"Mas Rangga!" panggil Alicia yang baru saja tiba dengan suara melengking tinggi.
"Sial!" Rangga panik seketika, mendengar suara itu berasal dari perempuan yang ia selalu coba hindari. Meskipun tidak mungkin, karena mereka akan selalu bertemu setiap hari di lokasi syuting.
Rangga mencoba kabur, tapi malah bertemu dengan Alicia di lorong.
Lawan main Rangga itu langsung berhambur ke arah Rangga begitu mengetahui posisi Rangga dan mengaitkan kedua tangannya ke lengan Rangga.
Sorot mata Rangga seketika datar. Ia sungguh tak menyukai hal ini. Semenjak ia dan Alicia menghabiskan malam bersama, Alicia selalu berusaha menempel di dekatnya. Dan itu membuat Rangga risih.
"Mas Rangga? Itu apa?" tunjuk Alicia pada kotak sterofoam yang masih berada di tangan Rangga.
"Sarapan." Rangga langsung saja memberikannya pada Alicia.
"Iiiih, buat aku ya? Waaah, Mas Rangga pasti sudah menyiapkannya spesial untukku. Hmmm, romantis sekali," ujar Alicia.
Satu hal yang membuat Rangga menyesal berhubungan dengan Alicia, gadis ini sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama dalam menyembunyikan rahasianya. Rangga ingat betul, ia sudah pernah mengatakan pada Alicia setelah malam itu, agar Alicia bersikap biasa saja di lokasi syuting dan berpura-pura seperti tidak pernah terjadi apapun diantara mereka.
Kenyataannya, Alicia malah selalu mengekor dibelakangnya. Bahkan, diluar kepentingan adegan.
Alicia semakin menjadi-jadi, saat sinetron yang mereka perankan sudah menuju ke adegan romansa tokoh utama. Alicia selalu menempel dengan alasan agar bisa menghayati peran.
Muak dan risih. Dua kata itu yang dirasakan oleh Rangga.
Buru-buru Rangga melepaskan rangkulan tangan Alicia. "Aku belum menghafalkan naskah. Bye," ujar Rangga. Ia kembali ke ruangan semula, dimana Gerald masih duduk di sana menunggu Rangga.
"Ger belikan gue sarapan!" perintah Rangga dengan wajah sebal.
"Siapa suruh lu ngasih sarapan tadi ke figuran itu."
"Extras! Extras talent! Berapa kali gue harus meralat? Lagian sarapan gue ada di dia tuh ...," tunjuk Rangga menggunakan dagunya ke arah Alicia.
"Hah, dasar!"
"Buruan beliin gue sarapan. Mood gue lagi buruk pagi ini."
"Iya-iya. Lagian harusnya si Alicia yang lu baik-baikin. Dia kan lawan main lu. Kenapa lu malah bad mood setelah ketemu Alicia?"
"Berisik, buruan beliin gue sarapan!" suruh Rangga dengan intonasi suara yang semakin meninggi.
"Ya." Gerald sudah terbiasa dengan sikap Rangga yang seperti ini. "Gue udah order lewat O-Food Delivery. Tunggulah. Semoga tidak lama. Syuting pertama dimulai 30 menit lagi."
"Ger."
"Hm?"
"Menurut lu, gue ini pria dewasa kan? Secara, gue kan udah 28 tahun. Pasti gue dikategorikan sebagai pria dewasa."
Gerald menatap datar Rangga. Sorot matanya seolah mengatakan bahwa ia meragukan kalimat yang baru saja diucapkan Rangga.
"Pria dewasa?"
"Ya?"
Gerald menoyor kepala Rangga dari belakang. "Pria dewasa apanya? Lu masih kayak anak TK yang tidak pernah bisa mengambil keputusan sendiri. Meski lu udah berumur, bahkan jika lu udah uzur sekalipun, tapi kalau sikap lu masih kayak anak bocah, selamanya lu nggak akan bisa disebut sebagai pria dewasa."
"Kalau gitu, ajari gue jadi pria dewasa."
"Bukankah peran lu sebagai Pak Tonny itu peran pria dewasa? Heran gue, lu bisa memerankannya dengan baik padahal lu nggak tahu bagaimana jadi pria dewasa," cibir Gerald.
"Karakter Pak Tonny itu dingin dan tegas. Mudah dalam sinetron. Tapi, kalau real life gue, dibikin kayak Pak Tonny, gak ada cewek yang mau gue ajak kencan."
"Nah, itu problem utama lu. Pria dewasa itu bertanggung jawab dengan satu wanita yang ia cintai. Bukannya bikin banyak wanita jatuh cinta tapi nggak mau tanggung jawab."
Rangga terdiam.
Gue pernah menjadi pria dewasa. Dulu. 7 tahun yang lalu. Mencintai 1 wanita. Tapi, gue dikhianati. Dan sekarang gue lupa bagaimana caranya untuk kembali lagi ke pola pikir gue yang dulu, batin Rangga.