Kayla bergegas melanjutkan langkahnya menuju ke pinggir jalan raya. Hingga tiba-tiba terdengar suara ...,
BRAAK!
Rangga terjatuh ke atas aspal dengan motor yang menimpa badannya.
"Rangga!" teriak Kayla bergegas berlari menghampiri Rangga. "Ya ampun. Hati-hati." Kayla tampak panik melihat Rangga mengernyit nyeri dan memegangi kakinya.
"Aakh!" rintih Rangga mencengkeram pergelangan kakinya.
"Sakit sekali ya?" Kayla memeriksa kaki Rangga yang sepertinya terkilir.
"Sepertinya kakimu terkilir, aku akan membawamu ke rumah sakit."
"Jangan, aku tidak ingin diberitakan wartawan hanya karena terkilir."
"Lalu bagaimana?!" Kayla mulai panik. "Aku akan mengantarkan kamu kembali ke rumahmu," paksa Kayla.
"Tidak perlu," tolak Rangga.
"Kenapa? Jangan ngeyel. Kakimu mulai bengkak ini." Kayla mulai panik.
"Karena aku tinggal di apartemen."
"Oh." Wajah panik Kayla berubah menjadi datar seketika. Kayla tidak habis pikir Rangga masih bisa bercanda di saat seperti ini. "Ya sudah, aku antarkan kamu ke apartemenmu kalau begitu."
"Baiklah." Rangga tidak punya pilihan lain selain setuju dengan tawaran Kayla. Kakinya begitu terasa sakit hingga ia sulit sekali untuk berjalan.
***
Kayla mendudukkan Rangga ke sebuah sofa besar di apartemen mewah itu. Untuk sesaat, Kayla merasa aneh. Rangga memiliki apartemen mewah yang ia huni sendirian, tapi ia juga sering menyewa suite presidential di sebuah hotel.
Apakah ini ada hubungannya dengan gosip yang mengatakan bahwa Rangga adalah gay itu? Dan Rangga sengaja tidak membawa wanita mana pun ke apartemennya untuk menyembunyikan tabiat yang playboy itu? Hm, cerdas juga ia dalam menjaga reputasi, batin Kayla sembari membenarkan posisi kaki Rangga.
Ia sengaja menaikan posisi kaki Rangga lebih tinggi dari tubuhnya, untuk mengurangi pembengkakan di pergelangan kakinya.
"Tunggu di sini, ya," kata Kayla. Rangga mengangguk setuju.
Tanpa arahan, hanya berdasarkan feeling saja, Kayla berjalan kebelakang untuk menemukan letak dapur. Tak sulit mencarinya. Apartemen itu memang mewah dan besar. Tapi, semua tempat mudah dijangkau. Kayla langsung membuka kulkas 2 pintu untuk mencari es batu, begitu ia menemukan benda yang dicarinya di apartemen besar milik Rangga itu.
Diambilnya beberapa kain lap dapur yang masih bersih dan menaruh beberapa bongkahan es batu ke atas kain lap lalu membungkusnya. Benda dingin itu akan ia gunakan untuk menyeka kaki Rangga agar tidak membengkak.
"Maaf ya," kata Kayla ketika akan meletakkan bungkusan es batu itu ke atas pergelangan kaki Rangga yang terkilir. Rangga menyengir kesakitan. Kayla tampak tahu apa saja yang harus ia lakukan. Ia sudah terbiasa merawat orang sakit. Karena itu memanglah keseharian yang ia lalui. Merawat ibunya yang sakit-sakitan.
"Jika terlalu dingin katakan saja."
Rangga mengangguk sambil tersenyum menerima perhatian dari Kayla. "Terima kasih ya. Maafkan aku. Aku ingin mengantarkanmu pulang tapi sekarang aku malah merepotkanmu seperti ini," sesal Rangga.
"Sudahlah. Santai saja. Kamu sudah makan malam?" tanya Kayla. Rangga menggelengkan kepalanya pelan.
"Baiklah. Aku akan membuatkanmu makan malam. Tunggu di sini dan beristirahatlah." Kayla hendak kembali ke dapur.
"Kenapa tidak memesan makanan dari luar?" tanya Rangga yang menghentikan langkah kaki Kayla.
"Kamu ingin makan apa memangnya? Di kulkasmu ada banyak bahan makanan dan beberapa sayuran sudah mulai layu, apa tidak sayang, jika tidak segera dimasak?"
"Kamu bisa memasak?" tanya Rangga takjub. Tidak biasanya wanita yang berprofesi sebagai artis dan model bisa memasak.
"Hmm, jangan remehkan seorang Kayla, ya," ujar Kayla bercanda.
"Hahaaa. Baiklah, aku akan memakan masakan apapun yang akan kamu masak."
"Okay. Tunggu dan beristirahatlah."
Kayla tersenyum. Ia kembali menuju dapur, mencari apa saja bahan yang bisa ia masak untuk makan malam. Kayla tidak terbiasa melihat bahan makanan terbuang. Itu sebabnya ia rela memasak untuk makan malam dari pada melihat makanan di dalam kulkas miliki Rangga itu mubazir.
Tidak membutuhkan waktu lama, Kayla sudah membuat capcay bakso dengan dengan omelet telur. Ia juga membuatkan minuman rempah untuk Rangga.
Ia datang kembali ke sofa ruang tamu untuk mengantar makan malam.
"Capcay bakso, dan omelet telur," kata Kayla sembari menyerahkan makan malam pada Rangga. Ia kemudian mengambil makan malam untuk dirinya sendiri dan duduk di sofa di samping sofa panjang yang Rangga gunakan untuk menyamankan dirinya.
"Terima kasih," ucap Rangga. Wajahnya tampak semringah. "Itu minuman apa?"
"Rebusan sereh, jahe, kunir dan madu. Bagus itu untuk membantu meredakan inflamasi."
"Wah. Kamu tahu banyak hal, seperti nenekku," kata Rangga.
Kayla melirik sinis ke arah Rangga. "Nenek?"
Rangga tersenyum mengangguk. "Ya, maksudku, pengetahuannya bukan soal tua. Kamu cantik, pintar, galak, hm, aku suka."
"Ga?"
"Ya?"
"Lebih baik kamu tidak usah bersikap terlalu akrab padaku. Aku melakukan ini karena aku kasian padamu. Demi menutupi tabiat playboy-mu, kamu jadi selalu sendiri dan benar-benar tampak seperti gay."
Rangga mengangguk pelan. "Ya, aku memang kasian sekali." Ia lalu menghela napas panjang. Dalam hati ia sebal, mengapa wanita mandiri itu selalu berbanding lurus dengan sifat keras kepala.
Selesai makan, Kayla langsung saja membereskan piring dan wadah bekas makan malam. Ia memang cekatan dalam hal seperti ini.
"Dimana kotak P3K?" tanya Kayla setelah beres dengan piring kotornya.
"Kamu mencari apa?"
"Perban kain. Kamu punya, kan?"
"Untuk apa?" tanya Rangga penasaran.
"Untuk membungkus kakimu. Pergelangan kakimu mulai bengkak. Dan kamu tidak akan bisa berjalan sementara. Perban kain bisa menekan peradangan dan memperingan rasa sakit."
"Ooooh. Ada di kamarku. Di lemari kecil, di ujung ruangan," kata Rangga sembari menunjuk salah satu ruangan.
Kayla bergegas menuju ke ruangan yang Rangga tunjuk. Kamar milik Rangga di dominasi dengan warna abu-abu muda dan silver dengan furniture mewah lengkap dekorasi yang elegan lainnya.
"Hhhh, hidupnya penuh kemewahan. Luar biasa. Wajar saja, ia berpura-pura menjadi gay. Pasti banyak wanita yang mengejar-ngejarnya untuk mendapatkan hartanya. Entah mengapa, aku merasa kasihan padanya. Dengan harta yang berlimpah, membuat seseorang sulit mendapatkan ketulusan dari orang lain," gumam Kayla lalu membuka laci-laci di lemari kecil yang berada di ujung ruangan.
Sekilas Kayla melirik ke jam dinding yang ada di kamar Rangga. "Ah, sial. Ini sudah jam 11 malam." Kayla pernah memiliki pengalaman buruk ketika pulang sendirian malam-malam. Di ujung gang tempatnya tinggal, sering kali ada sekumpulan preman yang mabuk. Dan preman-preman mabuk itu pernah mengejar Kayla untuk melecehkannya, ketika ia pulang larut. "Lebih baik aku mengabari Sarah jika aku tidak pulang malam ini." Kayla kembali membuka laci-laci yang lain.
"Ketemu!" seru Kayla ketika menemukan benda yang ia cari. Ia lalu kembali menemui Rangga. Memangku kaki Rangga dan mulai membalutkan perban kain ke kaki Rangga.
"Kayla?" panggil Rangga yang selalu menatap wajah Kayla.
"Apa?"
"Kenapa kamu sekeras itu menjauhiku?"
"Aku tidak menjauhimu. Aku sedang membalutkan perban ke kakimu."
"Hah, bukan itu maksudku."
"Aku tahu."
"Kenapa? Aku ingin tahu alasanmu."
"Karena kamu gay."
"Kita sudah pernah bercinta. Kenapa kamu masih saja menyangkal. Aku bukan gay, Kayla."
"Bagaimana bisa kamu menyebut kejadian itu dengan bercinta? Ck! Lagi pula gay juga bisa menikah dan memiliki anak. Jadi, jangan khawatir."
"Haaaah, menyebalkan sekali. Ayolah, kamu tahu, jika aku bukan gay. Kenapa kamu menghindariku?"
"Kapan aku menghindarimu?" sangkal Kayla.
"Kamu sedang membalut kaki pria yang kamu hindari mati-matian, hingga pria itu terjatuh mengejarmu."
Kayla menghela napas panjang dan memejamkan matanya sesaat. Ia melirik sinis ke arah Rangga. "Kamu butuh alasan yang logis?"
"Ya, tentunya aku butuh alasan yang logis. Ketidakcocokan yang pagi itu kamu katakan, itu masih kurang logis untukku," desak Rangga.
Kayla menyelesaikan membalut kaki Rangga dengan perban kain. Ia kemudian berdiri berkacak pinggang menatap mata Rangga lekat untuk sesaat. Ia lalu mengacungkan jari telunjuknya sebatas dada. Ia bersiap menghitung apa yang ia tidak sukai dari Rangga dengan jarinya.
"Satu. Kamu playboy. Aku anti playboy. Bahkan, aku sangat membenci pria playboy. Dua. Kamu tidak bisa mandiri. Semua orang dilokasi syuting tahu akan hal itu, kecuali dirimu sendiri. Ketiga, kamu merasa bisa dengan mudah mendapatkan wanita dengan apa yang kamu miliki. Jadi, aku memutuskan untuk tidak akan membuat kemudahan untukmu. Paham?" jelas Kayla diakhiri dengan senyuman manis di bibirnya.
"Wah, blak-blakan sekali. Tapi, aku suka."
Kayla menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir, ternyata Rangga begitu keras kepala. Ia lalu mengambil posisi di sofa panjang. "Aku tidur di sini ya malam ini," ijin Kayla sembari merebahkan dirinya.
"Ya, tidurlah di sini. Kalau perlu setiap hari."
"Hahaha, itu tidak akan terjadi." Kayla merasa sangat lelah. Dengan cepat ia memejamkan matanya dan terlelap.
"Kayla?" panggil Rangga. Tapi, tidak ada jawaban. Rangga menengok ke arah Kayla. "Cepat sekali tidurnya. Ia pasti sangat lelah."
Rangga hendak turun dari sofa, ia ingin mengambilkan selimut untuk Kayla. Namun, urung ia lakukan. Ketika nyeri tajam menyeruak saat ia menggerakkan kakinya.
Tiba-tiba Gerald datang dan langsung masuk begitu saja ke apartemen Rangga. "Hah! Di sini lu rupanya, bedebaaaaaaaah!" teriak Gerald.
"Sssst!" desis Rangga sembari melirik Kayla yang sudah tertidur. "Ia baru saja tidur."
Gerald menghela napas panjang. Ia lalu melihat kaki Rangga yang terbalut perban.
"Apa yang terjadi?" tanya Gerald memelankan suaranya.
"Kaki ku terkilir."
"Ck! Gue akan memberitahu Pak Adi soal ini. Lu mengacaukan syuting hari ini."
"Aku tahu. Maafkan aku. Aku boleh minta tolong? Aku tidak bisa berjalan."
"Apa?"
"Ambilkan selimut untuk Kayla."
Gerald mendesah napas panjang. Ia mengangguk pelan dan menuruti perkataan Rangga.