Kayla tersenyum melihat ibunya tengah duduk bercermin di depan meja rias di dalam rumah kecilnya, sesampainya Kayla di rumah. Ibunya sedang sibu mengoleskan pelembab muka dan bibir. Wajar saja, kemoterapi membuat kulit ibunya menjadi kering dan mengelupas.
Senyum Kayla memudar saat ia mendapati rambut ibunya yang mulai tampak jarang. Kerontokan rambut tidak bisa dihindari. Kayla mendekati ibunya.
"Bu, bagaimana jika Kayla cukurkan rambut Ibu?" tanya Kayla.
"Iya, nggak masalah. Nanti saat ibu sudah sembuh, rambutnya akan tumbuh lagi. Seperti dulu," jawab Ratna. Ia sudah pengalaman dengan penyakit serupa. Jadi, ia merasa lebih tenang menghadapi semua efek samping yang timbul.
Kayla membuka laci dan mengambil alat cukur elektrik. Derau mesin cukur menguar seketika tombol on di tekan. Dengan gerakan perlahan, Kayla menjalankan mesin cukur itu ka atas permukaan kulit kepala ibunya. Hingga habis terpangkas seluruh rambut di kepala ibunya.
Ia lalu beranjak ke lemari mengambilkan kupluk rajutan dan memakaikan ke kepala ibunya. Ia tersenyum menatap pantulan wajah ibunya dari cermin.
"Masih sangat cantik, seperti biasa," kata Kayla memuji ibunya.
Ratna tersenyum. "Mandi dan makanlah. Ibu sudah masak ayam rica-rica kesukaanmu."
"Siaaaap! Nyonya," ujar Kayla sambil tertawa. Ia bersikap seolah tidak pernah terjadi apapun di hari kemarin. Ia masih ragu memberitahukan ibunya tentang ini. Jadi, Kayla memilih untuk bersikap biasa sembari menunggu Kiara pulang kuliah dan mempertimbangkannya dengan adiknya lebih dulu.
***
Kayla mengendap-endap masuk ke kamar adiknya, Kiara, malam itu. Setelah ia memastikan jika ibunya sudah masuk ke dalam kamar tidurnya. Ia ingin meminta saran Kiara tentang kehamilannya. Meskipun adiknya masih 20 tahun, 2 tahun lebih muda darinya, Kiara lebih netral untuk diajak mempertimbangkan apapun.
"Kenapa Kak?" tanya Kiara yang sedang sibu mengerjakan tugas kuliahnya dengan laptopnya. Ia heran melihat kakaknya yang langsung duduk di kasur di hadapannya.
"Aku sedang ada masalah. Aku ingin meminta bantuanmu," jawab Kayla.
"Bantuan apa?"
"Jangan bilang ibu dulu ya."
Kiara mengernyitkan dahinya penasaran dengan apa yang akan dikatakan kakaknya. "Apa sih, Kak? Bikin penasaran aja."
Manik mata Kayla berpindah-pindah melihat sekitar. Ia tampak ragu dan takut saat akan mengatakannya.
"Ada apaan, sih kak?"
"Aku kecelakaan," kata Kayla.
"Kecelakaan di mana? Apanya yang sakit?" Kiara membolak-balikan lengan kakaknya. Ia belum mengerti apa yang dimaksud.
"Bukan kecelakaan yang itu," sangkal Kayla.
Seketika Kiara menghentikan gerakannya. Ia terbelalak menatap Kayla, saat mengetahui apa yang dimaksudkan Kayla.
"Apa ini ada kaitannya dengan uang yang kakak gunakan untuk membiayai kuliah dan pengobatan ibu?"
Kayla mengangguk pelan.
"Astaga, Kak Kayla. Kenapa kakak bisa senekat itu?"
Mata Kayla mulai berkaca-kaca. "Kakak tidak punya pilihan. Kakak tidak sanggup kehilangan ibu."
"Siapa yang melakukannya, kak? Apa dia pejabat?"
Kayla mengangguk pelan. "Sebelumnya kakak tidak tahu jika ia memiliki jabatan sangat penting di management yang menauingi kakak. Kakak hanya tahu jika ia adalah orang kaya. Dan sebenarnya kakak juga tidak berniat melakukannya."
"Apa kak Kayla sudah sering melakukannya? Katakan saja, Kak. Kiara bisa mengerti keadaan Kak Kayla. Dan Kiara juga paham keadaan kita bagaimana."
Kayla tidak lagi menahan tangisnya. Dadanya terasa sangat sesak dan berat. Ia menangkupkan telapak tangannya menutupi wajahnya dan mulai menangis. Apa yang menyakitkan bagi Kayla bukanlah bayinya. Bukan juga Galang. Tapi, hatinya terluka saat membayangkan dirinya akan menyakiti hati ibunya yang sangat ia cintai.
Kiara meletakkan laptopnya, ia memeluk kakaknya. "Kak Kayla. Kak Kayla tahu kan, kalau aku akan selalu di pihak Kak Kayla. Jangan sedih. Kita cari solusinya bersama. Kak Kayla melakukan semuanya untuk kita. Jika aku diposisi Kak Kayla mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama." Kiara ikut menangis melihat kesedihan Suan.
"Aku tidak tahu, bagaimana aku harus mengatakan ini pada Ibu, Sar. Sedangkan orang itu dan keluarganya jelas tidak akan bertanggung jawab. Aku bingung, Sar."
"Apa yang kamu maksudkan, Kayla?" Suara Ratna dari ambang pintu yang sedikit terbuka, seketika mengagetkan dan mengalihkan pandangan Kayla dan Kiara. "Apa yang kamu rahasiakan dari ibu? Kenapa kamu menangis?" tanya Ratna. Ia langsung paham ada yang tidak beres dengan anak perempuannya.
Kayla mengisut ke lantai memeluk kaki ibunya. "Maafkan Kayla, Buk. Maafkan Kayla. Kayla sudah mengecewakan Ibu," ucap Kayla berderai air mata dengan bibirnya yang bergetar ketakutan. Ia tidak sanggup melihat bagaimana reaksi ibunya setelah ini.
"Apa yang kamu bicarakan?" tanya Ratna.
"Kayla. Kayla hamil, Bu. Maafkan Kay."
Kernyitan di dahi Ratna memudar. Ia menatap kosong ke depan. Wajahnya menampakkan ekspresi tidak percaya.
"Siapa yang melakukannya?" tanya Ratna datar.
Kayla menggelengkan kepalanya. "Kayla tidak tahu, Buk."
Tubuh Ratna terasa lemas. Ia limbung dan hampir terjatuh. Kiara dan Kayla bergegas menangkap tubuh ibunya. Mereka membopong ibunya untuk duduk di kursi ruang tamu yang terbuat dari rotan itu.
Kayla bersimpuh di hadapan ibunya sambil menangis. Sementara Kiara mengambilkan air minum untuk ibunya. Dan segera memberikan air minum itu untuk menenangkan ibunya.
"25 tahun yang lalu. Ibu mengalami kejadian yang sama. Ketika Ibu dengan bodohnya melakukan kesalahan. Tergoda oleh bujuk rayu ayah kalian," kata Ratna. Matanya menatap kosong. Ingatannya menjelajah jauh ke masa lalu ketika ia berada di posisi Kayla.
"Hingga ibu hamil almarhumah kakakmu, Sandra. Ayahmu bertanggung jawab dengan menikahi Ibu, waktu itu. Ibu mengalami koma saat akan melahirkan. Dokter memberikan pilihan pada ayahmu, untuk menyelamatkan Ibu, atau Sandra. Ayahmu memilih menyelamatkan Ibu. Ibu kira, ayahmu benar-benar mencintai Ibu. Ibu kehilangan Sandra. Ayahmu ternyata tidak peduli dengan kematian Sandra. Tidak juga karena mencintai Ibu," ungkap Ratna berderai air mata.
"Tujuannya hanya satu, ia tidak mau repot dengan anak. Dan ia akan menceraikan ibu setelah kematian Sandra. Ibu yang terlalu cinta, tidak bersedia bercerai dengannya. Hingga lahirlah kalian. Ibu mengira, jika kehadiran kalian berdua bisa mengubah kebiasaan ayahmu bermain perempuan, dan menghidupkan kebahagiaan di keluarga kita. Ternyata ibu salah. Ia meninggalkan penyakit di dalam tubuh Ibu. Dan ia meninggalkan kalian berdua."
Ratna menatap tajam ke arah Kayla.
PLAAAK!!!
Ia berdiri dan menampar pipi Kayla. "Dan sekarang, anak perempuan Ibu dengan bodohnya mengikuti jejak Ibu! Apa yang kamu pikirkan, Kayla?!" bentak Ratna.
Kayla tidak mampu menjawab. Ia hanya menangis sembari memegangi pipinya yang nyeri.
Ratna kemudian berjongkok di hadapan Kayla. "Gugurkan kandunganmu. Kamu hanya akan membuat anak itu hidup menderita." Suara Ratna terdengar bergetar karena emosi. "Pria yang menghamilimu, siapapun itu, tidak akan pernah benar-benar mencintaimu! Ia akan tetap meninggalkanmu ketika ia sudah bosan padamu. Dan kamu akan membuat hidup anak itu menderita dan terhina, seperti Ibu membuat hidup kalian berdua menderita!" bentak Ratna. Air mata mengalir deras dari pelupuk mata Ratna, diiringi dengan napasnya yang terengah terisak. Luka lamanya karena dikhianati pria yang ia cintai kembali menyeruak.
"Ibu!" Kayla dan Kiara berhambur memeluk ibunya.
"Ibu, maafkan Kayla." Kayla hampir kesulitan mengambil napas karena tangisnya. "Tapi, Kayla tidak bisa, Bu. Kayla tidak mau kesalahan lagi dengan membunuhnya."
Ratna melepaskan dekapan kedua anaknya. Ia berdiri, menatap tajam ke arah Kayla. "Kalau begitu. Jangan jadi anak Ibu. Pergilah dari rumahku. Karena aku tidak akan pernah mengijinkan pria bedebah yang menghamilimu atau anak dari pria itu untuk menginjakkan kaki di rumah ini," marah Ratna.
Kayla terbelalak menatap ibunya. Ia tidak menyangka jika jawaban itu yang akan keluar dari mulut Ratna.
"Bu, jangan usir Kayla dari rumah. Kayla mohon, Buk. Kayla tidak masalah membesarkan anak ini sendirian." Kayla bersujud di kaki ibunya.
"Membesarkan anak itu sendirian dan menghadirkan aib di rumah ini? Lagi? Setelah orang lain memandang rendah Ibu? Dan menganggap kalian sebagai anak haram? Sekarang kamu ingin anak itu tinggal disini. Tidak, Kayla. Gugurkan kandunganmu atau jangan pernah memanggilku 'Ibu'."
Ratna menarik lengan Kayla. Menyeret anaknya keluar rumah. Dengan cepat Ratna kemudian menutup dan mengunci pintu dari dalam. Kayla hanya bisa menangis bersandar di depan pintu rumahnya.
Hingga Kayla menyadari kehadiran para tetangganya yang mulai celingukan melihat ke arah rumah Kayla, dipicu dari suara ribut di dalam rumah Kayla.
Kayla menyadari, jika ia hanya membuat malu keluarganya. Ia mengambil alas kakinya, menutup kepalanya dengan jaket hoodie yang ia kenakan, lalu bergegas pergi meninggalkan rumahnya. Sebelum para tetangganya melempar banyak pertanyaan padanya.
***