, sepuluh orang dewasa pun tidak cukup untuk memeluknya. Pohon-pohon di sana benar-benar sangat besar dan tinggi. Mungkin tingginya mencapai seratus meter.
"Benar kita akan masuk ke dalam hutan itu?" tanya Alie. Sekarang rasa optimis dan semangatnya sedikit tercemari oleh rasa takut. Dia bukan penjelajah, bukan penyuka alam, bukan orang yang suka dengan tantangan. Alie hanya anak rumahan. Bermain-main dengan alam merupakan suasana baru baginya.
Berbeda dengan Reelindara, Reerentare, Reewrintaru, dan Reewrintara, mereka berempat menatap dengan angkuh hutan di depan mereka. Jarak mereka berenam hanya seratus meter saja dengan hutan itu. Mereka berempat sudah bertekad akan tetap maju, menemukan Tanaman Nymphea.
Reentari mengangguk. Dia melepas ranselnya dari punggung, mengeluarkan kulit kayu yang digulung. Ukurannya seluas satu kertas karton dibagi empat. Reentari membuka gulungan kulit kayu tersebut. Itu adalah peta menuju Puncak Gunung Triguna.
Alie memperhatikan. Ada garis panjang dengan warna biru, dia bisa menebak dengan mudah bahwa itu adalah sungai. Ada lokasi yang disimbolkan dengan gambar pohon, itu titik utama tempat mereka berada sekarang. Hutan Pohon Raksasa. Lalu ada gambar rawa berwarna hitam, Alie tidak bisa mengetahui maksud semua simbol di sana. Belum sempat dia memperhatikan semuanya, Reentari sudah menggulung kembali peta tersebut. Beruntung Alie sempat menghitung ada berapa simbol di permukaan peta tadi. Ada sepuluh. Itu cukup untuk menggoyahkan Alie sebenarnya. Hanya saja untuk anak yang selalu meraih peringkat satu di sekolahnya, Alie tidak akan semudah itu menyerah. Jelas, jiwa optimis di dalam dirinya berkembang dengan baik seiring berjalannya waktu. Apalagi kesembuhan bibinya menjadi prioritasnya sekarang.
"Kita berada di tempat yang benar. Rute pertama yang harus kita lewati adalah Hutan Pohon Raksasa. Persiapkan diri kalian. Kita tidak tahu bahaya apa yang ada di sana. Selalu waspada," imbau Reentari. Dia sudah mengenakan kembali ransel kulitnya.
Alie menarik napas dalam, mengembuskan perlahan. Dia siap. Demi kesembuhan bibinya, Alie dan rekan-rekannya harus bisa menemukan Tumbuhan Nymphea itu. Reewrintaru mengepalkan tangannya. Tumbuhan Nymphea masih terbayang di kepalanya, akan tetapi, mengalahkan Reekturi, memberinya pelajaran adalah keinginan yang paling besar untuk Reewrintaru lakukan. Reewrintara menatap wajah kembarannya, dia akan selalu mendukung apa pun yang saudara kembaranya ingin lakukan. Sedang dua perempuan yang tersisa, mengeratkan genggaman tangan mereka. Hadiah yang Raja janjikan, mereka mengharapkan itu demi keberlangsungan hidup mereka yang lebih baik lagi.
***
Mereka sudah masuk ke kawasan Hutan Pohon Raksasa. Jangan tanya seperti apa mereka di dalam sana. Mereka tidak kurang seperti seekor semut yang tengah berbaris di bawah kaki manusia. Ukuran pohon yang besar membuat cahaya matahari tidak bisa menembus ranting-ranting dan dedaunan dari pohon raksasa. Mereka seperti berada di ruangan yang jika dipersenkan cahayanya, mungkin hanya dua puluh persen saja. Nyaris gelap. Padahal di luar sana terang benderang. Jarak pandang mereka juga pendek.
Untuk permukaan tanahnya sendiri terasa lembab, mereka merasa dingin. Ah, mereka mengenakan sepatu bot yang juga terbuat dari kulit.
"Reelindara, sepertinya kami membutuhkan kekuatanmu," kata Reentari. "Kita butuh jarak pandang yang baik agar jarak pandang kita lebih jauh lagi."
Reelindara mengangguk. Dia mengangkat tangannya ke depan setinggi dada. Dia memejamkan matanya. Api muncul dari telapak tangannya. Alie tidak bisa berkedip menyaksikan hal itu, sedangkan yang lainnya tidak beraksi apa-apa. Itu wajar karena mereka sama-sama penyihir.